Senin, 06 Juli 2009
Prihatin Pengamat Politik Pesanan
Sisi Positif Black Propaganda
Hati-Hati Money Politics
Mewaspadai Gerakan Transnasional
Penangkapan empat mahasiswa asal Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, oleh pihak keamanan setempat patut diperhatikan oleh semua pihak. Bukan hanya karena empat mahasiswa tersebut mendapat perlakuan tidak senonoh dari pihak keamanan Mesir. Lebih dari itu, penangkapan tersebut bisa menjadi "peringatan keras" bagi semua pihak terkait gerakan politik keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan perjuangannya. Di dalam negeri, gerakan-gerakan seperti ini dikenal dengan istilah gerakan transnasional.Sebagaimana diberitakan, empat mahasiswa asal Indonesia tersebut ditangkap petugas keamanan Mesir karena dituduh terlibat aktif dalam gerakan politik Ikhwan Muslimin ataupun Hamas (Jawa Pos, 4/7). Kedua gerakan Islam politik itu acapkali mendapat perhatian ketat (untuk tidak mengatakan pengekangan) dari pemerintah Mesir. Bersyukur, empat mahasiswa kita tidak terbukti terlibat dalam dua gerakan tersebut.Gerakan Transnasional Selama ini terdapat sejumlah pihak yang melansir Timur Tengah sebagai salah satu "sumber" utama gerakan-gerakan transnasional yang saat ini menyebar di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Adalah gerakan politik Ikhwan Muslimin yang sering ditengarai sebagai "ibu gerakan perlawanan Islam" yang saat ini tumbuh subur di banyak negara.Ikhwan Muslimin didirikan oleh seorang ulama kenamaan asal Mesir, Hasan Al-Banna, pada 1928. Pendirian gerakan itu terkait erat dengan konteks "keterpurukan dunia Islam" secara politik yang secara beruntun dan dramatis dimulai pada 1923, yaitu ketika sistem kekhilafahan Utsmaniyah secara resmi dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki. Sebagian pihak menganggap kekhilafahan Utsmaniyah sebagai khilafah Islam.Pasca 1923, keterpurukan demi keterpurukan terus melanda dunia Islam yang sebelumnya masuk dalam wilayah kekuasaan kekhilafahan Utsmaniyah. Dunia Islam dijajah oleh negara-negara Eropa yang berkuasa pada era itu, terutama Prancis dan Inggris. Puncak keterpurukan dunia Islam terjadi pada 1948, yaitu dengan berdirinya negara Israel di atas tanah dunia Arab-Islam.Konteks kekalahan dan keterpurukan inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya pelbagai macam gerakan perlawanan di dunia Islam, terutama di Timur Tengah. Gerakan yang pertama lahir pda era ini adalah Ikhwan Muslimin yang salah satu tujuannya mengusir kekuatan penjajah yang saat itu menguasai Mesir. Pada hari-hari berikutnya hingga hari ini, gerakan dan tokoh perlawanan terus bermunculan seperti Tandzim Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon, dan yang lain. Semua ini tidak terlepas dari konteks keterpurukan yang tak kunjung berakhir di Timur Tengah. Apalagi dengan adanya Israel yang semakin sewenang-wenang dalam merampas hak-hak warga dan negara Arab-Islam.Namun, ada hal yang tak kalah menentukan daripada faktor keterpurukan di atas. Yaitu, beberapa ajaran dalam Islam yang dipahami membolehkan perlawanan bahkan juga aksi kekerasan, terutama dalam keadaan terjajah. Salah satu ajaran dimaksud adalah ajaran tentang jihad, peperangan, dan sebagainya.Pada umumnya gerakan-gerakan transnasional menjadikan ajaran-ajaran di atas sebagai landasan perjuangan mereka. Tidak jarang dari mereka yang menghalalkan "aksi kekerasan" karena dianggap dibenarkan oleh norma agama yang dipedomaninya tersebut.Secara jujur harus diakui, Islam memang mempunyai beberapa ajaran yang terkait aksi-aksi keras seperti perang, jihad, dan sebagainya. Namun, sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran-ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lain. Yang tidak kalah penting adalah hampir semua ajaran jihad, perang, dan ajaran yang identik dengan aksi keras mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Dengan kata lain, ajaran tentang aksi keras dalam Islam tidak diturunkan secara mutlak atau tanpa syarat apa pun. Pengamalan atas ajaran-ajaran ini sejatinya memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dan secara rinci tergambar dalam latar belakang (asbaabun nuzuul atau asbaabul wurud) turunnya ajaran tersebut.Dalam sejarah Islam awal, contohnya, ajaran tentang jihad dan perang diturunkan ketika umat Islam berada di Madinah. Sedangkan dalam konteks masih di Makkah, umat Islam tidak diperbolehkan berperang, walaupun sering mendapat perlakuan tidak adil dari penduduk Makkah. Konteks Indonesia Konteks Indonesia berbeda dengan konteks Timur Tengah. Konteks Timur Tengah hampir identik dengan peperangan, perlawanan, dan aksi-kasi keras lainnya. Hal ini tak lain karena kondisi konfliktual masih terus terjadi hingga hari ini di kawasan ini. Sedangkan konteks Indonesia hampir identik dengan perdamaian, pemberdayaan, dan kelenturan. Sejatinya ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras seperti di atas dipahami dan diamalkan tanpa mengabaikan perkembangan konteks yang ada. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras di Timur Tengah (pada tahap tertentu) masih bisa diterima dan dibenarkan. Hal ini tidak lain karena hingga hari ini konteks Timur Tengah belum beranjak dari keterpurukan dan peperangan. Juga karena alasan di atas, (pada batas tertentu) keberadaan faksi-faksi politik yang cenderung keras di Timur Tengah masih bisa diterima dan dipahami.Kondisi ini berbeda dengan konteks Indonesia. Sejatinya, pemahaman dan gerakan keislaman di republik ini mendukung upaya pemberdayaan dan perdamaian yang ada.Semua pihak (termasuk para pelajar di luar negeri) sejatinya bisa memilah-memilih dalam mengikuti ataupun mempelajari gerakan keagamaan tertentu. Hingga gerakan keagamaan yang dipelajari tidak kontraproduktif dengan konteks keumatan yang ada di Indonesia. Adalah malapetaka tatkala konteks pemberdayaan dikuasai oleh gagasan dan perjuangan yang bernuansa perlawanan. (*)*).
Oleh Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.
dimuat : jawapos.com
Para capres sepakat benahi implementasi otda
Dalam debat terakhir capres yang dipandu Dekan Fisipol UGM, Pratikno, Kalla memamerkan peran aktifnya dalam menyelesaikan konflik di Aceh, Poso, dan Ambon dalam sambutan pembuka. Masih biasa-biasa saja.
Tanpa diduga, sejurus kemudian Kalla langsung menyerang Yudhoyono terkait dengan proses demokratisasi yang memang menjadi topik debat selain soal otonomi daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Saya kira keliru kalau ada yang mengukur demokrasi dengan uang. Saya mohon maaf ini Pak SBY, tetapi iklan pemilu satu putaran yang disebutkan menghemat anggaran Rp4 triliun itu sama artinya dengan mengukur demokrasi dengan uang," ujarnya yang sontak membuat suasana di Balai Sarbini gaduh.
Sindiran belum berhenti di situ. Kalla melanjutkan, "Saya khawatir dalam Pemilu 2014 nanti ada iklan Lanjutkan Terus, [jadi] tidak perlu Pemilu karena menghemat anggaran Rp25 triliun," ujarnya disambut gelak tawa.
Mendapat serangan mendadak, Yudhoyono masih sempat tersenyum sambil membuat catatan di kertas yang ada di podiumnya. Saat rehat, ketiga capres langsung duduk.
Kalau biasanya Yudhoyono dan Kalla masih sempat saling sapa dan bercanda, dalam break sesi pertama ini tak terlihat suasana itu. Namun, Yudhoyono dan Kalla akhirnya bersalaman pada saat jeda iklan setelah sebelumnya saling serang soal iklan satu putaran.
Ketika menanggapi, Yudhoyono mengaku iklan satu putaran bukan merupakan iklan yang dikeluarkan tim kampanye SBY-Boediono.
Kemudian Yudhoyono membalas menyerang dengan menyebut ketidakkonsistenan Kalla tentang pemilu. Namun hal terasa kurang telak.
Malah serangan balik yang dia harus terima. Kalla mengomentari jika iklan kampanye satu putaran itu bukan iklan resmi tim kampanye SBY-Boediono, berarti itu iklan ilegal.
"Jadi kita harus hati-hati mencermatinya. Dan satu putaran bisa saya, bisa Pak SBY, bisa juga Ibu Mega [Megawati Soekarnoputri]."
Debat semalam memang seperti pertarungan dua incumbent, Yudhoyono dan Kalla. Megawati Soekarnoputri, capres nomor urut 1, tidak terlalu terlibat dalam saling sindir tersebut.
Nuansa saling menjatuhkan memang jelas terasa pada debat capres tadi malam dibandingkan dengan acara serupa sebelumnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, tidak terlalu banyak perbedaan di antara ketiga pasangan capres.
Ketiga pasangan sepakat bahwa otonomi daerah perlu pembenahan dalam implementasinya. Ketiganya menyoroti tentang munculnya peraturan daerah yang bermasalah.
Lalu, ketiga capres juga memandang pemekaran daerah yang menjadi euforia di beberapa wilayah harus didasarkan oleh semangat untuk menyejahterakan masyarakat, bukan demi kepentingan politik praktis.
Namun, bagi Agung Pambudi, Direktur Ekesekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), penjelasan para capres tersebut terlalu normatif.
Belum optimal
Menurut Agung, debat belum dioptimalkan oleh para capres, terlihat bagaimana para kandidat kurang maksimal menjelaskan mengenai soal pemekaran daerah.
"Saya agak kecewa dengan jawaban capres yang sangat normatif," katanya di sela-sela diskusi yang digelar bersamaan dengan debat tersebut tadi malam.
Kekecewaan juga dirasakan dalam komentar Direktur Eksekutif Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Alit Merthayasa. Isu penting seperti desentralisasi fiskal dan kewenangan daerah yang belum maksimal, menurut Alit, malah tidak mendapatkan tempat.
Menyangkut otonomi daerah, Pratikno sebagai pemandu debat sebenarnya sudah memancing dengan pertanyaan yang lebih teknis seperti bagaimana mengurus masalah Papua.
"Tetapi para capres tidak memberikan pendalaman. Penyelenggaraan otonomi khusus belum berhasil meningkatkan kesejahteraan," ujar Cecep Effendi, anggota Steering Komite Jaringan Kerja Tata Pemerintahan Asia-Kerja Sama Pembangunan Jerman.
Padahal Cecep berharapa para capres itu menjawab bagaimana cara pemerintah pusat nantinya memastikan bahwa sumber dana yang masuk ke Papua dapat membawa kesejahteraan.
"Kalau tidak serius, saya khawatir Papua dapat menjadi Timor Leste yang kedua," ujar Cecep.
Memang kita tidak bisa berharap banyak bahwa debat para capres bisa menampilkan tawaran-tawaran kebijakan baru yang lebih terperinci bukan sekadar jawaban normatif. Apalagi di tengah keterbatasan waktu debat yang sering diisi dengan ewuh pekewuh.
Namun, minimal debat kali ini lebih enak ditonton. Paling tidak kita akan tahu reaksi para capres itu ketika mendapatkan kritikan dari orang lain.
Kesepakatan rahasia nuklir
Pengangguran bertambah lagi
Pemprov anggarkan Rp159 miliar untuk cegah banjir
Wilayah Jakarta Utara paling banyak mendapat alokasi dana perawatan, mencapai Rp45 miliar sesuai dengan tingkat pencemaran yang membebani sungai dan drainase jauh lebih tinggi dari wilayah lainnya.
Dinas PU DKI selain melakukan pemeliharaan sungai dan drainase secara intensif juga menyediakan dana Rp200 miliar untuk mengeruk 76 saluran penghubung sungai di lima wilayah kotamadya. (Bisnis/na)