Rabu, 28 Oktober 2009

Tiga Agenda Mendagri Baru


PDF Cetak E-mail

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat, sebagai Mendagri dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014. Meski agak mengejutkan, pilihan itu patut diapresiasi karena beberapa alasan.

Pertama, terpilihnya Gamawan sebagai tokoh sipil terbilang bersejarah karena selama ini pemerintahan dalam negeri kita ”kental” dengan kepemimpinan militer. Kita berharap, dasar pertimbangannya bersifat paradigmatis: bergesernya mandat inti Departemen Dalam Negeri sebagai pembina politik ke peran manajemen kebijakan di bidang otonomi daerah, fasilitasi/dukungan pemilu, dan seterusnya.

Kedua, seperti Mendagri 2007-2009, Presiden memilih tokoh yang sedang menjabat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbekal pengalaman itu, Mendagri diharapkan tidak perlu waktu lama untuk mengenali peta masalah pengelolaan pemerintahan dalam negeri, khususnya isu-isu otonomi daerah.

Ketiga, sosok Gamawan yang merupakan ikon reformasi governansi yang bersih dan inovatif, baik di Sumatera Barat maupun saat menjabat Bupati Solok. Pascatransisi desentralisasi delapan tahun, kini kita menapaki fase konsolidasi otonomi, yang mensyaratkan visi kepemimpinan inovatif dalam menjamin tumbuhnya kreativitas birokrasi di ranah lokal.

Agenda 100 hari

Dalam terang optimisme semacam itu, publik berharap Mendagri mampu menangani berbagai agenda prioritas (jangka pendek) maupun arah kebijakan (jangka menengah) ke depan. Terkait kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, ada tiga agenda (masalah) krusial yang harus ditargetkan beres dalam kalender 100 hari ke depan.

Pertama, persiapan gelombang kedua pemilihan kepala daerah. Tahun 2010, ada 246 daerah melaksanakan pilkada. Sebagian harus sudah memulai tahap awal rangkaian persiapan pada November 2009. Di sisi lain, hingga hari ini, banyak ketidakjelasan dan ketidaksiapan, baik kerangka legal/regulasi, dukungan anggaran (alokasi APBD), aparat pelaksana (mekanisme pembentukan Panwas Pilkada), sumber data pemilih, dan lainnya. Dalam semua masalah itu, peran dan tanggung jawab Depdagri amat besar (pilkada sebagai bagian rezim pemerintahan daerah).

Ihwal dukungan anggaran, misalnya. Ketiadaan alokasi bagi pelaksanaan pilkada dalam APBD 2009 menuntut keputusan kebijakan Mendagri agar memungkinkan daerah melakukan penyesuaian darurat (APBD-P) di luar siklus normal yang seharusnya dikerjakan paling lambat September lalu. Tanpa langkah politik itu, daerah sulit melakukan perubahan anggaran dan pilkada terancam tertunda. Alternatif lebih jauh, jika segenap persiapan tak bisa dibereskan, pilkada akan tertunda dan berdampak pada implikasi hukum dan politik.

Kedua, problem tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional anggota DPRD 2004-2009. Akar masalahnya adalah kerangka regulasi pusat yang kerap berganti, tak jelas, bertabrakan: dari PP No 24/2004, PP No 35/2006, PP No 37/2006, PP No 21/2007, SE Mendagri No 700/08/ SJ, hingga SE Mendagri No 555/3032/SJ. Alhasil, anggota DPRD 2004-2009 kembali mengulang pengalaman periode sebelumnya (1999-2004), terancam tindak pidana korupsi.

Terlihat jelas jebakan korupsi ”legal” dalam kasus ini adalah murni kesalahan pusat, dengan implikasi anggaran dan akibat hukum yang sepenuhnya ditanggung daerah. Pihak daerah hanya melakukan apa yang sudah diatur, yakni membayar rapelan tunjangan komunikasi dan dana operasional, yang ironisnya minta dikembalikan secara mencicil. Mendagri baru menghadapi pekerjaan rumah amat pelik karena apa pun keputusan yang akan diambil relatif sama risikonya bagi daerah.

Ketiga, ritual berulang pemekaran wilayah. Setelah setahun memasuki masa moratorium, awal Oktober Presiden mengirim surat dan menyilakan DPR mengajukan usul RUU pembentukan daerah otonom baru. Pada putaran pertama pascapelantikan presiden-wapres nanti, tidak kurang 20 calon daerah otonom baru siap diproses penyusunan RUU pembentukannya.

Gelombang baru ini tak mengejutkan karena jeda pemekaran itu bukan hasil desain terencana, di mana ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khusus, tetapi terpaksa karena faktor kondisional tragedi Medan dan persiapan Pemilu 2009.

Kini, sikap Mendagri diuji publik. Secara subyektif-politik harus searah dengan Presiden/DPR yang harus memenuhi utang janji pemekaran dalam kampanye pemilu lalu. Di sisi lain, fakta obyektif menunjukkan, hasil pemekaran lebih banyak membawa mudarat. Bahkan, menurut Lemhannas, sekitar 80 persen daerah otonom baru masuk kategori daerah gagal. Koreksi tuntas harus dimulai dari level manajemen kebijakan: dari hulu (penyiapan kerangka besar), tahapan proses (supervisi), hingga hilir (evaluasi). Tanpa pembenahan kebijakan, jeda pemekaran justru harus diperpanjang lagi.

Berbagai masalah itu berskala kompleks, tetapi perlu segera diselesaikan. Suatu tantangan yang tentu jauh dari enteng dan rasanya Mendagri tak punya kemewahan waktu untuk berbulan madu dengan jabatan baru. Melihat berbagai modal awal itu, publik berharap hasil lebih dari Gamawan Fauzi. (Oleh Robert Endi Jaweng/Manager Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta/Kompas).

Lorong Tiada Ujung Pemekaran Daerah


PDF Cetak E-mail


Salah satu isu krusial yang menguji ke­mam­puan Menteri Da­lam Negeri yang ba­ru, Ga­mawan Fau­zi, dalam agenda 100 hari ke de­pan adalah pe­nge­lolaan ma­salah pemekaran daerah.

Kita tahu, pada awal Oktober lalu, Presiden dan DPR saling ber­kirim surat un­tuk mulai mem­proses lagi usulan RUU Pem­ben­tukan Daerah Oto­nom Ba­ru (DOB). Konon, pa­da pu­taran pertama nanti, tak ku­rang dari 20 calon DOB yang saat ini ma­suk dalam daftar tunggu, pe­nyusunan RUU pembentukannya siap diproses.

Bagi saya, rencana ini sama sekali tidak mengejutkan lantaran moratorium pemekaran dalam setahun belakangan ini memang bukan buah dari sua­tu desain program yang terencana. Tak ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khu­sus yang melandasi adanya mo­ratorium tersebut. Seperti lazimnya, pemerintah lebih banyak melemparkan wacana dan imbauan stop pemekaran, tetapi tak diikuti langkah nyata guna menyambung wacana ke tindakan, mengubah imbauan menjadi ketetapan kebijakan. Dengan kata lain, peng­hen­tian sementara itu bukan ha­sil by design, tetapi by accident.

Se­kurangnya ada dua faktor kon­disional yang memung­kin­kan terjadinya jeda pemekaran belakangan ini. Pertama, tragedi Medan yang berbuntut me­ning­galnya Ketua DPRD Su­mut Abdul Azis Angkat dalam unjuk rasa menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli awal tahun ini. Kedua, persiapan pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden 2009, saat biaya dan enerji politik para elite kita di­konsentrasikan bagi upaya pe­menangan dirinya dalam pemilihan.

Utang Budi, Distribusi Kekuasaan, Rente

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah dan DPR tetap membuka pintu usulan pemekaran ketimbang membenahi sejumlah agenda mendasar yang justru belum kun­jung dilakukan? Seperti kita tahu, publik sudah sering kali mengkritik mismanajemen kebijakan pemekaran yang di­la­ku­kan pusat selama ini. Ke­rangka kebijakan peme­ka­ran kita tak komplet dari sudut sistematika manajemen, yakni mengurut dari payung perencanan (master planning) hingga penilaian ki­nerja (performance assessment). Pusat terkesan le­bih banyak mengeluarkan ke­bijakan reaktif, mengikuti gendang tuntutan yang ditabuh daerah.

Mismanajemen kebijakan itu berlangsung merata di se­mua tahapan penting. Di level hulu pemerintah belum juga me­­miliki grand strategy pe­na­taan daerah: ihwal estimasi jum­lah daerah, titik-titik wila­yah baru yang perlu dikem­bang­kan, pengelolaan pascapemekaran, dll. Pada tahapan pro­ses hingga hari ini upaya mo­nitoring dan supervisi DOB belum kunjung efektif sehingga praktik pemerintahan baru ber­jalan tak tentu arah. Se­men­tara itu di level hilir, belum ada eva­luasi komprehensif atas ca­paian DOB (PP No.6/2007), tidak sekadar studi kasus/sektoral yang dilakukan secara sporadis selama ini.

Alih-alih membereskan agenda prioritas tersebut, pusat justru membuka kembali keran pemekaran yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh pihak daerah selama fase jeda sementara ini. Pembacaan yang paling logis dalam konteks ini tiada lain adalah kuatnya ke­pentingan politik elite na­sional/lokal. Pertama, politik utang budi: elite melakukan barter pemekaran dengan du­kungan suara pemilihan dari konstituen di sejumlah daerah tertentu. Kedua, politik distribusi kekuasaan: elite berupaya menciptakan peluang-pe­luang baru bagi mobilitas kadernya dalam jabatan politik dan birokrasi baru. Dan ketiga, politik rente ekonomi: penciptaan peluang bisnis baru bagi pelaku usaha (kontraktor, dll) yang telah mendukung pendanaan parpol/kelompok elite dalam pemilu.

Dalam gemuruh pesta pora tersebut, rakyat hanya menjadi ob­jek penderita. Mereka menjadi objek mobilisasi selama ma­sa perjuangan pemekaran dan lalu kembali menderita setelah tujuan tersebut tercapai. Berbagai temuan lembaga studi menunjukkan bahwa uku­ran-ukuran objektif tujuan pe­mekaran, yakni mutu pe­la­yanan publik dan kesejah­te­raan masyarakat, tidak terpe­nuhi atau justru merosot di ma­yoritas DOB. Belum lama ini Lemhannas bahkan menyebut sekitar 80% daerah hasil peme­karan (total 1999-2008 sebesar 203 DOB) masuk dalam kategori daerah gagal (Kompas, 30/09/09).

Manfaat yang dirasakan Masyarakat

Dengan basis legitimasi pol­itik yang kuat dan ke­kuasaan yang makin besar, kita se­sungguhnya menaruh harapan tinggi kepada Presiden Su­silo Bambang Yudhoyono untuk mempertegas keberpihakannya terhadap tujuan-tujuan mendasar politik desentralisasi dan khususnya pemekaran daerah. Uku­rannya adalah kemanfaa­tan nyata yang dirasakan ma­sya­rakat dalam perbaikan mu­tu kehidupan mereka, dan ti­dak lagi terus disandera ke­pentingan sempit elite politik yang kerap mengatasnamakan kemaslahatan publik. Pe­r­bai­kan kualitas pelayanan dan ke­sejahteraan sosio-ekonomi ada­­­lah instrumen pencapaian ke­manfaatan nyata tersebut.

Hemat saya, titik penting untuk masuk ke niat perbaikan itu adalah kepemimpinan tegas untuk mengelola segala dina­mika yang ada, baik dalam pe­merintahan maupun parlemen, dari level pusat hingga daerah. Dengan bantuan manajemen kebijakan yang sistematis dan konsistensi teguh dalam pene­rapannya, kiranya libido ke­pen­tingan politik elite bisa lebih terkelola secara produktif. Ini yang kita tunggu dalam pe­riode kedua pemerintahan Yu­dho­­yono, jika tak mau negeri ini berada di lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Re­publik di hari-hari ke depan.
Bagi pihak daerah sendiri, kita berharap munculnya kesa­da­ran mereka dalam melihat dampak negatif pemekaran. Ma­sih ada banyak alternatif non-pemekaran jika memang tu­juannya sungguh sebagai ikhtiar perbaikan kesejah­te­raan masyarakat. Guna mem­perpendek rentang ken­dali, misalnya, dapat ditempuh me­lalui ca­ra desentralisasi keca­ma­tan, baik sebagai basis pe­layanan publik maupun pusat pertumbuhan ekonomi. Pilihan ini patut dipertimbangkan di te­­ngah tingginya biaya berpemerintahan dan belum terbuktinya efektivitas pelayanan di sebagian besar daerah hasil pe­mekaran.

Bagi tujuan akselerasi pembangunan dan peningkatan efektivitas pelayanan publik, pi­lihan yang efektif justru me­lalui kerja sama antardaerah. Dalam konteks manajemen pembangunan, suatu wilayah hasil pemekaran yang biasanya berukuran kecil cenderung berkapasitas terbatas, menjadi unit-unit daya saing yang re­latif lemah dibanding seb­e­lum­nya dan bisa saja kalah bersaing dengan daerah lain. Se­men­tara itu, bagi pelayanan pu­blik kerja sama ini bisa me­minimalkan tendensi setiap daerah yang melihat dirinya se­bagai entitas otonom-individual, yang se­akan terpisah dari relasi in­tegral dengan daerah lain.(Oleh Robert Endi Jaweng
Manajer Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta./Harian Sinar harapan)

Jumlah Kursi di Daerah Pemekaran Naik


PDF Cetak E-mail


Jakarta, Kompas - Jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang dimekarkan, baik untuk daerah induk maupun daerah pemekaran, naik dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kursi DPRD wilayah induk.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay dalam diskusi ”Pengisian Kursi DPRD Kabupaten/Kota Pemekaran” di Jakarta, Kamis (22/10).

Semula, 20 kabupaten induk, sebelum pemekaran, hanya memiliki 710 kursi DPRD. Namun, setelah dimekarkan hingga menjadi 20 kabupaten induk dan 26 kabupaten/kota pemekaran, jumlah kursi DPRD untuk daerah induk dan pemekaran menjadi 1.255 kursi DPRD atau naik 76,76 persen. ”Ini konsekuensi dari pemekaran daerah. Jadi, kursi DPRD-nya harus segara diisi,” katanya.

Namun, ternyata pengisian kursi DPRD untuk daerah yang dimekarkan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran, belum dapat dilakukan.

Padahal, tiap-tiap daerah pemekaran yang rata-rata dimekarkan pada tahun 2008 itu, menurut Koordinator Forum Calon Anggota Legislatif Lintas Partai Kota Tangerang Selatan Robert Usman, terancam dikembalikan ke daerah induk jika tidak mampu membentuk pemerintahan definitif setelah dua tahun disahkan.

Robert menambahkan, sudah ada UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang Dibentuk Setelah Pemilu Tahun 2004 untuk mengisi kursi DPRD di daerah pemekaran.

Aturan itu tidak digunakan karena KPU mengacu kepada UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan akhir Agustus lalu. Namun, UU itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan KPU untuk menjalankan UU itu.

”KPU sudah selesaikan naskah akademis peraturannya. Awal November nanti diperkirakan sudah selesai,” kata anggota KPU, I Gusti Putu Artha.

KPU menjanjikan aturan itu akan mengatur secara mendetail pengisian kursi DPRD pemekaran sehingga KPUD wilayah pemekaran terhindar dari tekanan partai politik dan menghindari benturan di antara sesama caleg partai.

Lambannya pembentukan peraturan KPU karena tidak detailnya UU No 27/2009 sehingga KPU kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan UU dalam membagi kursi DPRD pemekaran. Terlebih lagi, banyak daerah pemilihan dalam pemilu anggota DPRD lalu yang ternyata tidak sinkron dengan daerah yang dimekarkan. (MZW)

Perlu Konsistensi Membenahi Otonomi


PDF Cetak E-mail


Otonomi dan desentralisasi menjadi salah satu kata kunci yang mengiringi, proses demokratisasi di Indonesia serta runtuhnya rezim yang sarat dengan sentralisasi dan pemusatan kekuasaan. Apa harapan pemerintah dan masyarakat daerah terhadap penerapan otonomi daerah dalam periode kedua pemerintahan Presiden SBY?

Penelusuran Bisnis terhadap sejumlah pemerintah daerah dan para pengamat di daerah menunjukkan banyaknya kekecewaan atas penerapan otonomi daerah.

Upaya meningkatkan pendapatan asli daerah sebesar mungkin, egoisme kedaerahan, kebijakan daerah yang tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat, suku bunga perbankan yang terlalu tinggi, serta tata kelola keuangan pemerintah yang tidak selaras antara pusat dan dae­rah, merupakan keluhan yang paling menonjol.

Ada berbagai keruwetan penerap­an desentralisasi yang berpangkal dari masalah teknis serta perbedaan paradigma berpikir. Konsistensi peraturan pemerintah pusat serta dukungan terhadap pengembangan infrastruktur di daerah menjadi ha­rapan seluruh pemerintah daerah. Iwan Java Aziz, guru besar dari Cornell University AS, berpendapat desentralisasi justru mendorong munculnya banyak kebijakan berlingkup regional maupun nasional yang akhirnya justru mengurangi daya tarik investasi.

"Pada dasarnya desentralisasi itu baik untuk Indonesia, tapi pelaksanaannya menemui banyak kendala," ujarnya pada focus group discussion yang digelar Bank Indonesia Semarang belum lama ini.

Iwan mengungkapkan dalam penelitiannya 3 tahun terakhir di seluruh wilayah Indonesia ditemukan bahwa hampir semua pemkot/pemkab menerbitkan kebi­jakan regional dengan tujuan utama meningkatkan pendapatan asli dae­rah sehingga membebani dunia usaha.

Selain itu, lanjutnya dalam 3 ta­hun terakhir pemerintah pusat menerbitkan kebijakan yang mengganggu proses desentralisasi, terutama kenaikan harga BBM hingga 120% dan kebijakan Bank Indonesia yang mengakibatkan suku bunga perbankan tinggi.

Tak Propasar

Data di Pemprov Jateng menunjukkan 202 peraturan daerah di provinsi ini direkomendasikan oleh Departemen Keuangan untuk dicabut karena dinilai antiinvestasi dan bertentangan dengan undang-undang pemerintahan daerah.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Sumatra Utara Eddy Syofian berpendapat kurang sinkronnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola keuangan pusat dan daerah men­jadi penyebab minimnya realisasi proyek-proyek pembangunan di wilayah Sumatra Utara.

Menurut dia, para kepala daerah ataupun pimpinan satuan kerja perangkat daerah di tingkat provinsi sangat berhati-hati dalam realisasi proyek karena khawatir melangkah lebih jauh sehingga harus berurusan dengan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, serta Kejaksaan.

"Dalam kondisi seperti itu, tidak mengherankan realisasi anggaran proyek di Sumatra Utara baru sekitar 40%-an. Bahkan ada beberapa bupati yang belum mengarnbil dana perimbangan dari pusat," katanya.

Dia mengakui kenyataan pemerin­tah daerah lebih memilih menempatkan dana pembangunan yang dialokasikan pemerintah pusat di bank-bank daerah.

"Saya kira selagi kondisinya masih seperti saat ini, menyimpan dana di bank daerah menjadi salah satu pilihan logis dan positif karena ikut memajukan bank daerah. Yang juga penting, hal itu tidak melanggar per­aturan," ujarnya.

Eddy Syofian berharap Kabinet Indonesia bersatu II dapat melakukan perbaikan dan penataan kembali terhadap penataan kembali tata kelo­la keuangan pusat dan daerah.

Harapan lain disampaikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Deny Juanda Puradimaja. Dia mengatakan daerah menginginkan keberlanjutan kebi­jakan yang sedang dirintis atau sedang dalam tahap pengerjaan.

Jabar berkepentingan dengan keberlanjutan program pembangunan. Sebab, provinsi ini memiliki sejumlah proyek strategis yang dinilai mampu menggerakkan perekonomian daerah, sekaligus menopang perekonomian nasional. Proyek mutakhir yang sedang digenjot adalah pembangunan infrastruktur jalan di Jabar bagian selatan sepanjang 421 km.

Pembangunan infra­struktur merupakan salah satu fokus penting bagi semua pemerintah daerah yang perlu dukungan pemerintah pusat. Pemerintah Kalimantan Timur, misalnya, mengarahkan anggaran ke dua aspek terpenting bagi daerah itu, yakni infrastruktur berupa jalan trans-Kalimantan serta pengembangan daerah perbatasan.

Gubernur Awang Faroek Ishak mengatakan kondisi jalan trans-Kalimantan di wilayah Kaltim memprihatinkan khususnya di utara yang menjadi urat nadi perekonomian tujuh kabupaten/kota.

Kaltim memperoleh bantuan APBN 2009 sebesar Rp43 miliar yang dianggap sangat kurang untuk kerusakan jalan lebih dari 100 km. Adapun Pemkab Malang mengalokasikan rata-rata 50% dari total belanja pembangunan untuk proyek infrastruktur. 9Oleh Setyardi Widodo
Wartawan Bisnis Indonesia)

Senin, 06 Juli 2009

Prihatin Pengamat Politik Pesanan

Pernyataan-pernyataan pengamat politik selalu menjadi barometer sebagian besar masyarakat dalam menyikapi permasalahan kehidupan politik, terutama menjelang pemilu presiden (pilpres) saat ini. Yang mereka katakan dianggap benar dan masuk akal, tanpa tendensi-tendensi tertentu.Sayang, dalam debat calon presiden (capres) yang diselenggarakan KPU, ada beberapa pengamat politik yang berbicara berdasar pesanan para capres. Mereka "membela" pendapat capres yang memberikan order kepada dirinya. Itu jelas tidak sesuai dengan profesionalisme seorang pengamat. Sebab, mereka seharusnya menjadi orang yang independen.Semestinya, pengamat memberikan pernyataan berdasar hati nurani dan keilmuan yang telah dikuasai. Bukan berdasar pesanan pihak mana pun. Kalau memang kondisinya seperti yang kita lihat di debat capres, lebih baik para pengamat terang-terangan menjadi tim sukses capres saja. Bukan menjadi pengamat.RAHADI B. PRIJATNO SPd, guru SMP 2 Kaliwungu, Kudus, Jateng
sumber : jawapos.com

Sisi Positif Black Propaganda

Menjelang akhir masa kampanye pilpres terbuka yang akan berakhir pada 5 Juli ini, jagat perpolitikan di negeri ini cukup menegangkan. Pemicunya adalah munculnya black propaganda (propaganda gelap) atau kampanye hitam/negatif, baik melalui aneka selebaran gelap, layanan singkat (SMS), e-mail maupun berbagai diskusi dalam komunitas tertentu. Targetnya jelas, menjatuhkan dan menyudutkan pasangan capres/cawapres tertentu. Banyak pihak mengeluh bahwa black propaganda cenderung mengurangi derajat persaingan sehat dalam Pilpres 2009 ini. Benarkah demikian? Melacak Literatur & Tradisi Harus diakui bahwa black propaganda dalam literatur politik, terutama dalam komunikasi politik, adalah sesuatu yang baru. Berbeda dengan black propaganda dalam dunia militer sebagai istilah yang lazim digunakan sejak perang dunia pertama dan kedua, sebagaimana dinyatakan oleh Alleyne (2003) dalam bukunya berjudul Global Lies, Propaganda, the UN and World Order. Menurut Alleyne, suatu pernyataan dapat dikualifikasikan sebagai black propaganda, apabila berasal dari sumber palsu, menyebarkan kebohongan dan manipulasi. Sedangkan istilah lawannya adalah white propaganda, yakni pernyataan yang dapat dipertanggungjawabkan secara cermat dan teruji akurasinya.Namun, karena pergeseran waktu dan cakupan kajian politik yang luas, istilah black propaganda ini menjadi istilah yang lebih populer dalam dunia politik ketimbang di dunia militer. Terutama mengaitkan dengan kegiatan kampanye dan seolah-olah black propaganda merupakan istilah paten dalam kampanye.Black propaganda belakangan ini sering pula diidentikkan sebagai bentuk dari kampanye menyerang lawan politik (attack campaign). Kampanye jenis ini biasa dan lazim dilakukan di Amerika Serikat dalam pilpres maupun pemilu lokal sebagai bentuk keseriusan menampilkan program-program kerja calon. Pada umumnya bentuk attack campaign ada tiga macam: Pertama, kampanye advokasi, yakni kampanye yang difokuskan pada upaya memopulerkan diri dan kualitas calon dari calon yang lain. Kedua, kampanye menyerang lawan, yakni upaya menyampaikan pada publik akan kegagalan-kegagalan calon lain dalam menjalankan program. Ini biasanya ditujukan pada lawan mantan pejabat yang mencalonkan kembali. Ketiga, kampanye perbandingan, yakni upaya menyampaikan kepada publik secara berbanding rekam jejak (track record) calon, kualitas dan kapasitas, moral dan program kerja antarcalon.Ujian Awal Para Calon Ini menunjukkan bahwa sebenarnya black propaganda adalah sesuatu yang tak mungkin dihindari dan bahkan menjadi keniscayaan kompetisi dalam demokrasi liberal. Kendati ada kekhawatiran dapat menurunkan kredibilitas dan martabat calon, kekhawatiran ini rasanya tak perlu berlebihan, mengingat kompetisi dalam demokrasi liberal saat ini menyediakan banyak pilihan cara dan kebebasan mengaktualisasikan cara tersebut dan black propaganda adalah salah satu pilihan yang tersedia. Pada akhirnya apa pun pilihan dalam kampanye berpulang ke pasar politik (political market) yakni: publik sebagai pemilik otoritas dalam menilai setiap pilihan cara kampanye calon. Terlepas dari adanya efek negatif, black propaganda memiliki kontribusi positif bagi seleksi kepemimpinan politik nasional. Pertama, black propaganda memicu terbukanya rekam jejak calon. Rekam jejak (track record) itu adalah acuan utama publik untuk memilih calon. Pada umumnya, rekam jejak, berupa perilaku negatif masa lalu, pasti disembunyikan secara rapat oleh calon. Namun, dengan black propaganda publik dapat menguak misteri rekam jejak masa lalu calon. Di titik ini calon dituntut dapat membuktikan secara terbalik black propaganda itu dengan argumentasi yang cermat dan cerdas di hadapan publik. Jika calon gagal menyakinkan dengan bukti-bukti yang dapat diterima, publik dapat membenarkan black propaganda itu. Sebaliknya, jika calon berhasil menepis black propaganda itu dan diterima publik, calon telah dapat mencuri hati publik. Kedua, black propaganda dapat menguji calon dalam mengatasi masalah. Adalah tidak mungkin menyerahkan estafet kepemimpinan daerah kepada calon yang cengeng, emosional, dan brangasan dalam mengatasi masalah daerahnya. Adanya black propaganda adalah salah satu masalah kecil yang mesti dihadapi seorang calon sebelum benar-benar menjadi kepala daerah. Jika calon dapat mengatasi masalah kecil ini dengan elegan, yakni: santun, tegar, argumentatif, tidak emosinal, cermat, dan dapat meyakinkan serta diterima publik, dengan sendirinya publik akan menilai dengan akal sehat bahwa calon mampu mengatasi masalah-masalah besar dan rumit di daerahnya dengan elegan pula. Ketiga, black propaganda dapat menguji kedekatan calon kepada masyarakat. Kedekatan calon dengan masyarakat adalah sesuatu yang sangat vital dalam konteks pemilihan langsung. Artinya, semakin dekat calon dengan masyarakat semakin menunjukkan kemungkinan calon dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat dan dapat mengetahui problem daerahnya serta program apa yang dikehendaki masyarakat. Sebaliknya, semakin jauh calon dengan masyarakat semakin tipis pula jarak kemungkinan calon menyerap aspirasi masyarakatnya.Di titik inilah black propaganda menjadi ujian sendiri bagi calon. Seandainya dia telah dikenal dekat dengan masyarakat jauh sebelum mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, tentu saja aneka bentuk black propaganda yang menyudutkan dan menjatuhkan kredibilitasnya pasti dilawan dan ditolak oleh masyarakat.Sebaliknya, jika capres/cawapres baru dikenal di masyarakat atau bahkan populer hanya oleh pencitraan media, dengan sekali muncul selebaran black propaganda yang meyudutkan dirinya seketika itu pula citranya hancur berkeping-keping. Sebab, tak ada penolakan dan perlawanan masyarakat atas black propaganda. (*)*).
Agus Riewanto SH MA , adalah Sekjen Institute of Law, Human Right and Democracy (Ilhad) Yogjakarta dan Dosen Hukum Tata Negara STAIN Surakarta.
sumber: jawapos.com

Hati-Hati Money Politics

Sesuai dengan ketetapan KPU, masa tenang menjelang pilpres dimulai pada 5 Juli kemarin. Tentu, sudah tidak ada lagi kampanye pada masa itu. Namun, setiap capres dan cawapres ingin hasil yang maksimal sehingga terkadang masa-masa tenang tetap saja digunakan untuk memengaruhi massa guna menambah suaranya. Cara apa pun dapat dilaksanakan untuk mendongkrak perolehan suaranya.Berangkat dari pengalaman pileg bulan lalu, masa tenang seperti ini sangat rawan terjadi money politics. Karena itu, selain Bawaslu, masyarakat harus mengawasi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya money politics pada masa tenang pilpres kali ini. Jangan sampai suara rakyat hanya dibeli dengan uang Rp 5 ribu. Jangan gara-gara Rp 5 ribu, kita mempertaruhkan masa depan bangsa ini lima tahun ke depan. Hati-hati money politics.Rubangi, mahasiswa Fakultas Ekonomi UIN Malang
sumber : jawapos.com

Mewaspadai Gerakan Transnasional

Penangkapan empat mahasiswa asal Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, oleh pihak keamanan setempat patut diperhatikan oleh semua pihak. Bukan hanya karena empat mahasiswa tersebut mendapat perlakuan tidak senonoh dari pihak keamanan Mesir. Lebih dari itu, penangkapan tersebut bisa menjadi "peringatan keras" bagi semua pihak terkait gerakan politik keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan perjuangannya. Di dalam negeri, gerakan-gerakan seperti ini dikenal dengan istilah gerakan transnasional.Sebagaimana diberitakan, empat mahasiswa asal Indonesia tersebut ditangkap petugas keamanan Mesir karena dituduh terlibat aktif dalam gerakan politik Ikhwan Muslimin ataupun Hamas (Jawa Pos, 4/7). Kedua gerakan Islam politik itu acapkali mendapat perhatian ketat (untuk tidak mengatakan pengekangan) dari pemerintah Mesir. Bersyukur, empat mahasiswa kita tidak terbukti terlibat dalam dua gerakan tersebut.Gerakan Transnasional Selama ini terdapat sejumlah pihak yang melansir Timur Tengah sebagai salah satu "sumber" utama gerakan-gerakan transnasional yang saat ini menyebar di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Adalah gerakan politik Ikhwan Muslimin yang sering ditengarai sebagai "ibu gerakan perlawanan Islam" yang saat ini tumbuh subur di banyak negara.Ikhwan Muslimin didirikan oleh seorang ulama kenamaan asal Mesir, Hasan Al-Banna, pada 1928. Pendirian gerakan itu terkait erat dengan konteks "keterpurukan dunia Islam" secara politik yang secara beruntun dan dramatis dimulai pada 1923, yaitu ketika sistem kekhilafahan Utsmaniyah secara resmi dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki. Sebagian pihak menganggap kekhilafahan Utsmaniyah sebagai khilafah Islam.Pasca 1923, keterpurukan demi keterpurukan terus melanda dunia Islam yang sebelumnya masuk dalam wilayah kekuasaan kekhilafahan Utsmaniyah. Dunia Islam dijajah oleh negara-negara Eropa yang berkuasa pada era itu, terutama Prancis dan Inggris. Puncak keterpurukan dunia Islam terjadi pada 1948, yaitu dengan berdirinya negara Israel di atas tanah dunia Arab-Islam.Konteks kekalahan dan keterpurukan inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya pelbagai macam gerakan perlawanan di dunia Islam, terutama di Timur Tengah. Gerakan yang pertama lahir pda era ini adalah Ikhwan Muslimin yang salah satu tujuannya mengusir kekuatan penjajah yang saat itu menguasai Mesir. Pada hari-hari berikutnya hingga hari ini, gerakan dan tokoh perlawanan terus bermunculan seperti Tandzim Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon, dan yang lain. Semua ini tidak terlepas dari konteks keterpurukan yang tak kunjung berakhir di Timur Tengah. Apalagi dengan adanya Israel yang semakin sewenang-wenang dalam merampas hak-hak warga dan negara Arab-Islam.Namun, ada hal yang tak kalah menentukan daripada faktor keterpurukan di atas. Yaitu, beberapa ajaran dalam Islam yang dipahami membolehkan perlawanan bahkan juga aksi kekerasan, terutama dalam keadaan terjajah. Salah satu ajaran dimaksud adalah ajaran tentang jihad, peperangan, dan sebagainya.Pada umumnya gerakan-gerakan transnasional menjadikan ajaran-ajaran di atas sebagai landasan perjuangan mereka. Tidak jarang dari mereka yang menghalalkan "aksi kekerasan" karena dianggap dibenarkan oleh norma agama yang dipedomaninya tersebut.Secara jujur harus diakui, Islam memang mempunyai beberapa ajaran yang terkait aksi-aksi keras seperti perang, jihad, dan sebagainya. Namun, sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran-ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lain. Yang tidak kalah penting adalah hampir semua ajaran jihad, perang, dan ajaran yang identik dengan aksi keras mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Dengan kata lain, ajaran tentang aksi keras dalam Islam tidak diturunkan secara mutlak atau tanpa syarat apa pun. Pengamalan atas ajaran-ajaran ini sejatinya memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dan secara rinci tergambar dalam latar belakang (asbaabun nuzuul atau asbaabul wurud) turunnya ajaran tersebut.Dalam sejarah Islam awal, contohnya, ajaran tentang jihad dan perang diturunkan ketika umat Islam berada di Madinah. Sedangkan dalam konteks masih di Makkah, umat Islam tidak diperbolehkan berperang, walaupun sering mendapat perlakuan tidak adil dari penduduk Makkah. Konteks Indonesia Konteks Indonesia berbeda dengan konteks Timur Tengah. Konteks Timur Tengah hampir identik dengan peperangan, perlawanan, dan aksi-kasi keras lainnya. Hal ini tak lain karena kondisi konfliktual masih terus terjadi hingga hari ini di kawasan ini. Sedangkan konteks Indonesia hampir identik dengan perdamaian, pemberdayaan, dan kelenturan. Sejatinya ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras seperti di atas dipahami dan diamalkan tanpa mengabaikan perkembangan konteks yang ada. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras di Timur Tengah (pada tahap tertentu) masih bisa diterima dan dibenarkan. Hal ini tidak lain karena hingga hari ini konteks Timur Tengah belum beranjak dari keterpurukan dan peperangan. Juga karena alasan di atas, (pada batas tertentu) keberadaan faksi-faksi politik yang cenderung keras di Timur Tengah masih bisa diterima dan dipahami.Kondisi ini berbeda dengan konteks Indonesia. Sejatinya, pemahaman dan gerakan keislaman di republik ini mendukung upaya pemberdayaan dan perdamaian yang ada.Semua pihak (termasuk para pelajar di luar negeri) sejatinya bisa memilah-memilih dalam mengikuti ataupun mempelajari gerakan keagamaan tertentu. Hingga gerakan keagamaan yang dipelajari tidak kontraproduktif dengan konteks keumatan yang ada di Indonesia. Adalah malapetaka tatkala konteks pemberdayaan dikuasai oleh gagasan dan perjuangan yang bernuansa perlawanan. (*)*).

Oleh Hasibullah Satrawi

Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.

dimuat : jawapos.com

Para capres sepakat benahi implementasi otda

Audiens debat calon presiden (capres) di Balai Sarbini, Jakarta, tercengang. Mereka tidak menyangka kalau capres nomor urut 3, Jusuf Kalla, meminjam istilah tinju, langsung melayangkan jab telak di dagu Susilo Bambang Yudhoyono, capres nomor urut 2, pada menit-menit awal debat capres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tadi malam.
Dalam debat terakhir capres yang dipandu Dekan Fisipol UGM, Pratikno, Kalla memamerkan peran aktifnya dalam menyelesaikan konflik di Aceh, Poso, dan Ambon dalam sambutan pembuka. Masih biasa-biasa saja.
Tanpa diduga, sejurus kemudian Kalla langsung menyerang Yudhoyono terkait dengan proses demokratisasi yang memang menjadi topik debat selain soal otonomi daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Saya kira keliru kalau ada yang mengukur demokrasi dengan uang. Saya mohon maaf ini Pak SBY, tetapi iklan pemilu satu putaran yang disebutkan menghemat anggaran Rp4 triliun itu sama artinya dengan mengukur demokrasi dengan uang," ujarnya yang sontak membuat suasana di Balai Sarbini gaduh.
Sindiran belum berhenti di situ. Kalla melanjutkan, "Saya khawatir dalam Pemilu 2014 nanti ada iklan Lanjutkan Terus, [jadi] tidak perlu Pemilu karena menghemat anggaran Rp25 triliun," ujarnya disambut gelak tawa.
Mendapat serangan mendadak, Yudhoyono masih sempat tersenyum sambil membuat catatan di kertas yang ada di podiumnya. Saat rehat, ketiga capres langsung duduk.
Kalau biasanya Yudhoyono dan Kalla masih sempat saling sapa dan bercanda, dalam break sesi pertama ini tak terlihat suasana itu. Namun, Yudhoyono dan Kalla akhirnya bersalaman pada saat jeda iklan setelah sebelumnya saling serang soal iklan satu putaran.
Ketika menanggapi, Yudhoyono mengaku iklan satu putaran bukan merupakan iklan yang dikeluarkan tim kampanye SBY-Boediono.
Kemudian Yudhoyono membalas menyerang dengan menyebut ketidakkonsistenan Kalla tentang pemilu. Namun hal terasa kurang telak.
Malah serangan balik yang dia harus terima. Kalla mengomentari jika iklan kampanye satu putaran itu bukan iklan resmi tim kampanye SBY-Boediono, berarti itu iklan ilegal.
"Jadi kita harus hati-hati mencermatinya. Dan satu putaran bisa saya, bisa Pak SBY, bisa juga Ibu Mega [Megawati Soekarnoputri]."
Debat semalam memang seperti pertarungan dua incumbent, Yudhoyono dan Kalla. Megawati Soekarnoputri, capres nomor urut 1, tidak terlalu terlibat dalam saling sindir tersebut.
Nuansa saling menjatuhkan memang jelas terasa pada debat capres tadi malam dibandingkan dengan acara serupa sebelumnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, tidak terlalu banyak perbedaan di antara ketiga pasangan capres.
Ketiga pasangan sepakat bahwa otonomi daerah perlu pembenahan dalam implementasinya. Ketiganya menyoroti tentang munculnya peraturan daerah yang bermasalah.
Lalu, ketiga capres juga memandang pemekaran daerah yang menjadi euforia di beberapa wilayah harus didasarkan oleh semangat untuk menyejahterakan masyarakat, bukan demi kepentingan politik praktis.
Namun, bagi Agung Pambudi, Direktur Ekesekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), penjelasan para capres tersebut terlalu normatif.
Belum optimal
Menurut Agung, debat belum dioptimalkan oleh para capres, terlihat bagaimana para kandidat kurang maksimal menjelaskan mengenai soal pemekaran daerah.
"Saya agak kecewa dengan jawaban capres yang sangat normatif," katanya di sela-sela diskusi yang digelar bersamaan dengan debat tersebut tadi malam.
Kekecewaan juga dirasakan dalam komentar Direktur Eksekutif Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Alit Merthayasa. Isu penting seperti desentralisasi fiskal dan kewenangan daerah yang belum maksimal, menurut Alit, malah tidak mendapatkan tempat.
Menyangkut otonomi daerah, Pratikno sebagai pemandu debat sebenarnya sudah memancing dengan pertanyaan yang lebih teknis seperti bagaimana mengurus masalah Papua.
"Tetapi para capres tidak memberikan pendalaman. Penyelenggaraan otonomi khusus belum berhasil meningkatkan kesejahteraan," ujar Cecep Effendi, anggota Steering Komite Jaringan Kerja Tata Pemerintahan Asia-Kerja Sama Pembangunan Jerman.
Padahal Cecep berharapa para capres itu menjawab bagaimana cara pemerintah pusat nantinya memastikan bahwa sumber dana yang masuk ke Papua dapat membawa kesejahteraan.
"Kalau tidak serius, saya khawatir Papua dapat menjadi Timor Leste yang kedua," ujar Cecep.
Memang kita tidak bisa berharap banyak bahwa debat para capres bisa menampilkan tawaran-tawaran kebijakan baru yang lebih terperinci bukan sekadar jawaban normatif. Apalagi di tengah keterbatasan waktu debat yang sering diisi dengan ewuh pekewuh.
Namun, minimal debat kali ini lebih enak ditonton. Paling tidak kita akan tahu reaksi para capres itu ketika mendapatkan kritikan dari orang lain.
Ratna Ariyanti
Bisnis Indonesia