| |
| |
Salah satu isu krusial yang menguji kemampuan Menteri Dalam Negeri yang baru, Gamawan Fauzi, dalam agenda 100 hari ke depan adalah pengelolaan masalah pemekaran daerah. Kita tahu, pada awal Oktober lalu, Presiden dan DPR saling berkirim surat untuk mulai memproses lagi usulan RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Konon, pada putaran pertama nanti, tak kurang dari 20 calon DOB yang saat ini masuk dalam daftar tunggu, penyusunan RUU pembentukannya siap diproses. Bagi saya, rencana ini sama sekali tidak mengejutkan lantaran moratorium pemekaran dalam setahun belakangan ini memang bukan buah dari suatu desain program yang terencana. Tak ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khusus yang melandasi adanya moratorium tersebut. Seperti lazimnya, pemerintah lebih banyak melemparkan wacana dan imbauan stop pemekaran, tetapi tak diikuti langkah nyata guna menyambung wacana ke tindakan, mengubah imbauan menjadi ketetapan kebijakan. Dengan kata lain, penghentian sementara itu bukan hasil by design, tetapi by accident. Sekurangnya ada dua faktor kondisional yang memungkinkan terjadinya jeda pemekaran belakangan ini. Pertama, tragedi Medan yang berbuntut meninggalnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat dalam unjuk rasa menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli awal tahun ini. Kedua, persiapan pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden 2009, saat biaya dan enerji politik para elite kita dikonsentrasikan bagi upaya pemenangan dirinya dalam pemilihan. Utang Budi, Distribusi Kekuasaan, Rente Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah dan DPR tetap membuka pintu usulan pemekaran ketimbang membenahi sejumlah agenda mendasar yang justru belum kunjung dilakukan? Seperti kita tahu, publik sudah sering kali mengkritik mismanajemen kebijakan pemekaran yang dilakukan pusat selama ini. Kerangka kebijakan pemekaran kita tak komplet dari sudut sistematika manajemen, yakni mengurut dari payung perencanan (master planning) hingga penilaian kinerja (performance assessment). Pusat terkesan lebih banyak mengeluarkan kebijakan reaktif, mengikuti gendang tuntutan yang ditabuh daerah. Mismanajemen kebijakan itu berlangsung merata di semua tahapan penting. Di level hulu pemerintah belum juga memiliki grand strategy penataan daerah: ihwal estimasi jumlah daerah, titik-titik wilayah baru yang perlu dikembangkan, pengelolaan pascapemekaran, dll. Pada tahapan proses hingga hari ini upaya monitoring dan supervisi DOB belum kunjung efektif sehingga praktik pemerintahan baru berjalan tak tentu arah. Sementara itu di level hilir, belum ada evaluasi komprehensif atas capaian DOB (PP No.6/2007), tidak sekadar studi kasus/sektoral yang dilakukan secara sporadis selama ini. Alih-alih membereskan agenda prioritas tersebut, pusat justru membuka kembali keran pemekaran yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh pihak daerah selama fase jeda sementara ini. Pembacaan yang paling logis dalam konteks ini tiada lain adalah kuatnya kepentingan politik elite nasional/lokal. Pertama, politik utang budi: elite melakukan barter pemekaran dengan dukungan suara pemilihan dari konstituen di sejumlah daerah tertentu. Kedua, politik distribusi kekuasaan: elite berupaya menciptakan peluang-peluang baru bagi mobilitas kadernya dalam jabatan politik dan birokrasi baru. Dan ketiga, politik rente ekonomi: penciptaan peluang bisnis baru bagi pelaku usaha (kontraktor, dll) yang telah mendukung pendanaan parpol/kelompok elite dalam pemilu. Dalam gemuruh pesta pora tersebut, rakyat hanya menjadi objek penderita. Mereka menjadi objek mobilisasi selama masa perjuangan pemekaran dan lalu kembali menderita setelah tujuan tersebut tercapai. Berbagai temuan lembaga studi menunjukkan bahwa ukuran-ukuran objektif tujuan pemekaran, yakni mutu pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, tidak terpenuhi atau justru merosot di mayoritas DOB. Belum lama ini Lemhannas bahkan menyebut sekitar 80% daerah hasil pemekaran (total 1999-2008 sebesar 203 DOB) masuk dalam kategori daerah gagal (Kompas, 30/09/09). Manfaat yang dirasakan Masyarakat Dengan basis legitimasi politik yang kuat dan kekuasaan yang makin besar, kita sesungguhnya menaruh harapan tinggi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempertegas keberpihakannya terhadap tujuan-tujuan mendasar politik desentralisasi dan khususnya pemekaran daerah. Ukurannya adalah kemanfaatan nyata yang dirasakan masyarakat dalam perbaikan mutu kehidupan mereka, dan tidak lagi terus disandera kepentingan sempit elite politik yang kerap mengatasnamakan kemaslahatan publik. Perbaikan kualitas pelayanan dan kesejahteraan sosio-ekonomi adalah instrumen pencapaian kemanfaatan nyata tersebut. Hemat saya, titik penting untuk masuk ke niat perbaikan itu adalah kepemimpinan tegas untuk mengelola segala dinamika yang ada, baik dalam pemerintahan maupun parlemen, dari level pusat hingga daerah. Dengan bantuan manajemen kebijakan yang sistematis dan konsistensi teguh dalam penerapannya, kiranya libido kepentingan politik elite bisa lebih terkelola secara produktif. Ini yang kita tunggu dalam periode kedua pemerintahan Yudhoyono, jika tak mau negeri ini berada di lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Republik di hari-hari ke depan. Bagi tujuan akselerasi pembangunan dan peningkatan efektivitas pelayanan publik, pilihan yang efektif justru melalui kerja sama antardaerah. Dalam konteks manajemen pembangunan, suatu wilayah hasil pemekaran yang biasanya berukuran kecil cenderung berkapasitas terbatas, menjadi unit-unit daya saing yang relatif lemah dibanding sebelumnya dan bisa saja kalah bersaing dengan daerah lain. Sementara itu, bagi pelayanan publik kerja sama ini bisa meminimalkan tendensi setiap daerah yang melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seakan terpisah dari relasi integral dengan daerah lain.(Oleh Robert Endi Jaweng |
Rabu, 28 Oktober 2009
Lorong Tiada Ujung Pemekaran Daerah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar