Rabu, 28 Oktober 2009

Lorong Tiada Ujung Pemekaran Daerah


PDF Cetak E-mail


Salah satu isu krusial yang menguji ke­mam­puan Menteri Da­lam Negeri yang ba­ru, Ga­mawan Fau­zi, dalam agenda 100 hari ke de­pan adalah pe­nge­lolaan ma­salah pemekaran daerah.

Kita tahu, pada awal Oktober lalu, Presiden dan DPR saling ber­kirim surat un­tuk mulai mem­proses lagi usulan RUU Pem­ben­tukan Daerah Oto­nom Ba­ru (DOB). Konon, pa­da pu­taran pertama nanti, tak ku­rang dari 20 calon DOB yang saat ini ma­suk dalam daftar tunggu, pe­nyusunan RUU pembentukannya siap diproses.

Bagi saya, rencana ini sama sekali tidak mengejutkan lantaran moratorium pemekaran dalam setahun belakangan ini memang bukan buah dari sua­tu desain program yang terencana. Tak ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khu­sus yang melandasi adanya mo­ratorium tersebut. Seperti lazimnya, pemerintah lebih banyak melemparkan wacana dan imbauan stop pemekaran, tetapi tak diikuti langkah nyata guna menyambung wacana ke tindakan, mengubah imbauan menjadi ketetapan kebijakan. Dengan kata lain, peng­hen­tian sementara itu bukan ha­sil by design, tetapi by accident.

Se­kurangnya ada dua faktor kon­disional yang memung­kin­kan terjadinya jeda pemekaran belakangan ini. Pertama, tragedi Medan yang berbuntut me­ning­galnya Ketua DPRD Su­mut Abdul Azis Angkat dalam unjuk rasa menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli awal tahun ini. Kedua, persiapan pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden 2009, saat biaya dan enerji politik para elite kita di­konsentrasikan bagi upaya pe­menangan dirinya dalam pemilihan.

Utang Budi, Distribusi Kekuasaan, Rente

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah dan DPR tetap membuka pintu usulan pemekaran ketimbang membenahi sejumlah agenda mendasar yang justru belum kun­jung dilakukan? Seperti kita tahu, publik sudah sering kali mengkritik mismanajemen kebijakan pemekaran yang di­la­ku­kan pusat selama ini. Ke­rangka kebijakan peme­ka­ran kita tak komplet dari sudut sistematika manajemen, yakni mengurut dari payung perencanan (master planning) hingga penilaian ki­nerja (performance assessment). Pusat terkesan le­bih banyak mengeluarkan ke­bijakan reaktif, mengikuti gendang tuntutan yang ditabuh daerah.

Mismanajemen kebijakan itu berlangsung merata di se­mua tahapan penting. Di level hulu pemerintah belum juga me­­miliki grand strategy pe­na­taan daerah: ihwal estimasi jum­lah daerah, titik-titik wila­yah baru yang perlu dikem­bang­kan, pengelolaan pascapemekaran, dll. Pada tahapan pro­ses hingga hari ini upaya mo­nitoring dan supervisi DOB belum kunjung efektif sehingga praktik pemerintahan baru ber­jalan tak tentu arah. Se­men­tara itu di level hilir, belum ada eva­luasi komprehensif atas ca­paian DOB (PP No.6/2007), tidak sekadar studi kasus/sektoral yang dilakukan secara sporadis selama ini.

Alih-alih membereskan agenda prioritas tersebut, pusat justru membuka kembali keran pemekaran yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh pihak daerah selama fase jeda sementara ini. Pembacaan yang paling logis dalam konteks ini tiada lain adalah kuatnya ke­pentingan politik elite na­sional/lokal. Pertama, politik utang budi: elite melakukan barter pemekaran dengan du­kungan suara pemilihan dari konstituen di sejumlah daerah tertentu. Kedua, politik distribusi kekuasaan: elite berupaya menciptakan peluang-pe­luang baru bagi mobilitas kadernya dalam jabatan politik dan birokrasi baru. Dan ketiga, politik rente ekonomi: penciptaan peluang bisnis baru bagi pelaku usaha (kontraktor, dll) yang telah mendukung pendanaan parpol/kelompok elite dalam pemilu.

Dalam gemuruh pesta pora tersebut, rakyat hanya menjadi ob­jek penderita. Mereka menjadi objek mobilisasi selama ma­sa perjuangan pemekaran dan lalu kembali menderita setelah tujuan tersebut tercapai. Berbagai temuan lembaga studi menunjukkan bahwa uku­ran-ukuran objektif tujuan pe­mekaran, yakni mutu pe­la­yanan publik dan kesejah­te­raan masyarakat, tidak terpe­nuhi atau justru merosot di ma­yoritas DOB. Belum lama ini Lemhannas bahkan menyebut sekitar 80% daerah hasil peme­karan (total 1999-2008 sebesar 203 DOB) masuk dalam kategori daerah gagal (Kompas, 30/09/09).

Manfaat yang dirasakan Masyarakat

Dengan basis legitimasi pol­itik yang kuat dan ke­kuasaan yang makin besar, kita se­sungguhnya menaruh harapan tinggi kepada Presiden Su­silo Bambang Yudhoyono untuk mempertegas keberpihakannya terhadap tujuan-tujuan mendasar politik desentralisasi dan khususnya pemekaran daerah. Uku­rannya adalah kemanfaa­tan nyata yang dirasakan ma­sya­rakat dalam perbaikan mu­tu kehidupan mereka, dan ti­dak lagi terus disandera ke­pentingan sempit elite politik yang kerap mengatasnamakan kemaslahatan publik. Pe­r­bai­kan kualitas pelayanan dan ke­sejahteraan sosio-ekonomi ada­­­lah instrumen pencapaian ke­manfaatan nyata tersebut.

Hemat saya, titik penting untuk masuk ke niat perbaikan itu adalah kepemimpinan tegas untuk mengelola segala dina­mika yang ada, baik dalam pe­merintahan maupun parlemen, dari level pusat hingga daerah. Dengan bantuan manajemen kebijakan yang sistematis dan konsistensi teguh dalam pene­rapannya, kiranya libido ke­pen­tingan politik elite bisa lebih terkelola secara produktif. Ini yang kita tunggu dalam pe­riode kedua pemerintahan Yu­dho­­yono, jika tak mau negeri ini berada di lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Re­publik di hari-hari ke depan.
Bagi pihak daerah sendiri, kita berharap munculnya kesa­da­ran mereka dalam melihat dampak negatif pemekaran. Ma­sih ada banyak alternatif non-pemekaran jika memang tu­juannya sungguh sebagai ikhtiar perbaikan kesejah­te­raan masyarakat. Guna mem­perpendek rentang ken­dali, misalnya, dapat ditempuh me­lalui ca­ra desentralisasi keca­ma­tan, baik sebagai basis pe­layanan publik maupun pusat pertumbuhan ekonomi. Pilihan ini patut dipertimbangkan di te­­ngah tingginya biaya berpemerintahan dan belum terbuktinya efektivitas pelayanan di sebagian besar daerah hasil pe­mekaran.

Bagi tujuan akselerasi pembangunan dan peningkatan efektivitas pelayanan publik, pi­lihan yang efektif justru me­lalui kerja sama antardaerah. Dalam konteks manajemen pembangunan, suatu wilayah hasil pemekaran yang biasanya berukuran kecil cenderung berkapasitas terbatas, menjadi unit-unit daya saing yang re­latif lemah dibanding seb­e­lum­nya dan bisa saja kalah bersaing dengan daerah lain. Se­men­tara itu, bagi pelayanan pu­blik kerja sama ini bisa me­minimalkan tendensi setiap daerah yang melihat dirinya se­bagai entitas otonom-individual, yang se­akan terpisah dari relasi in­tegral dengan daerah lain.(Oleh Robert Endi Jaweng
Manajer Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta./Harian Sinar harapan)

Tidak ada komentar: