Kamis, 05 Februari 2009

Penahanan DAK untuk Daerah Tidak Tepat

Wednesday, 04 February 2009
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo
mengungkapkan dari 510 pemerintah daerah (pemda), hanya 156 pemda yang memperoleh dana alokasi khusus (DAK). Sisanya dipastikan terlambat bahkan bakal tidak memperoleh DAK. Penundaan pencairan DAK ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemda belum mengesahkan peraturan daerah (perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2009. Kedua, pemda belum menyampaikan laporan resmi tentang pelaksanaan DAK tahun 2008.
Menurut peneliti otonomi daerah Robert Endi Jaweng, penundaan dan penahanan DAK untuk pemda ini bukan solusi yang tepat di tengah lesunya investor dan rendahnya tingkat konsumsi masyarakat. Karena itu, satu-satunya faktor yang diharapkan dapat menggerakan ekonomi daerah saat ini adalah menggunakan instrumen fiskal pemerintah daerah. Berikut, perbincangan Very Herdiman dengan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng:

Apa penyebab keterlambatan pemda tersebut?
Kalau kita lihat di daerah, proses perencanaan anggaran sudah dimulai sejak bulan Juni/Juli. Targetnya sudah selesai pada Novemebr atau Desember, karena Oktober APBN sudah selesai. Dan biasanya alokasi dana untuk daerah sudah diketahui sejak akhir Oktober. Jadi November/Desember, daerah sudah melakukan finalisasi APBD sehingga sebelum masuk anggaran tahun berikutnya, mereka sudah punya APBD. Tapi itu standar normatif yang sering tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Ketidaksesuaian ini terjadi karena, pertama, perencanaan anggaran membutuhkan kapasitas para perencana anggaran yang memadai. Ini yang kita tidak punya. Tidak cukup banyak daerah yang mempunyai staf di bagian anggaran yang bisa menyusun anggaran seperti halnya di pusat. Itu yang sering diabaikan di daerah.

Kedua, yang sering dikeluhkan Pemda diantaranya adalah gerakan pemda sering tidak diimbangi dukungan kuat dari pihak legislatif. Hal ini terjadi karena legislatifnya sangat kritis atau juga karena legislatifnya yang latah, karena punya kepentingan politik untuk mengulur-ulur waktu proses pembahasan. Jadi, karena penyebabnya ada dua: kapasitas perencana anggaran di daerah, dan dukungan legislatif yang tidak kuat. Karena itu penyelesainnya tidak tepat waktu.

Padahal penyerapan dana untuk pemda itu diharapkan berlansung cepat?
Ya, kita berharap di tengah lesunya investasi dan belanja konsumsi masyarakat yang menurun, instrumen fiskal pemerintah daerah ini seharusnya digenjot. Tapi problemnya adalah kapasitas daya serap daerah yang seperti ini sehingga susah juga terlalu berharap pada instrumen fiskal pemerintah daerah. Akhirnya semuanya akan terbengkelai. Seperti dana untuk pelayanan publik, tender proyek yang sebenarnya sudah mulai dipreoses pada Oktober tahun anggaran lama juga bahkan tidak bisa berlanjut. Jadi ini problemnya bisa ke mana-mana dan serius.

Bagaimana soal kualitas penyerapan anggaran oleh pemda selama ini?
Kalau kita melihat sisi penyerapan anggaran saya melihatnya pada proporsi alokasi antara belanja untuk pembangunan (belanja modal) dan belanja rutin (belanja barang). Saya kira, rata-rata masih 30 persen untuk belanja modal dan 70 persen untuk belanja barang. Bayangkan daya serapnya sudah kecil, kemudian proporsi untuk masyarakat juga sangat kecil. Dua hal inilah yang membuat total alokasi untuk masyarakat menjadi sangat sedikit. Jadi, kalau seperti ini, masyarakat tidak bisa berharap banyak terhadap instrumen fiskal pemerintah daerah. Padahal, penyerapan dana pemda dapat menjadi salah satu solusi untuk menghadapi krisis yang sedang terjadi?

Dalam situasi krisis, kita berharap banyak pada instrumen fiskal pemda dapat menjadi andalan. Karena sekitar 60-65 persen total anggaran kita sudah bergerak ke daerah. Karena itu memang kita berharap banyak pada pemda. Kita juga berharap pemerintah pusat untuk lebih kencang pengawasannya. Jangan ketika menjelang tenggat waktu baru pemerintah pusat berteriak. Karena itu peringatan harus sudah disampaikan beberapa bulan sebelumnya sehingga daerah mulai terpacu. Jangan seperti sekarang ini pemerintah pusat akhirnya menyalahkan daerah. Jangan lupa, fungsi fasilitasi kebijakan masih ada di pusat, terutama di Depdagri dan Depkeu. Mereka tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja, tetapi masih punya tanggung jawab untuk memperkuat kapasitas penyusunan anggaran yang banyak membutuhkan asistensi pusat.

Pemerintah akan menahan alokasi DAK bagi pemda. Ini solusi tepat?
Untuk jangka pendek, mungkin hal itu menjadi terapi kejut bagi pemda. Tapi saya bayangkan bagaimana posisi masyarakat. Artinya, masyarakat juga nanti tidak akan mendapatkan akses pendanaan yang kuat karena sudah ditahan pusat. Ini harus dipikirkan. Pusat jangan hanya menggunakan instrumen hukum dalam hubungannya dengan pemerintah daerah. Tetapi juga tolong menempatkan kepentingan masyarakat pada konteks yang jauh lebih besar. Saya kira masih ada solusi lain tanpa harus menahan alokasi anggaran yang memang merupakan hak masyarakat.

Solusi lainnya itu seperti apa?
Katakan kalau tahun ini mereka tidak memberikan laporan keuangannya mereka diberi peringatan. Tapi setelah itu bisa diberi hukuman. Selain itu, perlu juga dipikirkan waktunya karena dana itu kan hak masyarakat. Jadi, butuh banyak waktu untuk melakukan tetapi kejut seperti ini yang implikasinya bagi masyarakat cukup serius. Kita jangan berpkir jangka pendek, terutama untuk situasi krisis sekarang ini, terutama ketika instrumen fiskal menjadi sandaran utama. Rasanya momentumnya tidak tepat jika penghukuman seperti ini diterapkan. Mungkin perlu diterapkan solusi lain.

--- (Sumber: Jurnal Nasional - Rabu, 04 Februari 2009) ---

Tidak ada komentar: