Minggu, 24 Mei 2009

26% Daerah Belum Revisi Tata Ruang & Wilayah

Jakarta - Departemen Pekerjaan Umum mengungkapkan dari 530 wilayah provinsi, kabupaten, maupun kota sebanyak 139 wilayah atau 26% di antaranya belum melakukan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagaimana diamanatkan UU No. 26/ 2009 tentang Penataan Ruang.Padahal dalam Pasal 78 dinyatakan peraturan daerah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat pada 2009 dan untuk kabupaten/kota pada 2010.Data Ditjen Penataan Ruang menunjukkan dari total 33 provinsi, 14 provinsi sedang melakukan revisi RTRW dan 19 provinsi sedang melalui tahapan persetujuan substansi.
Dari 19 provinsi tersebut, dua di antaranya yakni Provinsi Maluku dan Maluku Utara telah mendapatkan persetujuan dan 17 provinsi lainnya masih dalam proses pembahasan.
Di tingkat kabupaten, dari total 399 kabupaten yang ada di Indonesia, 262 kabupaten telah melakukan revisi, 18 kabupaten dalam tahap persetujuan substansi, di mana lima di antaranya telah disetujui substansinya. Lima kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bandung, Bogor, Temanggung, Sidoarjo, dan Flores Timur. Masih terdapat 119 kabupaten yang belum melakukan revisi.Sementara itu di tingkat kota, dari 98 kota di Indonesia sebanyak 76 kota tengah melakukan revisi terhadap RTRW, empat kota tengah dalam proses pembahasan untuk mendapatkan persetujuan substansi, dan 18 kota lainnya belum melakukan revisi perda RTRW-nya.Menurut Dirjen Penataan Ruang Departemen PU Imam S. Ernawi, masalah prioritas menjadi kendala pertama dari masih banyaknya daerah yang belum melakukan revisi RTRW."Kami dorong ini menjadi prioritas, paling tidak dalam APBD Perubahan tahun ini sudah dimasukkan anggarannya," katanya seperti dikutip dari situs departemen PU, kemarin.(Z)
Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Otonomi Daerah Kebablasan ?

Tidak diragukan lagi kalau otonomi daerah (otda) yang berjalan sekarang ini di samping banyak manfaatnya juga menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Merugikan bukan saja dalam bidang pembangunan bangsa, tetapi juga dalam hal yang lebih prinsip, yaitu memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kalau kita mencermati beberapa peraturan perundangan yang dulu berlaku maupun yang sekarang berlaku sebagai landasan hukum otda terdapat perbedaan yang sangat funda­mental. Mulai dari Undang-Undang No.05/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. sampai yang sekarang masih berlaku yaitu UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perbedaan itu menyangkut persyaratan pembentukan suatu daerah. Pasal 4 UU No.05/1974 menyebutkan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan, dan keamanan nasional untuk pembentukan suaru da­erah harus memerhatikan pula syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan bangsa (sesuai dengan suasana kebatinan para pendiri bangsa ini).
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Kestabilan politik
Kata-kata atau kalimat "pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa....." inilah yang tidak ditemukan lagi pada per­syaratan pembentukan suatu daerah, baik pada UU No.22/1999 maupun UU No.32/2004 yang berlaku sekarang ini. Bagian ini sebenarnya bukan hanya sekadar persyaratan administrasi, tetapi sudah merupakan persyaratan prinsip.
Memang harus diakui, pada masa Orde Baru pemerintahan sangat sentralistik. Buktinya, antara lain sesudah UU No.05/1974 disahkan, selama 20 tahun berlakunya undang-undang tersebut mengenai otonomi daerah belum pernah dilaksanakan. Peraturan pelaksanaannya pun baru terbit 18 tahun kemudian. yaitu PP No.45/1992. Maka pada tahun 1994 setelah 20 tahun berlakunya undang-undang tersebut Kantor Menpan waktu itu melaksanakan amanat UU No.05/1974 dengan melakukan terobosan melalui program yang disebut Otonomi Daerah Per-contohan dengan cara menetapkan 1 kabupaten pada setiap provinsi di Indonesia (26 pro-vinsi) kecuali DKI Jakarta.
Pada tahun pertama, program ini berjalan cukup berhasil dan secara berangsur "kekuasaan atau wewenang" yang disebut urusan dari departemen/kementerian/lembaga pemerin­tahan nondepartemen diserahkan kepada kabupaten-kabupaten percontohan. PP No.45/1992 cukup fun­damental karena pada Pasal 2 disebutkan bahwa "Titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II." dengan dernikian pesannya adalah "bukan pemekaran daerah. tetapi malah memperkuat daerah untuk menerima delegasi wewenang/ urusan dari pusat ke daerah".
Dengan kata lain, kabupaten yang "lemah" dilebur dan disatukan dengan kabupaten lain, sementara provinsi bukan prioritas untuk diubah. Ini bukan berarti provinsi dan kabupaten tidak boleh dimekarkan karena pemekaran itu pun diatur dalam undang-undang (UU) itu maupun peraturan pelaksanaannya (PP).
Tujuan utamanya adalah menyerahkan urusan seluas-luasnya kepada daerah. bukan pe­mekaran karena pemekaran ti­dak ada artinya tanpa penyerahan wewenang. Dengan demikian. Kantor Menpan berpegang teguh pada prinsip "kesatuan dan persatuan" bangsa.
Direstrukturisasi
Sebagai ilustrasi, suatu ketika Menpan bertukar pikiran de­ngan Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Amiruddin sekitar tahun 1995. Gubernur berpendapat, dari jumlah 23 Kabupaten/ Kotamadya di Sulawesi Selatan dapat direstrukturisasi menjadi 12 Kabupaten/ Kotamadya. Walaupun demikian, wacana itu be­lum sempat dilaksanakan.
Proses reformasi yang dimulai tahun 1998 dengan pelaksanaan demokrasi yang begitu cepat mendorong otda bergulir lebih cepat, ditandai dengan keluarnya UU No.22/1999 yang terkesan buru-buru. Un­dang-undang ini menghapuskan syarat "titik berat otonomi da­erah pada Daerah Tingkat II". Implementasinya adalah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk pemekaran daerah yang kemudian lebih dipermudah de­ngan UU No.32/2004 yang mengubah persyaratan, khususnya pembentukan provinsi baru dari minimal 7 menjadi cukup 5 kabupaten/kota.
Dalam kenyataannya, wawasan terbentuknya provinsi/kabupaten yang baru bukan lagi pada kesempatan daerah "mengurus rumuh tangganya sendiri", tetapi setiap daerah mencari identitas daerahnya masing-masing. Seharusnya identitas daerah itu adalah "Indonesia Kecil" dalam rangka "Indonesia Raya". Boleh saja identitas daerah ditonjolkan, tetapi bukan berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan (SARA), melainkan identitas budaya, alam, atau lingkungan. Seharusnya identitas Manokwari itu bukan "syariat" Kristen dan Bali bukan dengan "syariat" Hindu, atau daerah lain bukan dengan "syariat" Islam.
Seharusnya Minahasa itu identitasnya "kitorang samua basodara" bukan menonjolkan etnis Manado. Identitas Papua adalah "buminya burung surga/cendrawasih", Bali "a place in paradise", Sumut "semua urusan tuntas" atau "bumi damai", ka­rena setiap orang memanggil suku lain dengan sebutan "orang kita Batak, orang kita Jawa, orang kita Melayu".
Akhir-akhir ini kita menyak­sikan pencarian identitas itu berdasarkan SARA. Kalau hal ini diteruskan akan mengarah pada disintegrasi NKRI. Peristiwa de­mo anarkis di Sumut baru-baru ini adalah akibat dari pencarian identitas yang memunculkan kecurigaan, yang kemudian mengarah pada konflik-konflik dan perpecahan-perpecahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama un­tuk pemilu yang akan datang.
Seruan Mendagri untuk sementara menghentikan peme­karan wilayah sampai selesai pemilu sebaiknya dimanfaatkan untuk mengevaluaai semua konsep dan pelaksanaan otda yang sudah kebablasan itu. Pemerintah dan DPR diharapkan me-nunjukkan sikap kenegarawan-an untuk menyempurnakan otoda ini.


Oleh TB SilalahiMenteri PAN tahun 1993-1998
Sumber : Harian KOMPAS

Otda (tidak) bisa diatur

Beberapa hari terakhir ini kita membaca adanya ketegangan hubungan pusat-daerah menyangkut investasi. Persoalannya bahkan mampu menggeser headline pilpres di beberapa harian nasional. 'Pembangkangan' Bupati Tuban yang tidak (belum) menerbitkan izin pengeboran sumur eksplorasi migas dan pemasangan pipa minyak di wilayahnya, menampar wibawa pemerintah (pusat), dan membuat khawatir investor.
Betapa tidak? Aktivitas usaha sudah berjalan-dana sudah terserap-tetapi izin operasional daerah belum di tangan.
Bangsa kita memang unik. Bagaimana mungkin bisnis sudah berjalan (pemasangan pipa minyak dan aktivitas pra pengeboran eksplorasi) sementara perizinan belum dikeluarkan.
Kepastian hukum sudah diabaikan, penyelesaian masalah tidak dituntaskan sejak awal, seolah akan terselesaikan dengan sendirinya pada saatnya.
Itulah anehnya birokrasi kita. Investor asing yang sudah menjalankan bisnisnya di Indonesia mengerti persis bahwa segalanya bisa diatur, bisnis bisa berjalan meskipun belum memiliki izin.
Aturan bisa dikalahkan diskresi pemegang kekuasaan dengan berlindung dibalik celah belantara peraturan perundang-undangan yang multiinterpretatif.
Sebaliknya, investor-pun paham bahwa sesuatunya juga tidak bisa diatur. Meski ketentuan peraturan perundang-undangan sudah diikuti, tetapi tidak serta merta bisnis bisa tidak berjalan, sekali lagi karena otoritas pemegang kekuasaan.
Dalam konteks otda (otonomi daerah), disharmoni hubungan pusat dan daerah dalam hal perizinan bukan hal baru, setidaknya sejak implementasi otda pada 2001.
Di antaranya, berbagai pihak mencatat kasus besar seperti perizinan migas di Tuban dan pertambangan di Sulawesi Utara; maupun kasus-kasus yang relatif 'kecil' seperti pendirian menara telekomunikasi dan pembangunan pasar modern di berbagai daerah.
Kasus-kasus tersebut memang beragam dan berbeda dimensi kompleksitasnya, tetapi persoalannya memiliki kesamaan, yakni soal lama tentang benturan peraturan pusat - daerah, komunikasi dan koordinasi, political will para pemimpin, serta mungkin juga vested interest para pihak yang terlibat di dalamnya.
Sedikit menyinggung soal perizinan migas, cukup jelas bahwa kewenangan penambangan migas berada di pemerintah, bukan pemda yang dalam hal penambangan hanya memiliki kewenangan untuk bahan galian golongan C seperti batu, pasir, dan lain-lain.
Meskipun demikian, pemda memiliki kewenangan untuk urusan berbagai perizinan daerah termasuk izin lokasi atas semua jenis usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam desain kewenangan perizinan pusat-daerah, secara normatif tidak keliru bila dikatakan bahwa tidak ada jenis usaha yang bisa menjalankan bisnisnya di Indonesia apabila tidak mengantongi perizinan kabupaten/ kota.
Jika demikian alangkah besar otoritas daerah, dan betapa besar potensi ketidakpastian hukum untuk melakukan usaha. Tidak demikian juga maknanya, karena sebagaimana implisit dalam judul tulisan ini, segala sesuatunya bisa diatur.
Peraturan perundang-undangan adalah produk yang kita ketahui bisa diubah sepanjang diperlukan untuk upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat yang membuatnya. Benturan peraturan perundang-undangan pusat-daerah, tentu bisa diharmoniskan. Terlebih kalau soalnya 'hanyalah' komunikasi dan koordinasi yang selalu bisa ditingkatkan kualitasnya. Yang sulit adalah ketika political will tidak menghendakinya karena vested interest para pihak.
Lantas, apa solusinya ketika pembangkangan benar benar terjadi? Di era sentralisasi, dengan mudah bisa dilakukan penggantian kepala daerah untuk mengamankan kebijakan pemerintah.
Namun, era otda jelas sangat berbeda. Apakah sanksi yang bisa dikenakan pada kepala daerah apabila tidak mengikuti kehendak pemerintah? Apakah mungkin menerapkan sanksi melalui instrumen fiskal untuk persoalan yang tidak terkait langsung dengan urusan fiskal. Demikian juga, rasanya tidak ada urusan pidana dalam hal 'pembangkangan' daerah atas kebijakan pemerintah.
Apa pun solusi yang diambil, diharapkan menjawab kepentingan para stakeholder. Solusi diharapkan memberikan sinyal positif kepada para pelaku usaha tentang keseriusan pemerintah.
Semua paham bahwa lambannya penyelesaian persoalan hanya mempertegas ketidakpastian usaha. Yang kita tidak paham adalah mengapa hal demikian masih selalu terjadi.
Lemahnya koordinasi-kerja sama, adalah soal lama yang terus relevan dalam birokrasi kita. Di tengah berbagai upaya reformasi birokrasi oleh para champion baik dari birokrasi itu sendiri, maupun dari stakeholder lain terkait, masalah arogansi antartingkat pemerintahan terus berlangsung.
Itulah paradoks birokrasi kita. Berbagai upaya seperti one stop service perizinan usaha yang diterapkan ratusan kabupaten/kota, implementasi regulatory impact assesment, forum reguler pemangku peran, dan lain-lain best practices inisiatif daerah menjadi tidak relevan bagi upaya menarik investasi tatkala birokrasi tidak berdaya menangani persoalan koordinasi.
Birokrasi yang bekerja
Mengurus birokrasi bukanlah urusan amat rumit yang mensyaratkan kepakaran profesor untuk dapat melaksanakannya. Meskipun sistem yang mengaturnya tidak sempurna, dengan kepemimpinan yang baik, birokrasi tidak akan mengakibatkan hal-hal buruk dalam pelayanan.
Tentu saja lebih ideal kinerja pelayanan apabila sistem/manajemen birokrasi didukung peraturan perundang-undangan yang baik, di bawah pimpinan yang tidak memiliki vested interest pribadi ataupun kelompok.
Pelaksanaan otda yang telah berlangsung lebih dari sewindu masih belum berdaya menghadapi persoalan dasar birokrasi. Lantas bagaimana bisa diharapkan untuk mengelola persoalan-persoalan besar seperti pemekaran daerah, perimbangan keuangan pusat-daerah, segregasi hukum dalam ranah sosial-politik, kerja sama antardaerah, dan sebagainya?
Tidak ada hal baru untuk direkomendasikan, selain mutlak diperlukannya karya nyata untuk membuat birokrasi bekerja. Reformasi peraturan perundang-undangan dan birokrasi mesti diarahkan untuk target terukur yang bisa dicapai dalam bingkai pemberdayaan daerah.
Spirit otda untuk membangun bangsa dari daerah harus secara ikhlas diamini para pemimpin bangsa, tidak hanya oleh pemimpin lokal tetapi terutama oleh para pemimpin nasional.
Barangkali kita boleh berharap calon pemimpin utama bangsa ini untuk 5 tahun mendatang memiliki dan mampu menularkan spirit otda. Keyakinan dan kesetiaan untuk melaksanakan amanat sistem pemerintahan yang telah kita pilih tersebut menjanjikan potensi besar untuk mencapai keberhasilan pembangunan bangsa ini. Sebaliknya, keraguan atasnya berarti menyumbangkan bibit-bibit kegagalan.

P. Agung PambudhiDirektur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Bisnis Indonesia