Kamis, 05 Februari 2009

Stop Pemekaran Daerah Baru

Jakarta - Aksi kekerasan di Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat merupakan momentum untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru.

Moratorium atau penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan pemekaran daerah yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Demikian disampaikan pakar politik lokal dan otonomi daerah Pratikno dan Purwo Santoso dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mereka dihubungi secara terpisah, Kamis (5/2).

Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Rabu, disimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Mardiyanto menyebutkan, kerangka pemekaran itu masih dipersiapkan. Sampai dengan 2025, jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Menurut Pratikno, sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru. ”Setelah pemilihan legislatif dan presiden, jangan dibuka lagi kesempatan untuk mengajukan proposal pemekaran daerah,” kata Dekan Fisipol UGM itu. Jika hanya ditunda, masyarakat di daerah akan melihat ada peluang untuk memperjuangkan pemekaran daerah.

”Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang. Hadangan selalu jebol seperti pengalaman selama ini,” katanya.

Menurut Purwo, dengan kejadian di Medan itu, DPR dan pemerintah harus berani mengambil keputusan politik menetapkan moratorium. Dia menilai tingginya konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat dan luasnya partisipasi masyarakat terhadap pemekaran daerah. Hal ini terlihat dari persiapan dan uji kelayakan yang lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan ini pun menjadi sangat mudah dimanfaatkan dan dimanipulasi.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. ”Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum dari pusat akan langsung mengalir,” kata Purwo menerangkan.



Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.

Menurut Robert, kriteria pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi.

”Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan,” kata Robert menjelaskan.

Syarif menambahkan, kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan.

Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Menurut Syarif, moratorium pemekaran seperti yang diinginkan pemerintah tidak akan mampu mencegah pemekaran daerah. Keinginan pemerintah itu sudah sering diungkapkan, tetapi tidak berjalan karena perbedaan kepentingan antara pemerintah dan DPR.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, stabilitas keamanan dan ketertiban yang pulih dalam lima tahun terakhir adalah hasil kerja pemerintah yang harus dijaga, dipelihara, dan dipertahankan. Presiden tidak ingin kondisi itu dirusak kembali oleh tindakan anarki seperti terjadi di Medan.

”Kita harus siap hidup di alam demokrasi. Tetapi kalau sudah seperti itu (Medan), menangis dan menyesal kita nanti karena kembali pada era gelap, dipandang rendah bangsa-bangsa lain, dan kita sendiri hidup merasa tidak tenteram,” ujar Presiden saat meninjau pabrik di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.

Ketua Umum DPP Partai Golkar, yang juga Wakil Presiden RI, M Jusuf Kalla dari Washington, Amerika Serikat, memerintahkan pengurus DPP Partai Golkar segera berangkat ke Medan untuk mencari tahu penyebab dan memantau pemeriksaan kasus tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaidy menyatakan, kasus meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat harus menjadi bahan introspeksi bagi kalangan DPR. Kerap kali sebuah RUU pembentukan daerah otonom baru diusulkan sebagai inisiatif DPR, padahal persyaratan administrasinya belum lengkap terpenuhi.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Eka Santosa (Fraksi PDI-P, Jawa Barat IX) berpandangan, insiden meninggalnya Azis Angkat tidak akan berpengaruh terhadap proses pembahasan RUU provinsi pemekaran Sumatera Utara tersebut.

Hingga Rabu, polisi menambah saksi baru dalam penyidikan kasus demonstrasi rusuh di Kantor DPRD Sumatera Utara. Ketiga saksi itu berasal dari unsur mahasiswa yang dijemput di tempat kos dan tempat tinggal mereka. Mereka adalah Ganda Hutasoit (20), Mikail Sihite (20), dan Sitorus. Semuanya adalah mahasiswa Universitas Sisimangaraja Medan. (IRE/SIG/INU/HAR/DIK/NDY)
--- (Sumber: KOMPAS - Jumat, 06 Februari 2009 - Hal. Utama) ---

Tidak ada komentar: