Senin, 06 Juli 2009

Para capres sepakat benahi implementasi otda

Audiens debat calon presiden (capres) di Balai Sarbini, Jakarta, tercengang. Mereka tidak menyangka kalau capres nomor urut 3, Jusuf Kalla, meminjam istilah tinju, langsung melayangkan jab telak di dagu Susilo Bambang Yudhoyono, capres nomor urut 2, pada menit-menit awal debat capres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tadi malam.
Dalam debat terakhir capres yang dipandu Dekan Fisipol UGM, Pratikno, Kalla memamerkan peran aktifnya dalam menyelesaikan konflik di Aceh, Poso, dan Ambon dalam sambutan pembuka. Masih biasa-biasa saja.
Tanpa diduga, sejurus kemudian Kalla langsung menyerang Yudhoyono terkait dengan proses demokratisasi yang memang menjadi topik debat selain soal otonomi daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Saya kira keliru kalau ada yang mengukur demokrasi dengan uang. Saya mohon maaf ini Pak SBY, tetapi iklan pemilu satu putaran yang disebutkan menghemat anggaran Rp4 triliun itu sama artinya dengan mengukur demokrasi dengan uang," ujarnya yang sontak membuat suasana di Balai Sarbini gaduh.
Sindiran belum berhenti di situ. Kalla melanjutkan, "Saya khawatir dalam Pemilu 2014 nanti ada iklan Lanjutkan Terus, [jadi] tidak perlu Pemilu karena menghemat anggaran Rp25 triliun," ujarnya disambut gelak tawa.
Mendapat serangan mendadak, Yudhoyono masih sempat tersenyum sambil membuat catatan di kertas yang ada di podiumnya. Saat rehat, ketiga capres langsung duduk.
Kalau biasanya Yudhoyono dan Kalla masih sempat saling sapa dan bercanda, dalam break sesi pertama ini tak terlihat suasana itu. Namun, Yudhoyono dan Kalla akhirnya bersalaman pada saat jeda iklan setelah sebelumnya saling serang soal iklan satu putaran.
Ketika menanggapi, Yudhoyono mengaku iklan satu putaran bukan merupakan iklan yang dikeluarkan tim kampanye SBY-Boediono.
Kemudian Yudhoyono membalas menyerang dengan menyebut ketidakkonsistenan Kalla tentang pemilu. Namun hal terasa kurang telak.
Malah serangan balik yang dia harus terima. Kalla mengomentari jika iklan kampanye satu putaran itu bukan iklan resmi tim kampanye SBY-Boediono, berarti itu iklan ilegal.
"Jadi kita harus hati-hati mencermatinya. Dan satu putaran bisa saya, bisa Pak SBY, bisa juga Ibu Mega [Megawati Soekarnoputri]."
Debat semalam memang seperti pertarungan dua incumbent, Yudhoyono dan Kalla. Megawati Soekarnoputri, capres nomor urut 1, tidak terlalu terlibat dalam saling sindir tersebut.
Nuansa saling menjatuhkan memang jelas terasa pada debat capres tadi malam dibandingkan dengan acara serupa sebelumnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, tidak terlalu banyak perbedaan di antara ketiga pasangan capres.
Ketiga pasangan sepakat bahwa otonomi daerah perlu pembenahan dalam implementasinya. Ketiganya menyoroti tentang munculnya peraturan daerah yang bermasalah.
Lalu, ketiga capres juga memandang pemekaran daerah yang menjadi euforia di beberapa wilayah harus didasarkan oleh semangat untuk menyejahterakan masyarakat, bukan demi kepentingan politik praktis.
Namun, bagi Agung Pambudi, Direktur Ekesekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), penjelasan para capres tersebut terlalu normatif.
Belum optimal
Menurut Agung, debat belum dioptimalkan oleh para capres, terlihat bagaimana para kandidat kurang maksimal menjelaskan mengenai soal pemekaran daerah.
"Saya agak kecewa dengan jawaban capres yang sangat normatif," katanya di sela-sela diskusi yang digelar bersamaan dengan debat tersebut tadi malam.
Kekecewaan juga dirasakan dalam komentar Direktur Eksekutif Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Alit Merthayasa. Isu penting seperti desentralisasi fiskal dan kewenangan daerah yang belum maksimal, menurut Alit, malah tidak mendapatkan tempat.
Menyangkut otonomi daerah, Pratikno sebagai pemandu debat sebenarnya sudah memancing dengan pertanyaan yang lebih teknis seperti bagaimana mengurus masalah Papua.
"Tetapi para capres tidak memberikan pendalaman. Penyelenggaraan otonomi khusus belum berhasil meningkatkan kesejahteraan," ujar Cecep Effendi, anggota Steering Komite Jaringan Kerja Tata Pemerintahan Asia-Kerja Sama Pembangunan Jerman.
Padahal Cecep berharapa para capres itu menjawab bagaimana cara pemerintah pusat nantinya memastikan bahwa sumber dana yang masuk ke Papua dapat membawa kesejahteraan.
"Kalau tidak serius, saya khawatir Papua dapat menjadi Timor Leste yang kedua," ujar Cecep.
Memang kita tidak bisa berharap banyak bahwa debat para capres bisa menampilkan tawaran-tawaran kebijakan baru yang lebih terperinci bukan sekadar jawaban normatif. Apalagi di tengah keterbatasan waktu debat yang sering diisi dengan ewuh pekewuh.
Namun, minimal debat kali ini lebih enak ditonton. Paling tidak kita akan tahu reaksi para capres itu ketika mendapatkan kritikan dari orang lain.
Ratna Ariyanti
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: