Jumat, 07 November 2008

Kepala Daerah Harus Dapat Bedakan Kepentingan Publik

Jakarta - Kepala daerah yang berasal dari partai politik apa pun harus dapat membedakan antara kepentingan publik dan kepentingan politiknya. Saat menjabat, kepentingan untuk membangun bersama rakyat harus lebih dikedepankan daripada kepentingan politiknya.Demikian disampaikan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto seusai membuka seminar ”Merumuskan Sistem Pemerintahan yang Efektif: Studi Kasus Pembangkangan Kepala Daerah atas Kebijakan Pemerintahan di Era Desentralisasi” di Jakarta, Kamis (19/6).Hal itu diungkapkan pascapenolakan sejumlah pemerintah daerah untuk menyalurkan bantuan langsung tunai sebagai kebijakan pemerintah pusat guna mengatasi kenaikan harga bahan bakar minyak.”Bedakan kepentingan politik dan kepentingan pembangunan secara umum. Kebijakan pemerintah secara nasional tetap harus dilaksanakan. Jika ada masalah dalam implementasi, perlu dicari pengembangannya,” ujarnya.Pembicara lain dalam seminar itu adalah Sekjen Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan Pramono Anung, Wakil Sekjen Partai Golkar Rully Chairul Azwar, Sekjen Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, dan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud.Dalam kapasitas sebagai anggota parpol, kata Mardiyanto, kepala daerah berhak membela kepentingan parpolnya. Namun, kepentingan nasional harus diletakkan di atas segalanya saat menjadi pejabat publik. Karena itu, kader parpol yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah harus siap dengan kondisi ini.Ketidakpatuhan kepala daerah kepada pemerintah pusat terjadi sebab Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara eksplisit hubungan hierarkis antara bupati/wali kota, gubernur, dan presiden. Hubungan hierarkis ini seharusnya diatur secara tegas dalam perundang-undangan.Pramono mengatakan, penolakan kepala daerah atas kebijakan pemerintah pusat menunjukkan pemerintahan yang tidak efektif. Penolakan itu terjadi akibat sikap pemerintah pusat yang lebih suka
memerintah. (mzw)

Kemampuan Legislasi DPRD Lemah

Jakarta - Pembatalan 783 peraturan daerah dan 1 qanun oleh pemerintah pusat menunjukkan lemahnya kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap DPRD.Hal itu diungkapkan Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, Jumat (27/6).”Dalam menyusun perda (peraturan daerah), anggota DPRD umumnya menggunakan panduan, contoh, atau hanya mengopi perda sejenis dari daerah lain. Padahal, kondisi riil tiap daerah berbeda-beda,” katanya.Karena tak memiliki kemampuan, anggota DPRD umumnya mengandalkan biro hukum dari pemerintah daerah setempat untuk menyusun rancangan perda. DPRD tinggal menambahkan aspek politisnya sesuai dengan kewenangan dan kemampuan mereka.”Sebagai pejabat politik, anggota DPR juga harus memahami teknis legislasi, minimal mengetahuinya,” ujar Robert. Pemerintah pusat seharusnya memfasilitasi peningkatan kemampuan legislasi anggota DPRD. Namun, tugas pemerintah pusat itu justru dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.Pemerintah pusat hanya membuat panduan dalam penyusunan perda, tetapi tidak melakukan pembinaan dan pengawasan. Karena itu, DPRD tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas banyaknya perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.Pemerintah juga perlu memperkuat staf sekretariat DPRD yang membantu tugas anggota DPRD sehari-hari. Sebagai pendukung kerja anggota DPRD, staf DPRD juga memiliki peran strategis dalam menghasilkan perda yang baik.Secara terpisah, dosen ilmu politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, menambahkan, pengawasan terhadap proses legislasi DPRD lebih baik dilakukan dengan peningkatan kapasitas masyarakat sipil. Menggantungkan pengawasan itu kepada pemerintah pusat hanya akan melemahkan kemampuan daerah dan memperkuat sentralisasi.Masalahnya, tidak semua kabupaten/kota memiliki kekuatan masyarakat sipil yang kuat untuk memantau kebijakan legislatif atau birokrasi. Kalaupun ada, kekuatan sipil itu sudah dikooptasi oleh kekuatan politik lokal. Karena itu, sembari memperkuat kemampuan legislasi anggota DPRD, pemerintah juga harus memperkuat kapasitas kekuatan masyarakat sipil.Airlangga mengatakan, pengawasan masyarakat sipil penting karena banyak perda yang dibuat bersama antara DPRD dan pemerintah daerah kurang mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat. Proses penyerapan aspirasi publik melalui musyawarah perencanaan dan pengembangan tidak dilakukan dengan melibatkan aktor inti dari kekuatan masyarakat sipil. Kalaupun dilibatkan, hasilnya tidak dijadikan acuan.”Pengaruh kepentingan politik individu anggota legislatif maupun eksekutif di daerah semakin mengorbankan kebutuhan dan harapan rakyat,” katanya.Semakin masyarakat tidak peduli dengan kebijakan publik di daerah, maka kebijakan itu akan menjadi predator bagi diri mereka sendiri. Akhirnya, rakyat yang akan dirugikan. Karena itu, kepedulian masyarakat sipil dalam memantau kebijakan pemerintah perlu ditingkatkan.Sebanyak 783 perda yang dibatalkan pemerintah pusat itu merupakan kumpulan perda bermasalah sejak tahun 2002 hingga September 2007. (MZW)

Buruknya Infrastruktur Hambat Investasi di Daerah

Jakarta - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai hambatan utama investasi di daerah disebabkan oleh buruknya infrastruktur. Demikian hasil survei bisnis KPPOD di 243 kabupaten/kota mengenai Tata Kelola Ekonomi Daerah 2007. Survei dilakukan terhadap 12.187 pelaku usaha manufaktur, perdagangan dan jasa di 15 provinsi. Dari hasil survei, pengelolaan infrastruktur menempati bobot tertinggi 35,5%, diikuti permasalahan program pemda pengembangan usaha sektor swasta 14,8%, persoalan akses lahan dan kepastian hukum 14% serta interaksi pemda dan pelaku usaha 10%. Tak hanya itu, bobot biaya transaksi 9,9% juga menjadi hambatan utama pengembangan bisnis di daerah. Ketua KPPOD Bambang PS Brodjonegoro mengatakan berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2007 tersebut, masalah utama pelaku usaha di daerah adalah infrastuktur fisik, terutama listrik. "Listrik adalah salah satu infrastuktur yang sering bermasalah. Dari 15 provinsi yang disurvei, rata-rata terjadi pemadaman listrik dua kali dalam seminggu," kata Bambang di Jakarta, Selasa (22/7). Tingkat pemadaman listrik tertinggi terjadi di Sumatra Utara, yakni rata-rata mencapai lima kali per minggu, dengan tingkat kepemilikan genset 49 persen. Lalu, Kepulauan Riau rata-rata mengalami pemadaman tiga kali seminggu dengan tingkat kepemilikan genset di provinsi ini mencapai 64 persen. Masalah lampu penerangan jalan juga menjadi masalah utama, diikuti buruknya kondisi air PAM, kualitas jalan kabupaten/kota, dan telepon. Karena itu, dia merekomendasikan pemerintah daerah (pemda) untuk memperbesar alokasi APBD untuk perawatan infrastruktur. Ia menambahkan, proses pengurusan sertifikat tanah juga menjadi masalah. Sebagian besar responden memerlukan waktu 11 minggu hingga lebih dari 2 tahun untuk memperoleh sertifikat, padahal, rata-rata waktu yang diperlukan untuk pengurusan sertifikat sebenarnya hanya delapan minggu. "Untuk itu, kami minta daerah menerapkan pelayanan satu atap dengan benar, artinya biaya makin rendah dan cepat," ujar dia. (Ray/OL-06)

Ribuan Perda Hambat Investasi

Jakarta - Ribuan peraturan daerah (perda) dinilai telah menghambat investasi lantaran terlalu membebani masyarakat dan dunia usaha. Karena itu pemerintah pusat meminta daerah merevisi atau membatalkan peraturan-peraturan tersebut. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, hingga pertengahan Juli 2008 lalu pemerintah pusat telah merekomendasikan pembatalan atau revisi terhadap 2.000 peraturan daerah (perda) yang dinilai tidak mendukung perbaikan iklim investasi. Selain itu, pemerintah menolak 1.200 rancangan peraturan daerah bidang pajak daerah dan retribusi daerah (ranperda PDRD) dari total 1.800 ranperda yang diajukan daerah. ”Untuk mendorong peningkatan tata kelola ekonomi daerah yang semakin baik dan menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah, pemerintah secara konsisten mengevaluasi perda dan ranperda, khususnya yang dinilai membebani masyarakat dan pelaku usaha,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Penyerahan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) KPPOD Award Local Economic Governance 2007 di Jakarta kemarin. Secara sektoral, perda/ranperda yang direkomendasikan untuk ditolak berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum, perindustrian dan perdagangan, serta kehutanan. Bila dilihat dari asal kabupaten/kota pengusul,mayoritas perda/ranperda yang ditolak berasal dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan,dan Kalimantan Tengah. Hasil survei KPPOD 2007 mengungkapkan buruknya kualitas perda menjadi salah satu faktor yang menghambat investasi.Kendati demikian, masalah tersebut kini tidak lagi menjadi faktor dominan. Pengelolaan infrastruktur yang buruk di daerah kini menempati urutan pertama hambatan investasi dengan bobot nilai 35,50%. Adapun kualitas perda menempati posisi terakhir dengan bobot nilai 1,0%. Survei yang dilakukan KPPOD terhadap 12.187 responden pelaku usaha di bidang manufaktur, perdagangan dan jasa pada 243 kabupaten/ kota itu juga mengungkapkan bahwa hambatan muncul pula dari program pemerintah daerah (pemda) dalam mengembangkan usaha sektor swasta, dengan bobot nilai 14,80%, dan akses lahan serta kepastian hukum dengan bobot nilai 14,00%. Hambatan selanjutnya, masih ada ganjalan interaksi antara pemda dan pelaku usaha, efisiensi pungutan di daerah, perizinan usaha, keamanan dan penyelesaian konflik,serta integritas bupati/wali kota. Berdasarkan tingkat hambatan itu,Ketua KPPOD Bambang PS Brojonegoro mengungkapkan, pemerintah perlu memperbesar alokasi anggaran belanja daerah, terutama untuk perawatan dan pembangunan fasilitas infrastruktur. ”Nantinya dana itu harus dialokasikan bagi pembangunan dan perawatan infrastruktur jalan, tol, dan pelabuhandalammemperlancar akses kegiatan penanaman modal investor,”ujarnya. Mengingat masih banyaknya kendala lain di luar infrastruktur, pemerintah juga dinilai perlu merealisasikan langkah kebijakan lain. Menetapkan tarif listrik regional, penerapan layanan satu atap yang benar,mengurangi biaya informal dan retribusi usaha kecil, serta meningkatkan kualitas komunikasi pemda dan dunia usaha. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat mengatakan, hambatan utama investorsaatinilebihbanyakdi sektor infrastruktur.Adapun kendala perda semakin berkurang setelah dievaluasi dan dipantau pemerintah pusat. Hidayat mengatakan, kendala infrastruktur berkait erat dengan belum terjawabnya masalah pembebasan lahan bagi pembangunan infrastruktur fasilitas publik. ”Dari segi pembebasan lahan ini terdapat pesan bahwa masih ada ketidakpastian pada masalah infrastruktur, ketidakpastian hukum dalam hal pendekatan akses pada lahan, dan juga strata title surat tanah,”ujarnya. Karena itu, Kadin mendesak agar persoalan infrastruktur segera diselesaikan dengan menerbitkan undangundang (UU) pembebasan lahan bagi fasilitas publik. Kadin pun sebelumnya pernah mengajukan draf aturan pembebasan lahan.Namun pemerintah cenderung tidak berani menetapkan UU tersebut dan memilih menunggu hingga Pemilu 2009 selesai. Hal itu, kata Hidayat, membuat pemda terkendala dalam membebaskan lahan bagi pembangunan fasilitas infrastruktur publik. Belum adanya aturan yang menjadi payung hukum ini membuat pemda khawatir tindakannya melanggar hukum. Kota Blitar Terbaik, Nias Selatan Terburuk Kota Blitar, Jawa Timur, berada pada peringkat terbaik dalam kategori Tata Kelola Ekonomi Lokal berdasarkan survei yang dilakukan KPPOD itu. Kota Blitar menempati peringkat pertama dari 243 kabupaten/kota yang disurvei dengan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi (Economic Governance Index / EGI) sebesar 76. Berada di urutan kedua hingga kelima berturut-turut Kabupaten Magetan,Jawa Timur,dengan nilai EGI sebesar 75,4; Kota Prabumulih Sumatera Selatan, 74,7; Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 74,3; dan Kabupaten Jembrana, Bali,73,7. Sebaliknya Kabupaten Nias Selatan,Sumatera Utara, menurut KPPOD, merupakan daerah yang memiliki tata kelola ekonomi terburuk dengan nilai EGI 41,41. Sebelum Nias Selatan, lima daerah lain yang menempati peringkat lima terbawah adalah Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, dengan nilai EGI 41,76; Kabupaten Rokan Hilir, Riau, 45,10; Kabupaten Nias,Sumatera Utara, 45,26; dan Kabupaten Rokan Hulu,Riau,47,69. (ZM)

Implementasi, Titik lemah Investasi Daerah

Jakarta - Implementasi kebijakan merupakan titik terlemah dalam upaya perbaikan iklim investasi di daerah pascaotonomi. Kondisi ini bisa menghambat peningkatan investasi di daerah.Demikian garis besar hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2007 yang dipresentasikan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang PS Brodjonegoro Selasa (22/7) di Jakarta.Survei dilakukan terhadap 12.187 responden (seluruhnya pengusaha) di 243 kabupaten dan kota pada 15 provinsi. Hasil survei menunjukkan bahwa 35,5 persen responden menilai infrastruktur merupakan masalah yang paling mengganggu iklim investasi.Masalah infrastruktur yang paling parah adalah lampu penerangan jalan yang minim, pasokan listrik dan air minum yang rendah, kemudian jalur jalan dan telepon yang terbatas.Ganjalan lainnya adalah soal akses terhadap lahan dan kepemilikan tanah. Lemahnya kepastian hukum, terutama terjadi di kota-kota besar, seperti Semarang, Surabaya, Batam, Manado, dan Makassar. ”Tingkat risiko penggusuran tanah mencapai 20 persen. Pengusaha menganggap kapan pun tanah yang sudah dibeli atau bangunan yang sudah didirikan bisa digusur,” ujar Bambang.KPPOD juga menemukan, rata-rata waktu yang diperlukan untuk mendapatkan sertifikat lahan selama delapan minggu. Namun, ada 38,4 persen dari total responden yang memerlukan 11 bulan hingga dua tahun.Temuan memprihatinkan juga ada pada pungutan formal yang memberatkan. Sebagai contoh, biaya resmi untuk mengurus izin tanda daftar perusahaan (TDP) ditetapkan Rp 100.000.Namun, kenyataannya ada pemerintah daerah yang menetapkan biaya Rp 125.000 (Kabupaten Kediri dan Kabupaten Gowa), bahkan Rp 500.000 di Kota Bontang, Kalimantan Timur.Biaya rata-rata pengurusan dokumen izin usaha bisa mencapai Rp 1,443 juta. Itu sudah termasuk TDP, tanda daftar industri, surat izin usaha perdagangan, izin gangguan, dan izin mendirikan bangunan. ”Bagi perusahaan besar tak masalah, tetapi perusahaan yang kami temui adalah usaha kecil. Biaya sebesar itu tergolong memberatkan,” ujar Bambang.Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pengusaha masih kecewa atas kinerja pemda dan pemerintah pusat yang masih tumpang-tindih.”Ketika pemerintah menerbitkan paket kebijakan untuk mendorong pemulihan iklim investasi, kami merasa optimistis. Namun, realisasi paket kebijakan itu malah tidak ada,” ujarnya. (OIN) --- (Sumber: Harian KOMPAS - Rabu, 23 Juli 2008 - Hal.Utama) ---

Peraturan Daerah Bebani Pebisnis

Jakarta - Pemerintah terus mengevaluasi peraturan daerah dan rancangan peraturan daerah yang membebani masyarakat dan pelaku usaha. Sampai pertengahan Juli, dari 7.200 peraturan yang dievaluasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, sebanyak 2.000 peraturan tentang pungutan daerah diusulkan diusulkan untuk ditolak dan direvisi.Selain itu, dari 1.800 rancangan peraturan, sebanyak 1.200 rancangan direkomendasi untuk ditolak dan direvisi. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati, hampir setiap hari Direktorat Perimbangan merekomendasikan dua-tiga peraturan pungutan daerah untuk dibatalkan, ditolak, atau direvisi."Evaluasi ini bertujuan memperbaiki iklim investasi dan pengelolaan ekonomi daerah," kata dia dalam acara Local Economic Governance Award kemarin. Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan, berdasarkan sektornya, peraturan dan rancangan peraturan yang paling banyak dibatalkan atau direvisi berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum, industri, perdagangan, serta kehutanan. Sedangkan wilayahnya berasal dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Ketua Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Bambang P.S. Brodjonegoro menyatakan kualitas peraturan daerah memang jadi salah satu hambatan utama bagi daerah menjadi lokasi investasi yang menguntungkan pengusaha.Berdasarkan survei KPPOD di 243 kabupaten dan kota, permasalahan peraturan daerah di antaranya disebabkan oleh kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan, kejelasan standar waktu, biaya, dan prosedur pajak atau retribusi yang dipungut daerah. "Hasil survei menyebutkan sebanyak 69 persen responden menilai hal itu sebagai masalah utama," tutur Bambang. (GES) --- (Sumber: Koran Tempo - Rabu, 23 Juli 2008 - Hal.A15) ---

Perda yang Bermasalah Masih Terus Bermunculan

Sampai pertengahan Juli, Depkeu sudah merekomendasikan pembatalan 2.000 perdaJakarta - Luar biasa! Dalam kurun waktu tujuh tahun hingga Juli 2008 telh terbit 7.200 Peraturan Daerah (Perda) di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB). Lebih dasyat lagi, Departemen Keuangan (Depkeu) telah merekomendasikan revisi atau pembatalan terhadap 28% atau sekitar 2.000 Perda tersebut.Tak hanya itu, Depkeu juga sudah mengevaluasi 1.800 Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) PDRD. Hasilnya, Depkeu menyerukan penolakan dan usulan pembatalan sebanyak 66% Raperda atau 1.200 Raperda tersebut. "Kami menganggap Raperda ini justru menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif dan tidak mendorong peningkatan tata kelola ekonomi daerah yang baik," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara pemberian penghargaan untuk tata kelola ekonomi daerah oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Selasa (22/7) kemarin. Perda itu yang menyangkut berbagai macam pungutan. Mulai dari pungutan hasil perkebunan hingga soal distribusi. Contohnya, di sektor perkebunan pungutan itu bervariasi. Mulai pungutan pada object volume produksi dan distribusi perkebunan, hingga pungutan atas penggunaan tenaga listrik.Tumpang TindihDepkeu akan menggunakan hasil evaluasi Perda dan Raperda ini sebagai salah satu indikator penilaian kinerja daerah. Hasil evaluasi inimenjadi pertimbangan dalm pemberian reward and punishment dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.Pemberian penghargaan dan sanksi itu kini sudah berlaku dalam pembuatan Perda mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bila ada daerah yang berhasil membuat Perda APBD sebelum April setiap tahunnya, pemerintah akan mempercepat penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Alokasi Umum (DAU) secara penuh. Namun pemerintah daerah yang lambat membuat Perda APBD, pemerintah cuma menyalurkan DAU 25%.Menurut survei KPPOD, 40% responden dari kalangan dunia usaha menyatakan, Perda PDRP memang bisa menghambat daya saing ekonomi dan pendukung usaha. Namun, itubukan faktor penghambat yang utama.Survei itu menyebutkan, penghambat utama daya saing ekonomi daerah adalah minimnya infrastruktur, rendahnya kepastian hukum, dan minimnya ketersediaan lahan untuk berusaha. --- (Sumber: Harian KONTAN - Rabu, 23 Juli 2008 - Hal. Nasional) ---

Pusat Usul 2.000 Perda Dibatalkan

Jakarta - Pemerintah pusat merekomendasikan sebanyak 28 persen peraturan daerah (perda) dibatalkan atau direvisi. Sebanyak 66 persen rancangan perda direkomendasikan untuk ditolak. Perda tersebut dinilai dapat menghambat perekonomian daerah. Hal tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat membacakan pidato kunci dalam acara penyerahan Local Economic Governance Award 2007 yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), The Asia Foundation dan USAID, Selasa (22/7).“Dari 7.200 perda sampai dengan Juni, kita merekomendasikan sebanyak 2.000 atau 28 persen untuk dibatalkan atau direvisi. Lalu, dari 1.800 rancangan perda, sebanyak 66 persen atau 1.200 kita bilang untuk ditolak saja,” kata Sri Mulyani. Pemerintah, lanjutnya, mulai menjaring rancangan perda. “Jadi, bukan setelah mereka create the damage baru kita lakukan perbaikan,” imbuhnya.Sri Mulyani mengatakan perbaikan tidak hanya dilakukan menyangkut kebijakan yang dilahirkan pemda. Menurutnya, perbaikan juga menyangkut penyusunan anggaran. “Reward and punishment ke daerah menggunakan power yang dimiliki Menteri Keuangan,” katanya.

1.200 Perda Ditolak, Pungutan Hambat Bisnis di Daerah

Jakarta - Hasil survei menunjukkan, berbagai pungutan dan proses perizinan di daerah masih menjadi penghambat investasi. Oleh karena itu, Departemen Keuangan tak segan-segan menolak peraturan daerah yang kurang mendukung iklim investasi. Hal itu terungkap dari survei yang dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sepanjang 2007. Survei itu mencakup 243 kabupaten/kota di Indonesia dengan melibatkan 12.187 pelaku usaha bidang manufaktur, perdagangan, dan jasa. “Pungutan di daerah dan izin usaha masih menjadi hambatan utama dalam melakukan bisnis di daerah dengan bobot masing-masing 9,9% dan 8,8%,” ujar Ketua KPPOD Bambang PS Brodjonegoro dalam acara Local Economic Governance Award di Jakarta, Selasa (22/7). Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati tidak memungkiri hasil survei tersebut. “Hampir setiap hari, Departemen Keuangan merekomendasikan untuk membatalkan, menolak, atau merevisi 2-3 rancangan perda mengenai mengenai pungutan daerah,” kata Sri yang juga menjabat menteri keuangan itu. Baca Selengkapnya...

Malaysia Pasok Listrik di Perbatasan Kalbar

PONTIANAK, SENIN - Pemenuhan kebutuhan listrik di sebagian wilayah perbatasan Kalimantan Barat, rencananya akan dipasok dari Malaysia PT PLN Wilayah Kalbar akan membeli daya listrik dari Perusahan Listrik di Serawak-Malaysia (Serawak Electricity Supply Corporation-SESCo) untuk memenuhi kebutuhan di wilayah perbatasan itu. "Ada rencana kerja sama (untuk membeli daya listrik dari Malaysia), namun hanya untuk jangka pendek. Kalau skema pembangunan energi listrik pada 2010 terwujud dan kebutuhan listrik sudah bisa dipenuhi sendiri oleh PLN, kita tidak perlu lagi tergantung dengan pihak luar negeri," kata Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Christiandy Sanjaya, Senin (21/7), di Pontianak.Deputi Manajer Komunikasi Kantor PT PLN Wilayah Kalbar, Adrianus Alep, yang dihubungi secara terpisah, membenarkan adanya rencana pembelian daya listrik dari Malaysia tersebut."Daya listrik yang akan dibeli dari SESCo-Malaysia rencananya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Aruk (Kabupaten Sambas) serta Badau (Kabupaten Kapuas Hulu)," katanya.Tim dari PLN Kalbar beberapa waktu lalu sudah melakukan pembicaraan dengan pihak SESCo di Kuching, namun informasi lebih detail akan disampaikannya setelah bertemu dengan tim tersebut.