Senin, 06 Juli 2009

Sisi Positif Black Propaganda

Menjelang akhir masa kampanye pilpres terbuka yang akan berakhir pada 5 Juli ini, jagat perpolitikan di negeri ini cukup menegangkan. Pemicunya adalah munculnya black propaganda (propaganda gelap) atau kampanye hitam/negatif, baik melalui aneka selebaran gelap, layanan singkat (SMS), e-mail maupun berbagai diskusi dalam komunitas tertentu. Targetnya jelas, menjatuhkan dan menyudutkan pasangan capres/cawapres tertentu. Banyak pihak mengeluh bahwa black propaganda cenderung mengurangi derajat persaingan sehat dalam Pilpres 2009 ini. Benarkah demikian? Melacak Literatur & Tradisi Harus diakui bahwa black propaganda dalam literatur politik, terutama dalam komunikasi politik, adalah sesuatu yang baru. Berbeda dengan black propaganda dalam dunia militer sebagai istilah yang lazim digunakan sejak perang dunia pertama dan kedua, sebagaimana dinyatakan oleh Alleyne (2003) dalam bukunya berjudul Global Lies, Propaganda, the UN and World Order. Menurut Alleyne, suatu pernyataan dapat dikualifikasikan sebagai black propaganda, apabila berasal dari sumber palsu, menyebarkan kebohongan dan manipulasi. Sedangkan istilah lawannya adalah white propaganda, yakni pernyataan yang dapat dipertanggungjawabkan secara cermat dan teruji akurasinya.Namun, karena pergeseran waktu dan cakupan kajian politik yang luas, istilah black propaganda ini menjadi istilah yang lebih populer dalam dunia politik ketimbang di dunia militer. Terutama mengaitkan dengan kegiatan kampanye dan seolah-olah black propaganda merupakan istilah paten dalam kampanye.Black propaganda belakangan ini sering pula diidentikkan sebagai bentuk dari kampanye menyerang lawan politik (attack campaign). Kampanye jenis ini biasa dan lazim dilakukan di Amerika Serikat dalam pilpres maupun pemilu lokal sebagai bentuk keseriusan menampilkan program-program kerja calon. Pada umumnya bentuk attack campaign ada tiga macam: Pertama, kampanye advokasi, yakni kampanye yang difokuskan pada upaya memopulerkan diri dan kualitas calon dari calon yang lain. Kedua, kampanye menyerang lawan, yakni upaya menyampaikan pada publik akan kegagalan-kegagalan calon lain dalam menjalankan program. Ini biasanya ditujukan pada lawan mantan pejabat yang mencalonkan kembali. Ketiga, kampanye perbandingan, yakni upaya menyampaikan kepada publik secara berbanding rekam jejak (track record) calon, kualitas dan kapasitas, moral dan program kerja antarcalon.Ujian Awal Para Calon Ini menunjukkan bahwa sebenarnya black propaganda adalah sesuatu yang tak mungkin dihindari dan bahkan menjadi keniscayaan kompetisi dalam demokrasi liberal. Kendati ada kekhawatiran dapat menurunkan kredibilitas dan martabat calon, kekhawatiran ini rasanya tak perlu berlebihan, mengingat kompetisi dalam demokrasi liberal saat ini menyediakan banyak pilihan cara dan kebebasan mengaktualisasikan cara tersebut dan black propaganda adalah salah satu pilihan yang tersedia. Pada akhirnya apa pun pilihan dalam kampanye berpulang ke pasar politik (political market) yakni: publik sebagai pemilik otoritas dalam menilai setiap pilihan cara kampanye calon. Terlepas dari adanya efek negatif, black propaganda memiliki kontribusi positif bagi seleksi kepemimpinan politik nasional. Pertama, black propaganda memicu terbukanya rekam jejak calon. Rekam jejak (track record) itu adalah acuan utama publik untuk memilih calon. Pada umumnya, rekam jejak, berupa perilaku negatif masa lalu, pasti disembunyikan secara rapat oleh calon. Namun, dengan black propaganda publik dapat menguak misteri rekam jejak masa lalu calon. Di titik ini calon dituntut dapat membuktikan secara terbalik black propaganda itu dengan argumentasi yang cermat dan cerdas di hadapan publik. Jika calon gagal menyakinkan dengan bukti-bukti yang dapat diterima, publik dapat membenarkan black propaganda itu. Sebaliknya, jika calon berhasil menepis black propaganda itu dan diterima publik, calon telah dapat mencuri hati publik. Kedua, black propaganda dapat menguji calon dalam mengatasi masalah. Adalah tidak mungkin menyerahkan estafet kepemimpinan daerah kepada calon yang cengeng, emosional, dan brangasan dalam mengatasi masalah daerahnya. Adanya black propaganda adalah salah satu masalah kecil yang mesti dihadapi seorang calon sebelum benar-benar menjadi kepala daerah. Jika calon dapat mengatasi masalah kecil ini dengan elegan, yakni: santun, tegar, argumentatif, tidak emosinal, cermat, dan dapat meyakinkan serta diterima publik, dengan sendirinya publik akan menilai dengan akal sehat bahwa calon mampu mengatasi masalah-masalah besar dan rumit di daerahnya dengan elegan pula. Ketiga, black propaganda dapat menguji kedekatan calon kepada masyarakat. Kedekatan calon dengan masyarakat adalah sesuatu yang sangat vital dalam konteks pemilihan langsung. Artinya, semakin dekat calon dengan masyarakat semakin menunjukkan kemungkinan calon dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat dan dapat mengetahui problem daerahnya serta program apa yang dikehendaki masyarakat. Sebaliknya, semakin jauh calon dengan masyarakat semakin tipis pula jarak kemungkinan calon menyerap aspirasi masyarakatnya.Di titik inilah black propaganda menjadi ujian sendiri bagi calon. Seandainya dia telah dikenal dekat dengan masyarakat jauh sebelum mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, tentu saja aneka bentuk black propaganda yang menyudutkan dan menjatuhkan kredibilitasnya pasti dilawan dan ditolak oleh masyarakat.Sebaliknya, jika capres/cawapres baru dikenal di masyarakat atau bahkan populer hanya oleh pencitraan media, dengan sekali muncul selebaran black propaganda yang meyudutkan dirinya seketika itu pula citranya hancur berkeping-keping. Sebab, tak ada penolakan dan perlawanan masyarakat atas black propaganda. (*)*).
Agus Riewanto SH MA , adalah Sekjen Institute of Law, Human Right and Democracy (Ilhad) Yogjakarta dan Dosen Hukum Tata Negara STAIN Surakarta.
sumber: jawapos.com

Tidak ada komentar: