Kamis, 05 Februari 2009

Protap Tak Hanya Senjang Pantai Timur dan Barat

Thursday, 05 February 2009
Awalnya adalah kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok, antara wilayah eks Karesidenan Tapanuli dan eks Karesidenan Sumatera Timur.

Tapanuli, yang daerahnya membentang dari Tapanuli Tengah hingga ke Mandailing Natal di pesisir Pantai Barat Sumatera Utara saat ini, ditambah daerah-daerah yang memunggungi Bukit Barisan sepanjang Dairi hingga Tapanuli Utara menjadi kantong kemiskinan.

Sebaliknya, eks Karesidenan Sumatera Timur adalah pusat perekonomian sejak masih zaman Hindia Belanda, dengan Medan sebagai metropolisnya. Wilayahnya membentang dari Langkat hingga Labuhan Batu di Pantai Timur Sumatera Utara (Sumut). Daerah ini dulunya tambang emas bagi Belanda, penghasil komoditas perkebunan yang dipasarkan ke berbagai penjuru dunia seperti tembakau, karet dan kelapa sawit.

Meski wilayah Pantai Barat lebih dulu tersentuh peradaban, terutama dengan masuknya Islam pertama kali di Pulau Sumatera lewat Barus (Tapanuli Tengah), tetapi dalam perkembangannya, pesisir Pantai Timur Sumut jauh lebih maju. Berkembangnya beberapa Kesultanan Melayu di Pantai Timur, dan masuknya Belanda yang bekerja sama dengan aristokrasi Melayu dengan membuka perkebunan, membuat wilayah ini melesat meninggalkan daerah-daerah di Pantai Barat.

Karesidenan Tapanuli terbentuk setelah Belanda memisahkan Distrik Batak dari bagian Hoofd Afdeling Minangkabau. Distrik Batak ini membentang dari Tapanuli Tengah sekarang ini hingga Mandailing Natal. Distrik Batak ini yang belakangan lebih dikenal sebagai wilayah Tapanuli, dari asal kata Tapian (pemandian) Na (yang) Uli (indah).

Salah seorang anggota Komite Pemrakarsa Pembentukan Provinsi Tapanuli yang juga Guru Besar Antropologi Universitas Sumatera Utara (USU) Profesor Dr Robert Sibarani mengatakan, awal ide pembentukan Provinsi Tapanuli sebenarnya adalah keprihatinan melihat wilayah Tapanuli yang jauh tertinggal secara ekonomi dibanding wilayah di pesisir Pantai Timur Sumut. Wilayah Tapanuli merupakan kantong kemiskinan di Sumut.

”Perekonomiannya sangat tergantung pertanian, sementara infrastruktur tak pernah mendukung. Irigasi banyak yang rusak sehingga praktis petani bergantung pada kemurahan alam. Petani menjadi kelompok paling miskin, sementara mereka adalah penduduk terbanyak di daerah ini,” ujar Robert.

Jarak yang jauh dengan pusat-pusat perekonomian di Sumut membuat orang-orang Tapanuli baik sengaja maupun tidak menurut Robert menjadi termarginalkan.

Pemprov Sumut merespon kesenjangan wilayah ini dengan konsep pemerataan pembangunan. Era Gubernur almarhum Raja Inal Siregar misalnya, dengan konsep Marsipature Hutanabe (ayo membangun kampung halaman). Era Gubernur almarhum Tengku Rizal Nurdin, pola pembangunan lebih memusatkan pada pengembangan kawasan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumut Riadil Akhir Lubis menuturkan, sejak 1997 ada lima kawasan strategis yang dikembangkan, yakni Nias, Tapanuli dan sekitarnya, Rantau Prapat dan sekitarnya, Medan dan sekitarnya serta Danau Toba dan sekitarnya.

Konsentrasi pengembangan kawasan strategis ini, menurut Riadil mampu mengangkat ketertinggalan wilayah Pantai Barat. Indikator ekonomi menunjukkan wilayah Tapanuli saat ini tidak lebih tertinggal dibanding daerah pesisir Pantai Timur. Produk Domestik Bruto (PDRB) Perkapita daerah-daerah yang mengusulkan pembentukan Provinsi Tapanuli sebenarnya juga tak berbeda jauh dengan tetangga mereka di pesisir Pantai Timur Sumut. PDRB Perkapita Tapanuli Utara pada tahun 2006 sebesar Rp 9.430.734, Toba Samosir Rp 12.311.684, Humbang Hasundutan Rp 9.802.815, Samosir Rp 9.156.947. Bandingkan PDRB perkapita daerah-daerah tersebut dengan beberapa kabupaten yang berada di pesisir Pantai Timur seperti Langkat (Rp 9.448.626), Deli Serdang (13.311.684), Serdang Bedagai (Rp 9.385.791), Labuhan Batu (Rp 12.727.925).

Hal ini menurut pengamat politik USU Ridwan Rangkuti, membuat pemekaran bukan jawaban tepat atas persoalan kesenjangan ekonomi antara pesisir Pantai Timur dan Barat.

Di sisi lain, ide awal menghapus kesenjangan kawasan justru makin tak terdengar. Robert mensinyalir, bahwa ide membentuk Provinsi Tapanuli saat ini lebih kental nuansa politisnya. Sinyalemen ini ada benarnya, jika melihat perpecahan di antara daerah yang mengusulkani. Provinsi Tapanuli secara resmi diusulkan oleh tujuh daerah, yakni Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir dan Nias Selatan.

Dalam perjalanannya, ketujuh daerah ini tak satu kata. Bulan September 2006, DPRD Sibolga mencabut dukungan. Dikuti DPRD Tapanuli Tengah pada November 2008. Tapanuli Tengah malah mengusulkan pembentukan Provinsi Tapanuli bagian Barat dengan menyertakan Sibolga dan Nias.

Keretakan ini dipicu, salah satunya oleh soal penetapan ibu kota provinsi. Sibolga mengusulkan sebagai ibu kota, karena faktor historis sebagai ibu kota Karesidenan Tapanuli. Tapanuli Tengah mengusulkan Pandan sementara, daerah pemekaran Tapanuli Utara mengusulkan Siborongborong di Toba Samosir.

--- (Sumber: KOMPAS - Kamis, 05 Februari 2009 - Hal. Utama) ---

Tidak ada komentar: