Rabu, 28 Oktober 2009

Tiga Agenda Mendagri Baru


PDF Cetak E-mail

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat, sebagai Mendagri dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014. Meski agak mengejutkan, pilihan itu patut diapresiasi karena beberapa alasan.

Pertama, terpilihnya Gamawan sebagai tokoh sipil terbilang bersejarah karena selama ini pemerintahan dalam negeri kita ”kental” dengan kepemimpinan militer. Kita berharap, dasar pertimbangannya bersifat paradigmatis: bergesernya mandat inti Departemen Dalam Negeri sebagai pembina politik ke peran manajemen kebijakan di bidang otonomi daerah, fasilitasi/dukungan pemilu, dan seterusnya.

Kedua, seperti Mendagri 2007-2009, Presiden memilih tokoh yang sedang menjabat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbekal pengalaman itu, Mendagri diharapkan tidak perlu waktu lama untuk mengenali peta masalah pengelolaan pemerintahan dalam negeri, khususnya isu-isu otonomi daerah.

Ketiga, sosok Gamawan yang merupakan ikon reformasi governansi yang bersih dan inovatif, baik di Sumatera Barat maupun saat menjabat Bupati Solok. Pascatransisi desentralisasi delapan tahun, kini kita menapaki fase konsolidasi otonomi, yang mensyaratkan visi kepemimpinan inovatif dalam menjamin tumbuhnya kreativitas birokrasi di ranah lokal.

Agenda 100 hari

Dalam terang optimisme semacam itu, publik berharap Mendagri mampu menangani berbagai agenda prioritas (jangka pendek) maupun arah kebijakan (jangka menengah) ke depan. Terkait kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, ada tiga agenda (masalah) krusial yang harus ditargetkan beres dalam kalender 100 hari ke depan.

Pertama, persiapan gelombang kedua pemilihan kepala daerah. Tahun 2010, ada 246 daerah melaksanakan pilkada. Sebagian harus sudah memulai tahap awal rangkaian persiapan pada November 2009. Di sisi lain, hingga hari ini, banyak ketidakjelasan dan ketidaksiapan, baik kerangka legal/regulasi, dukungan anggaran (alokasi APBD), aparat pelaksana (mekanisme pembentukan Panwas Pilkada), sumber data pemilih, dan lainnya. Dalam semua masalah itu, peran dan tanggung jawab Depdagri amat besar (pilkada sebagai bagian rezim pemerintahan daerah).

Ihwal dukungan anggaran, misalnya. Ketiadaan alokasi bagi pelaksanaan pilkada dalam APBD 2009 menuntut keputusan kebijakan Mendagri agar memungkinkan daerah melakukan penyesuaian darurat (APBD-P) di luar siklus normal yang seharusnya dikerjakan paling lambat September lalu. Tanpa langkah politik itu, daerah sulit melakukan perubahan anggaran dan pilkada terancam tertunda. Alternatif lebih jauh, jika segenap persiapan tak bisa dibereskan, pilkada akan tertunda dan berdampak pada implikasi hukum dan politik.

Kedua, problem tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional anggota DPRD 2004-2009. Akar masalahnya adalah kerangka regulasi pusat yang kerap berganti, tak jelas, bertabrakan: dari PP No 24/2004, PP No 35/2006, PP No 37/2006, PP No 21/2007, SE Mendagri No 700/08/ SJ, hingga SE Mendagri No 555/3032/SJ. Alhasil, anggota DPRD 2004-2009 kembali mengulang pengalaman periode sebelumnya (1999-2004), terancam tindak pidana korupsi.

Terlihat jelas jebakan korupsi ”legal” dalam kasus ini adalah murni kesalahan pusat, dengan implikasi anggaran dan akibat hukum yang sepenuhnya ditanggung daerah. Pihak daerah hanya melakukan apa yang sudah diatur, yakni membayar rapelan tunjangan komunikasi dan dana operasional, yang ironisnya minta dikembalikan secara mencicil. Mendagri baru menghadapi pekerjaan rumah amat pelik karena apa pun keputusan yang akan diambil relatif sama risikonya bagi daerah.

Ketiga, ritual berulang pemekaran wilayah. Setelah setahun memasuki masa moratorium, awal Oktober Presiden mengirim surat dan menyilakan DPR mengajukan usul RUU pembentukan daerah otonom baru. Pada putaran pertama pascapelantikan presiden-wapres nanti, tidak kurang 20 calon daerah otonom baru siap diproses penyusunan RUU pembentukannya.

Gelombang baru ini tak mengejutkan karena jeda pemekaran itu bukan hasil desain terencana, di mana ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khusus, tetapi terpaksa karena faktor kondisional tragedi Medan dan persiapan Pemilu 2009.

Kini, sikap Mendagri diuji publik. Secara subyektif-politik harus searah dengan Presiden/DPR yang harus memenuhi utang janji pemekaran dalam kampanye pemilu lalu. Di sisi lain, fakta obyektif menunjukkan, hasil pemekaran lebih banyak membawa mudarat. Bahkan, menurut Lemhannas, sekitar 80 persen daerah otonom baru masuk kategori daerah gagal. Koreksi tuntas harus dimulai dari level manajemen kebijakan: dari hulu (penyiapan kerangka besar), tahapan proses (supervisi), hingga hilir (evaluasi). Tanpa pembenahan kebijakan, jeda pemekaran justru harus diperpanjang lagi.

Berbagai masalah itu berskala kompleks, tetapi perlu segera diselesaikan. Suatu tantangan yang tentu jauh dari enteng dan rasanya Mendagri tak punya kemewahan waktu untuk berbulan madu dengan jabatan baru. Melihat berbagai modal awal itu, publik berharap hasil lebih dari Gamawan Fauzi. (Oleh Robert Endi Jaweng/Manager Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta/Kompas).

Lorong Tiada Ujung Pemekaran Daerah


PDF Cetak E-mail


Salah satu isu krusial yang menguji ke­mam­puan Menteri Da­lam Negeri yang ba­ru, Ga­mawan Fau­zi, dalam agenda 100 hari ke de­pan adalah pe­nge­lolaan ma­salah pemekaran daerah.

Kita tahu, pada awal Oktober lalu, Presiden dan DPR saling ber­kirim surat un­tuk mulai mem­proses lagi usulan RUU Pem­ben­tukan Daerah Oto­nom Ba­ru (DOB). Konon, pa­da pu­taran pertama nanti, tak ku­rang dari 20 calon DOB yang saat ini ma­suk dalam daftar tunggu, pe­nyusunan RUU pembentukannya siap diproses.

Bagi saya, rencana ini sama sekali tidak mengejutkan lantaran moratorium pemekaran dalam setahun belakangan ini memang bukan buah dari sua­tu desain program yang terencana. Tak ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khu­sus yang melandasi adanya mo­ratorium tersebut. Seperti lazimnya, pemerintah lebih banyak melemparkan wacana dan imbauan stop pemekaran, tetapi tak diikuti langkah nyata guna menyambung wacana ke tindakan, mengubah imbauan menjadi ketetapan kebijakan. Dengan kata lain, peng­hen­tian sementara itu bukan ha­sil by design, tetapi by accident.

Se­kurangnya ada dua faktor kon­disional yang memung­kin­kan terjadinya jeda pemekaran belakangan ini. Pertama, tragedi Medan yang berbuntut me­ning­galnya Ketua DPRD Su­mut Abdul Azis Angkat dalam unjuk rasa menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli awal tahun ini. Kedua, persiapan pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden 2009, saat biaya dan enerji politik para elite kita di­konsentrasikan bagi upaya pe­menangan dirinya dalam pemilihan.

Utang Budi, Distribusi Kekuasaan, Rente

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah dan DPR tetap membuka pintu usulan pemekaran ketimbang membenahi sejumlah agenda mendasar yang justru belum kun­jung dilakukan? Seperti kita tahu, publik sudah sering kali mengkritik mismanajemen kebijakan pemekaran yang di­la­ku­kan pusat selama ini. Ke­rangka kebijakan peme­ka­ran kita tak komplet dari sudut sistematika manajemen, yakni mengurut dari payung perencanan (master planning) hingga penilaian ki­nerja (performance assessment). Pusat terkesan le­bih banyak mengeluarkan ke­bijakan reaktif, mengikuti gendang tuntutan yang ditabuh daerah.

Mismanajemen kebijakan itu berlangsung merata di se­mua tahapan penting. Di level hulu pemerintah belum juga me­­miliki grand strategy pe­na­taan daerah: ihwal estimasi jum­lah daerah, titik-titik wila­yah baru yang perlu dikem­bang­kan, pengelolaan pascapemekaran, dll. Pada tahapan pro­ses hingga hari ini upaya mo­nitoring dan supervisi DOB belum kunjung efektif sehingga praktik pemerintahan baru ber­jalan tak tentu arah. Se­men­tara itu di level hilir, belum ada eva­luasi komprehensif atas ca­paian DOB (PP No.6/2007), tidak sekadar studi kasus/sektoral yang dilakukan secara sporadis selama ini.

Alih-alih membereskan agenda prioritas tersebut, pusat justru membuka kembali keran pemekaran yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh pihak daerah selama fase jeda sementara ini. Pembacaan yang paling logis dalam konteks ini tiada lain adalah kuatnya ke­pentingan politik elite na­sional/lokal. Pertama, politik utang budi: elite melakukan barter pemekaran dengan du­kungan suara pemilihan dari konstituen di sejumlah daerah tertentu. Kedua, politik distribusi kekuasaan: elite berupaya menciptakan peluang-pe­luang baru bagi mobilitas kadernya dalam jabatan politik dan birokrasi baru. Dan ketiga, politik rente ekonomi: penciptaan peluang bisnis baru bagi pelaku usaha (kontraktor, dll) yang telah mendukung pendanaan parpol/kelompok elite dalam pemilu.

Dalam gemuruh pesta pora tersebut, rakyat hanya menjadi ob­jek penderita. Mereka menjadi objek mobilisasi selama ma­sa perjuangan pemekaran dan lalu kembali menderita setelah tujuan tersebut tercapai. Berbagai temuan lembaga studi menunjukkan bahwa uku­ran-ukuran objektif tujuan pe­mekaran, yakni mutu pe­la­yanan publik dan kesejah­te­raan masyarakat, tidak terpe­nuhi atau justru merosot di ma­yoritas DOB. Belum lama ini Lemhannas bahkan menyebut sekitar 80% daerah hasil peme­karan (total 1999-2008 sebesar 203 DOB) masuk dalam kategori daerah gagal (Kompas, 30/09/09).

Manfaat yang dirasakan Masyarakat

Dengan basis legitimasi pol­itik yang kuat dan ke­kuasaan yang makin besar, kita se­sungguhnya menaruh harapan tinggi kepada Presiden Su­silo Bambang Yudhoyono untuk mempertegas keberpihakannya terhadap tujuan-tujuan mendasar politik desentralisasi dan khususnya pemekaran daerah. Uku­rannya adalah kemanfaa­tan nyata yang dirasakan ma­sya­rakat dalam perbaikan mu­tu kehidupan mereka, dan ti­dak lagi terus disandera ke­pentingan sempit elite politik yang kerap mengatasnamakan kemaslahatan publik. Pe­r­bai­kan kualitas pelayanan dan ke­sejahteraan sosio-ekonomi ada­­­lah instrumen pencapaian ke­manfaatan nyata tersebut.

Hemat saya, titik penting untuk masuk ke niat perbaikan itu adalah kepemimpinan tegas untuk mengelola segala dina­mika yang ada, baik dalam pe­merintahan maupun parlemen, dari level pusat hingga daerah. Dengan bantuan manajemen kebijakan yang sistematis dan konsistensi teguh dalam pene­rapannya, kiranya libido ke­pen­tingan politik elite bisa lebih terkelola secara produktif. Ini yang kita tunggu dalam pe­riode kedua pemerintahan Yu­dho­­yono, jika tak mau negeri ini berada di lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Re­publik di hari-hari ke depan.
Bagi pihak daerah sendiri, kita berharap munculnya kesa­da­ran mereka dalam melihat dampak negatif pemekaran. Ma­sih ada banyak alternatif non-pemekaran jika memang tu­juannya sungguh sebagai ikhtiar perbaikan kesejah­te­raan masyarakat. Guna mem­perpendek rentang ken­dali, misalnya, dapat ditempuh me­lalui ca­ra desentralisasi keca­ma­tan, baik sebagai basis pe­layanan publik maupun pusat pertumbuhan ekonomi. Pilihan ini patut dipertimbangkan di te­­ngah tingginya biaya berpemerintahan dan belum terbuktinya efektivitas pelayanan di sebagian besar daerah hasil pe­mekaran.

Bagi tujuan akselerasi pembangunan dan peningkatan efektivitas pelayanan publik, pi­lihan yang efektif justru me­lalui kerja sama antardaerah. Dalam konteks manajemen pembangunan, suatu wilayah hasil pemekaran yang biasanya berukuran kecil cenderung berkapasitas terbatas, menjadi unit-unit daya saing yang re­latif lemah dibanding seb­e­lum­nya dan bisa saja kalah bersaing dengan daerah lain. Se­men­tara itu, bagi pelayanan pu­blik kerja sama ini bisa me­minimalkan tendensi setiap daerah yang melihat dirinya se­bagai entitas otonom-individual, yang se­akan terpisah dari relasi in­tegral dengan daerah lain.(Oleh Robert Endi Jaweng
Manajer Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta./Harian Sinar harapan)

Jumlah Kursi di Daerah Pemekaran Naik


PDF Cetak E-mail


Jakarta, Kompas - Jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang dimekarkan, baik untuk daerah induk maupun daerah pemekaran, naik dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kursi DPRD wilayah induk.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay dalam diskusi ”Pengisian Kursi DPRD Kabupaten/Kota Pemekaran” di Jakarta, Kamis (22/10).

Semula, 20 kabupaten induk, sebelum pemekaran, hanya memiliki 710 kursi DPRD. Namun, setelah dimekarkan hingga menjadi 20 kabupaten induk dan 26 kabupaten/kota pemekaran, jumlah kursi DPRD untuk daerah induk dan pemekaran menjadi 1.255 kursi DPRD atau naik 76,76 persen. ”Ini konsekuensi dari pemekaran daerah. Jadi, kursi DPRD-nya harus segara diisi,” katanya.

Namun, ternyata pengisian kursi DPRD untuk daerah yang dimekarkan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran, belum dapat dilakukan.

Padahal, tiap-tiap daerah pemekaran yang rata-rata dimekarkan pada tahun 2008 itu, menurut Koordinator Forum Calon Anggota Legislatif Lintas Partai Kota Tangerang Selatan Robert Usman, terancam dikembalikan ke daerah induk jika tidak mampu membentuk pemerintahan definitif setelah dua tahun disahkan.

Robert menambahkan, sudah ada UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang Dibentuk Setelah Pemilu Tahun 2004 untuk mengisi kursi DPRD di daerah pemekaran.

Aturan itu tidak digunakan karena KPU mengacu kepada UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan akhir Agustus lalu. Namun, UU itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan KPU untuk menjalankan UU itu.

”KPU sudah selesaikan naskah akademis peraturannya. Awal November nanti diperkirakan sudah selesai,” kata anggota KPU, I Gusti Putu Artha.

KPU menjanjikan aturan itu akan mengatur secara mendetail pengisian kursi DPRD pemekaran sehingga KPUD wilayah pemekaran terhindar dari tekanan partai politik dan menghindari benturan di antara sesama caleg partai.

Lambannya pembentukan peraturan KPU karena tidak detailnya UU No 27/2009 sehingga KPU kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan UU dalam membagi kursi DPRD pemekaran. Terlebih lagi, banyak daerah pemilihan dalam pemilu anggota DPRD lalu yang ternyata tidak sinkron dengan daerah yang dimekarkan. (MZW)

Perlu Konsistensi Membenahi Otonomi


PDF Cetak E-mail


Otonomi dan desentralisasi menjadi salah satu kata kunci yang mengiringi, proses demokratisasi di Indonesia serta runtuhnya rezim yang sarat dengan sentralisasi dan pemusatan kekuasaan. Apa harapan pemerintah dan masyarakat daerah terhadap penerapan otonomi daerah dalam periode kedua pemerintahan Presiden SBY?

Penelusuran Bisnis terhadap sejumlah pemerintah daerah dan para pengamat di daerah menunjukkan banyaknya kekecewaan atas penerapan otonomi daerah.

Upaya meningkatkan pendapatan asli daerah sebesar mungkin, egoisme kedaerahan, kebijakan daerah yang tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat, suku bunga perbankan yang terlalu tinggi, serta tata kelola keuangan pemerintah yang tidak selaras antara pusat dan dae­rah, merupakan keluhan yang paling menonjol.

Ada berbagai keruwetan penerap­an desentralisasi yang berpangkal dari masalah teknis serta perbedaan paradigma berpikir. Konsistensi peraturan pemerintah pusat serta dukungan terhadap pengembangan infrastruktur di daerah menjadi ha­rapan seluruh pemerintah daerah. Iwan Java Aziz, guru besar dari Cornell University AS, berpendapat desentralisasi justru mendorong munculnya banyak kebijakan berlingkup regional maupun nasional yang akhirnya justru mengurangi daya tarik investasi.

"Pada dasarnya desentralisasi itu baik untuk Indonesia, tapi pelaksanaannya menemui banyak kendala," ujarnya pada focus group discussion yang digelar Bank Indonesia Semarang belum lama ini.

Iwan mengungkapkan dalam penelitiannya 3 tahun terakhir di seluruh wilayah Indonesia ditemukan bahwa hampir semua pemkot/pemkab menerbitkan kebi­jakan regional dengan tujuan utama meningkatkan pendapatan asli dae­rah sehingga membebani dunia usaha.

Selain itu, lanjutnya dalam 3 ta­hun terakhir pemerintah pusat menerbitkan kebijakan yang mengganggu proses desentralisasi, terutama kenaikan harga BBM hingga 120% dan kebijakan Bank Indonesia yang mengakibatkan suku bunga perbankan tinggi.

Tak Propasar

Data di Pemprov Jateng menunjukkan 202 peraturan daerah di provinsi ini direkomendasikan oleh Departemen Keuangan untuk dicabut karena dinilai antiinvestasi dan bertentangan dengan undang-undang pemerintahan daerah.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Sumatra Utara Eddy Syofian berpendapat kurang sinkronnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola keuangan pusat dan daerah men­jadi penyebab minimnya realisasi proyek-proyek pembangunan di wilayah Sumatra Utara.

Menurut dia, para kepala daerah ataupun pimpinan satuan kerja perangkat daerah di tingkat provinsi sangat berhati-hati dalam realisasi proyek karena khawatir melangkah lebih jauh sehingga harus berurusan dengan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, serta Kejaksaan.

"Dalam kondisi seperti itu, tidak mengherankan realisasi anggaran proyek di Sumatra Utara baru sekitar 40%-an. Bahkan ada beberapa bupati yang belum mengarnbil dana perimbangan dari pusat," katanya.

Dia mengakui kenyataan pemerin­tah daerah lebih memilih menempatkan dana pembangunan yang dialokasikan pemerintah pusat di bank-bank daerah.

"Saya kira selagi kondisinya masih seperti saat ini, menyimpan dana di bank daerah menjadi salah satu pilihan logis dan positif karena ikut memajukan bank daerah. Yang juga penting, hal itu tidak melanggar per­aturan," ujarnya.

Eddy Syofian berharap Kabinet Indonesia bersatu II dapat melakukan perbaikan dan penataan kembali terhadap penataan kembali tata kelo­la keuangan pusat dan daerah.

Harapan lain disampaikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Deny Juanda Puradimaja. Dia mengatakan daerah menginginkan keberlanjutan kebi­jakan yang sedang dirintis atau sedang dalam tahap pengerjaan.

Jabar berkepentingan dengan keberlanjutan program pembangunan. Sebab, provinsi ini memiliki sejumlah proyek strategis yang dinilai mampu menggerakkan perekonomian daerah, sekaligus menopang perekonomian nasional. Proyek mutakhir yang sedang digenjot adalah pembangunan infrastruktur jalan di Jabar bagian selatan sepanjang 421 km.

Pembangunan infra­struktur merupakan salah satu fokus penting bagi semua pemerintah daerah yang perlu dukungan pemerintah pusat. Pemerintah Kalimantan Timur, misalnya, mengarahkan anggaran ke dua aspek terpenting bagi daerah itu, yakni infrastruktur berupa jalan trans-Kalimantan serta pengembangan daerah perbatasan.

Gubernur Awang Faroek Ishak mengatakan kondisi jalan trans-Kalimantan di wilayah Kaltim memprihatinkan khususnya di utara yang menjadi urat nadi perekonomian tujuh kabupaten/kota.

Kaltim memperoleh bantuan APBN 2009 sebesar Rp43 miliar yang dianggap sangat kurang untuk kerusakan jalan lebih dari 100 km. Adapun Pemkab Malang mengalokasikan rata-rata 50% dari total belanja pembangunan untuk proyek infrastruktur. 9Oleh Setyardi Widodo
Wartawan Bisnis Indonesia)

Senin, 06 Juli 2009

Prihatin Pengamat Politik Pesanan

Pernyataan-pernyataan pengamat politik selalu menjadi barometer sebagian besar masyarakat dalam menyikapi permasalahan kehidupan politik, terutama menjelang pemilu presiden (pilpres) saat ini. Yang mereka katakan dianggap benar dan masuk akal, tanpa tendensi-tendensi tertentu.Sayang, dalam debat calon presiden (capres) yang diselenggarakan KPU, ada beberapa pengamat politik yang berbicara berdasar pesanan para capres. Mereka "membela" pendapat capres yang memberikan order kepada dirinya. Itu jelas tidak sesuai dengan profesionalisme seorang pengamat. Sebab, mereka seharusnya menjadi orang yang independen.Semestinya, pengamat memberikan pernyataan berdasar hati nurani dan keilmuan yang telah dikuasai. Bukan berdasar pesanan pihak mana pun. Kalau memang kondisinya seperti yang kita lihat di debat capres, lebih baik para pengamat terang-terangan menjadi tim sukses capres saja. Bukan menjadi pengamat.RAHADI B. PRIJATNO SPd, guru SMP 2 Kaliwungu, Kudus, Jateng
sumber : jawapos.com

Sisi Positif Black Propaganda

Menjelang akhir masa kampanye pilpres terbuka yang akan berakhir pada 5 Juli ini, jagat perpolitikan di negeri ini cukup menegangkan. Pemicunya adalah munculnya black propaganda (propaganda gelap) atau kampanye hitam/negatif, baik melalui aneka selebaran gelap, layanan singkat (SMS), e-mail maupun berbagai diskusi dalam komunitas tertentu. Targetnya jelas, menjatuhkan dan menyudutkan pasangan capres/cawapres tertentu. Banyak pihak mengeluh bahwa black propaganda cenderung mengurangi derajat persaingan sehat dalam Pilpres 2009 ini. Benarkah demikian? Melacak Literatur & Tradisi Harus diakui bahwa black propaganda dalam literatur politik, terutama dalam komunikasi politik, adalah sesuatu yang baru. Berbeda dengan black propaganda dalam dunia militer sebagai istilah yang lazim digunakan sejak perang dunia pertama dan kedua, sebagaimana dinyatakan oleh Alleyne (2003) dalam bukunya berjudul Global Lies, Propaganda, the UN and World Order. Menurut Alleyne, suatu pernyataan dapat dikualifikasikan sebagai black propaganda, apabila berasal dari sumber palsu, menyebarkan kebohongan dan manipulasi. Sedangkan istilah lawannya adalah white propaganda, yakni pernyataan yang dapat dipertanggungjawabkan secara cermat dan teruji akurasinya.Namun, karena pergeseran waktu dan cakupan kajian politik yang luas, istilah black propaganda ini menjadi istilah yang lebih populer dalam dunia politik ketimbang di dunia militer. Terutama mengaitkan dengan kegiatan kampanye dan seolah-olah black propaganda merupakan istilah paten dalam kampanye.Black propaganda belakangan ini sering pula diidentikkan sebagai bentuk dari kampanye menyerang lawan politik (attack campaign). Kampanye jenis ini biasa dan lazim dilakukan di Amerika Serikat dalam pilpres maupun pemilu lokal sebagai bentuk keseriusan menampilkan program-program kerja calon. Pada umumnya bentuk attack campaign ada tiga macam: Pertama, kampanye advokasi, yakni kampanye yang difokuskan pada upaya memopulerkan diri dan kualitas calon dari calon yang lain. Kedua, kampanye menyerang lawan, yakni upaya menyampaikan pada publik akan kegagalan-kegagalan calon lain dalam menjalankan program. Ini biasanya ditujukan pada lawan mantan pejabat yang mencalonkan kembali. Ketiga, kampanye perbandingan, yakni upaya menyampaikan kepada publik secara berbanding rekam jejak (track record) calon, kualitas dan kapasitas, moral dan program kerja antarcalon.Ujian Awal Para Calon Ini menunjukkan bahwa sebenarnya black propaganda adalah sesuatu yang tak mungkin dihindari dan bahkan menjadi keniscayaan kompetisi dalam demokrasi liberal. Kendati ada kekhawatiran dapat menurunkan kredibilitas dan martabat calon, kekhawatiran ini rasanya tak perlu berlebihan, mengingat kompetisi dalam demokrasi liberal saat ini menyediakan banyak pilihan cara dan kebebasan mengaktualisasikan cara tersebut dan black propaganda adalah salah satu pilihan yang tersedia. Pada akhirnya apa pun pilihan dalam kampanye berpulang ke pasar politik (political market) yakni: publik sebagai pemilik otoritas dalam menilai setiap pilihan cara kampanye calon. Terlepas dari adanya efek negatif, black propaganda memiliki kontribusi positif bagi seleksi kepemimpinan politik nasional. Pertama, black propaganda memicu terbukanya rekam jejak calon. Rekam jejak (track record) itu adalah acuan utama publik untuk memilih calon. Pada umumnya, rekam jejak, berupa perilaku negatif masa lalu, pasti disembunyikan secara rapat oleh calon. Namun, dengan black propaganda publik dapat menguak misteri rekam jejak masa lalu calon. Di titik ini calon dituntut dapat membuktikan secara terbalik black propaganda itu dengan argumentasi yang cermat dan cerdas di hadapan publik. Jika calon gagal menyakinkan dengan bukti-bukti yang dapat diterima, publik dapat membenarkan black propaganda itu. Sebaliknya, jika calon berhasil menepis black propaganda itu dan diterima publik, calon telah dapat mencuri hati publik. Kedua, black propaganda dapat menguji calon dalam mengatasi masalah. Adalah tidak mungkin menyerahkan estafet kepemimpinan daerah kepada calon yang cengeng, emosional, dan brangasan dalam mengatasi masalah daerahnya. Adanya black propaganda adalah salah satu masalah kecil yang mesti dihadapi seorang calon sebelum benar-benar menjadi kepala daerah. Jika calon dapat mengatasi masalah kecil ini dengan elegan, yakni: santun, tegar, argumentatif, tidak emosinal, cermat, dan dapat meyakinkan serta diterima publik, dengan sendirinya publik akan menilai dengan akal sehat bahwa calon mampu mengatasi masalah-masalah besar dan rumit di daerahnya dengan elegan pula. Ketiga, black propaganda dapat menguji kedekatan calon kepada masyarakat. Kedekatan calon dengan masyarakat adalah sesuatu yang sangat vital dalam konteks pemilihan langsung. Artinya, semakin dekat calon dengan masyarakat semakin menunjukkan kemungkinan calon dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat dan dapat mengetahui problem daerahnya serta program apa yang dikehendaki masyarakat. Sebaliknya, semakin jauh calon dengan masyarakat semakin tipis pula jarak kemungkinan calon menyerap aspirasi masyarakatnya.Di titik inilah black propaganda menjadi ujian sendiri bagi calon. Seandainya dia telah dikenal dekat dengan masyarakat jauh sebelum mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, tentu saja aneka bentuk black propaganda yang menyudutkan dan menjatuhkan kredibilitasnya pasti dilawan dan ditolak oleh masyarakat.Sebaliknya, jika capres/cawapres baru dikenal di masyarakat atau bahkan populer hanya oleh pencitraan media, dengan sekali muncul selebaran black propaganda yang meyudutkan dirinya seketika itu pula citranya hancur berkeping-keping. Sebab, tak ada penolakan dan perlawanan masyarakat atas black propaganda. (*)*).
Agus Riewanto SH MA , adalah Sekjen Institute of Law, Human Right and Democracy (Ilhad) Yogjakarta dan Dosen Hukum Tata Negara STAIN Surakarta.
sumber: jawapos.com

Hati-Hati Money Politics

Sesuai dengan ketetapan KPU, masa tenang menjelang pilpres dimulai pada 5 Juli kemarin. Tentu, sudah tidak ada lagi kampanye pada masa itu. Namun, setiap capres dan cawapres ingin hasil yang maksimal sehingga terkadang masa-masa tenang tetap saja digunakan untuk memengaruhi massa guna menambah suaranya. Cara apa pun dapat dilaksanakan untuk mendongkrak perolehan suaranya.Berangkat dari pengalaman pileg bulan lalu, masa tenang seperti ini sangat rawan terjadi money politics. Karena itu, selain Bawaslu, masyarakat harus mengawasi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya money politics pada masa tenang pilpres kali ini. Jangan sampai suara rakyat hanya dibeli dengan uang Rp 5 ribu. Jangan gara-gara Rp 5 ribu, kita mempertaruhkan masa depan bangsa ini lima tahun ke depan. Hati-hati money politics.Rubangi, mahasiswa Fakultas Ekonomi UIN Malang
sumber : jawapos.com

Mewaspadai Gerakan Transnasional

Penangkapan empat mahasiswa asal Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, oleh pihak keamanan setempat patut diperhatikan oleh semua pihak. Bukan hanya karena empat mahasiswa tersebut mendapat perlakuan tidak senonoh dari pihak keamanan Mesir. Lebih dari itu, penangkapan tersebut bisa menjadi "peringatan keras" bagi semua pihak terkait gerakan politik keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan perjuangannya. Di dalam negeri, gerakan-gerakan seperti ini dikenal dengan istilah gerakan transnasional.Sebagaimana diberitakan, empat mahasiswa asal Indonesia tersebut ditangkap petugas keamanan Mesir karena dituduh terlibat aktif dalam gerakan politik Ikhwan Muslimin ataupun Hamas (Jawa Pos, 4/7). Kedua gerakan Islam politik itu acapkali mendapat perhatian ketat (untuk tidak mengatakan pengekangan) dari pemerintah Mesir. Bersyukur, empat mahasiswa kita tidak terbukti terlibat dalam dua gerakan tersebut.Gerakan Transnasional Selama ini terdapat sejumlah pihak yang melansir Timur Tengah sebagai salah satu "sumber" utama gerakan-gerakan transnasional yang saat ini menyebar di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Adalah gerakan politik Ikhwan Muslimin yang sering ditengarai sebagai "ibu gerakan perlawanan Islam" yang saat ini tumbuh subur di banyak negara.Ikhwan Muslimin didirikan oleh seorang ulama kenamaan asal Mesir, Hasan Al-Banna, pada 1928. Pendirian gerakan itu terkait erat dengan konteks "keterpurukan dunia Islam" secara politik yang secara beruntun dan dramatis dimulai pada 1923, yaitu ketika sistem kekhilafahan Utsmaniyah secara resmi dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki. Sebagian pihak menganggap kekhilafahan Utsmaniyah sebagai khilafah Islam.Pasca 1923, keterpurukan demi keterpurukan terus melanda dunia Islam yang sebelumnya masuk dalam wilayah kekuasaan kekhilafahan Utsmaniyah. Dunia Islam dijajah oleh negara-negara Eropa yang berkuasa pada era itu, terutama Prancis dan Inggris. Puncak keterpurukan dunia Islam terjadi pada 1948, yaitu dengan berdirinya negara Israel di atas tanah dunia Arab-Islam.Konteks kekalahan dan keterpurukan inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya pelbagai macam gerakan perlawanan di dunia Islam, terutama di Timur Tengah. Gerakan yang pertama lahir pda era ini adalah Ikhwan Muslimin yang salah satu tujuannya mengusir kekuatan penjajah yang saat itu menguasai Mesir. Pada hari-hari berikutnya hingga hari ini, gerakan dan tokoh perlawanan terus bermunculan seperti Tandzim Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon, dan yang lain. Semua ini tidak terlepas dari konteks keterpurukan yang tak kunjung berakhir di Timur Tengah. Apalagi dengan adanya Israel yang semakin sewenang-wenang dalam merampas hak-hak warga dan negara Arab-Islam.Namun, ada hal yang tak kalah menentukan daripada faktor keterpurukan di atas. Yaitu, beberapa ajaran dalam Islam yang dipahami membolehkan perlawanan bahkan juga aksi kekerasan, terutama dalam keadaan terjajah. Salah satu ajaran dimaksud adalah ajaran tentang jihad, peperangan, dan sebagainya.Pada umumnya gerakan-gerakan transnasional menjadikan ajaran-ajaran di atas sebagai landasan perjuangan mereka. Tidak jarang dari mereka yang menghalalkan "aksi kekerasan" karena dianggap dibenarkan oleh norma agama yang dipedomaninya tersebut.Secara jujur harus diakui, Islam memang mempunyai beberapa ajaran yang terkait aksi-aksi keras seperti perang, jihad, dan sebagainya. Namun, sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran-ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lain. Yang tidak kalah penting adalah hampir semua ajaran jihad, perang, dan ajaran yang identik dengan aksi keras mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Dengan kata lain, ajaran tentang aksi keras dalam Islam tidak diturunkan secara mutlak atau tanpa syarat apa pun. Pengamalan atas ajaran-ajaran ini sejatinya memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dan secara rinci tergambar dalam latar belakang (asbaabun nuzuul atau asbaabul wurud) turunnya ajaran tersebut.Dalam sejarah Islam awal, contohnya, ajaran tentang jihad dan perang diturunkan ketika umat Islam berada di Madinah. Sedangkan dalam konteks masih di Makkah, umat Islam tidak diperbolehkan berperang, walaupun sering mendapat perlakuan tidak adil dari penduduk Makkah. Konteks Indonesia Konteks Indonesia berbeda dengan konteks Timur Tengah. Konteks Timur Tengah hampir identik dengan peperangan, perlawanan, dan aksi-kasi keras lainnya. Hal ini tak lain karena kondisi konfliktual masih terus terjadi hingga hari ini di kawasan ini. Sedangkan konteks Indonesia hampir identik dengan perdamaian, pemberdayaan, dan kelenturan. Sejatinya ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras seperti di atas dipahami dan diamalkan tanpa mengabaikan perkembangan konteks yang ada. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras di Timur Tengah (pada tahap tertentu) masih bisa diterima dan dibenarkan. Hal ini tidak lain karena hingga hari ini konteks Timur Tengah belum beranjak dari keterpurukan dan peperangan. Juga karena alasan di atas, (pada batas tertentu) keberadaan faksi-faksi politik yang cenderung keras di Timur Tengah masih bisa diterima dan dipahami.Kondisi ini berbeda dengan konteks Indonesia. Sejatinya, pemahaman dan gerakan keislaman di republik ini mendukung upaya pemberdayaan dan perdamaian yang ada.Semua pihak (termasuk para pelajar di luar negeri) sejatinya bisa memilah-memilih dalam mengikuti ataupun mempelajari gerakan keagamaan tertentu. Hingga gerakan keagamaan yang dipelajari tidak kontraproduktif dengan konteks keumatan yang ada di Indonesia. Adalah malapetaka tatkala konteks pemberdayaan dikuasai oleh gagasan dan perjuangan yang bernuansa perlawanan. (*)*).

Oleh Hasibullah Satrawi

Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.

dimuat : jawapos.com

Para capres sepakat benahi implementasi otda

Audiens debat calon presiden (capres) di Balai Sarbini, Jakarta, tercengang. Mereka tidak menyangka kalau capres nomor urut 3, Jusuf Kalla, meminjam istilah tinju, langsung melayangkan jab telak di dagu Susilo Bambang Yudhoyono, capres nomor urut 2, pada menit-menit awal debat capres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tadi malam.
Dalam debat terakhir capres yang dipandu Dekan Fisipol UGM, Pratikno, Kalla memamerkan peran aktifnya dalam menyelesaikan konflik di Aceh, Poso, dan Ambon dalam sambutan pembuka. Masih biasa-biasa saja.
Tanpa diduga, sejurus kemudian Kalla langsung menyerang Yudhoyono terkait dengan proses demokratisasi yang memang menjadi topik debat selain soal otonomi daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Saya kira keliru kalau ada yang mengukur demokrasi dengan uang. Saya mohon maaf ini Pak SBY, tetapi iklan pemilu satu putaran yang disebutkan menghemat anggaran Rp4 triliun itu sama artinya dengan mengukur demokrasi dengan uang," ujarnya yang sontak membuat suasana di Balai Sarbini gaduh.
Sindiran belum berhenti di situ. Kalla melanjutkan, "Saya khawatir dalam Pemilu 2014 nanti ada iklan Lanjutkan Terus, [jadi] tidak perlu Pemilu karena menghemat anggaran Rp25 triliun," ujarnya disambut gelak tawa.
Mendapat serangan mendadak, Yudhoyono masih sempat tersenyum sambil membuat catatan di kertas yang ada di podiumnya. Saat rehat, ketiga capres langsung duduk.
Kalau biasanya Yudhoyono dan Kalla masih sempat saling sapa dan bercanda, dalam break sesi pertama ini tak terlihat suasana itu. Namun, Yudhoyono dan Kalla akhirnya bersalaman pada saat jeda iklan setelah sebelumnya saling serang soal iklan satu putaran.
Ketika menanggapi, Yudhoyono mengaku iklan satu putaran bukan merupakan iklan yang dikeluarkan tim kampanye SBY-Boediono.
Kemudian Yudhoyono membalas menyerang dengan menyebut ketidakkonsistenan Kalla tentang pemilu. Namun hal terasa kurang telak.
Malah serangan balik yang dia harus terima. Kalla mengomentari jika iklan kampanye satu putaran itu bukan iklan resmi tim kampanye SBY-Boediono, berarti itu iklan ilegal.
"Jadi kita harus hati-hati mencermatinya. Dan satu putaran bisa saya, bisa Pak SBY, bisa juga Ibu Mega [Megawati Soekarnoputri]."
Debat semalam memang seperti pertarungan dua incumbent, Yudhoyono dan Kalla. Megawati Soekarnoputri, capres nomor urut 1, tidak terlalu terlibat dalam saling sindir tersebut.
Nuansa saling menjatuhkan memang jelas terasa pada debat capres tadi malam dibandingkan dengan acara serupa sebelumnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, tidak terlalu banyak perbedaan di antara ketiga pasangan capres.
Ketiga pasangan sepakat bahwa otonomi daerah perlu pembenahan dalam implementasinya. Ketiganya menyoroti tentang munculnya peraturan daerah yang bermasalah.
Lalu, ketiga capres juga memandang pemekaran daerah yang menjadi euforia di beberapa wilayah harus didasarkan oleh semangat untuk menyejahterakan masyarakat, bukan demi kepentingan politik praktis.
Namun, bagi Agung Pambudi, Direktur Ekesekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), penjelasan para capres tersebut terlalu normatif.
Belum optimal
Menurut Agung, debat belum dioptimalkan oleh para capres, terlihat bagaimana para kandidat kurang maksimal menjelaskan mengenai soal pemekaran daerah.
"Saya agak kecewa dengan jawaban capres yang sangat normatif," katanya di sela-sela diskusi yang digelar bersamaan dengan debat tersebut tadi malam.
Kekecewaan juga dirasakan dalam komentar Direktur Eksekutif Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah Alit Merthayasa. Isu penting seperti desentralisasi fiskal dan kewenangan daerah yang belum maksimal, menurut Alit, malah tidak mendapatkan tempat.
Menyangkut otonomi daerah, Pratikno sebagai pemandu debat sebenarnya sudah memancing dengan pertanyaan yang lebih teknis seperti bagaimana mengurus masalah Papua.
"Tetapi para capres tidak memberikan pendalaman. Penyelenggaraan otonomi khusus belum berhasil meningkatkan kesejahteraan," ujar Cecep Effendi, anggota Steering Komite Jaringan Kerja Tata Pemerintahan Asia-Kerja Sama Pembangunan Jerman.
Padahal Cecep berharapa para capres itu menjawab bagaimana cara pemerintah pusat nantinya memastikan bahwa sumber dana yang masuk ke Papua dapat membawa kesejahteraan.
"Kalau tidak serius, saya khawatir Papua dapat menjadi Timor Leste yang kedua," ujar Cecep.
Memang kita tidak bisa berharap banyak bahwa debat para capres bisa menampilkan tawaran-tawaran kebijakan baru yang lebih terperinci bukan sekadar jawaban normatif. Apalagi di tengah keterbatasan waktu debat yang sering diisi dengan ewuh pekewuh.
Namun, minimal debat kali ini lebih enak ditonton. Paling tidak kita akan tahu reaksi para capres itu ketika mendapatkan kritikan dari orang lain.
Ratna Ariyanti
Bisnis Indonesia

Kesepakatan rahasia nuklir

Selama beberapa dekade, Pemerintah Jepang menyangkal ada perjanjian rahasia dengan AS yang memperbolehkan masuknya senjata nuklir AS ke wilayah Jepang. Namun, seorang pensiunan birokrat Jepang telah memaparkan kebohongan pemerintah tersebut.Ryohei Murata, 79, yang merupakan Wakil Menlu bidang administrasi 1987-1989, mengakui adanya perjanjian semacam itu dan memaparkan dokumen perjanjian itu telah diserahterimakan selama beberapa generasi menlu dan wakil menlu bidang administrasi.Dokumen diplomatik AS yang sangat dirahasiakan itu mendukung kebenaran perjanjian rahasia antarkedua negara. Namun, Pemerintah Jepang masih terus menyangkal perjanjian itu ada. Bahkan di hadapan kesaksian Murata, Kepala Departemen Kementerian Takeo Kawamura masih tetap berkeras, "perjanjian rahasia semacam itu tidak ada."Dengan tampilnya seorang mantan birokrat deplu yang menguatkan keberadaan kesepakatan rahasia semacam itu seharusnya sudah saatnya pemerintah berhenti berbohong dan bersikap jujur mengenai fakta sejarah tersebut.• The Asahi Shimbun, 30 Juni
sumber : bisnis indonesia

Pengangguran bertambah lagi

Laporan jumlah pekerjaan Juni dapat mengempaskan harapan akan pulihnya perekonomian dalam waktu dekat. Dan itu dapat menjadi permasalahan yang meyakinkan pemerintah untuk merancang stimulus berikutnya, di mana pemikiran semacam itu sudah menjadi biasa terdengar di Washington. Seluruh warga AS memang sedang berjuang.Bulan lalu, 467.000 posisi telah dipastikan hilang lagi. secara keseluruhan, buruknya perekonomian telah menyebabkan hangusnya 8,8 juta lapangan kerja: sejak dimulainya resesi hingga akhir 2007, 6,5 juta pekerjaan hilang dan 2,3 juta pekerjaan baru yang diperlukan untuk mengejar pertumbuhan populasi tidak terwujud.Dalam waktu dekat, para pengangguran itu akan memerlukan bantuan yang tidak sedikit, bahkan lebih dari sebelumnya. Tingkat pengangguran akan semakin meningkat tajam dan yang paling mengkhawatirkan 14,7 juta pengangguran, sekitar 4,4 juta di antaranya telah menganggur selama 27 pekan, bahkan lebih.International Herald Tribune, 3 Juli
Sumber : Bisnis Indonesia

Pemprov anggarkan Rp159 miliar untuk cegah banjir

JAKARTA: Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan dana Rp159,5 miliar untuk pemeliharaan sungai dan drainase di lima wilayah kota agar tidak terjadi hambatan aliran air yang mengakibatkan banjir.
Wilayah Jakarta Utara paling banyak mendapat alokasi dana perawatan, mencapai Rp45 miliar sesuai dengan tingkat pencemaran yang membebani sungai dan drainase jauh lebih tinggi dari wilayah lainnya.
Dinas PU DKI selain melakukan pemeliharaan sungai dan drainase secara intensif juga menyediakan dana Rp200 miliar untuk mengeruk 76 saluran penghubung sungai di lima wilayah kotamadya. (Bisnis/na)

129 Kegiatan disiapkan di APBD-P 2009

JAKARTA: Pemprov DKI menyiapkan sedikitnya 129 kegiatan berupa pembangunan sarana dan prasarana baik baru maupun kelanjutan dari proyek yang sudah berlangsung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Perubahan 2009.Wakil Gubernur Prijanto menyatakan 129 kegiatan tersebut tersebar a.l. pada bidang transportasi, penanganan sampah, penanganan banjir, pendidikan, kesehatan, layanan kesehatan masyarakat, dan bidang penghijauan."Ini sekaligus menjawab kritik sementara kalangan bahwa APBD-P DKI 2009 hanya difokuskan kepada belanja bidang administrasi pemerintahan. Belanja di APBD-P 2009 juga kami alokasikan untuk pembangunan infrastruktur," ujarnya di Jakarta, kemarin.Sayang, Prijanto tidak memerinci berapa persentase belanja infrastruktur tersebut apabila dilihat dari total alokasi tambahan belanja di APBD-P 2009 senilai Rp1,7 triliun. Sebab, data sementara menyebutkan, alokasi belanja modal di APBD-P 2009 hanya Rp169 miliar atau 10%.Kritik atas kecilnya alokasi belanja modal itu sebelumnya datang a.l. dari Ketua Komisi B DPRD DKI Aliman Aat (F-PD) dan Ketua Komisi D DPRD DKI Sayogo Henderosubroto (F-PDIP)."Belanja modal hanya 10% dari total tambahan belanja dalam APBD-Perubahan DKI 2009 itu terlalu kecil untuk pembangunan dan penyempurnaan infrastruktur kota. Kami akan koreksi dan tambah volumenya nanti," kata Aliman.Sayogo menambahkan alokasi belanja modal itu seharusnya disesuaikan dengan kepentingan penyempurnaan infrastruktur kota, dan diarahkan untuk membantu kelancaran bisnis para pengusaha kecil di DKI.Tujuh bidangPrijanto menjelaskan belanja sarana dan prasarana yang disiapkan di APBD-P 2009 meliputi tujuh bidang, yaitu bidang transportasi a.l. pembangunan jalan Kelapa Gading-Pulogadung, jalan I Gusti Ngurah Rai, Depo Mass Rapid Transit, Terminal Lebak Bulus, pembayaran gas ke PT Petross Gass, dan pembangunan under pass Senen.Bidang penanganan banjir meliputi a.l. penertiban Kali Kramat Jati, saluran gendong Cakung Drain, penanganan pascabanjir. Bidang penanganan sampah a.l. pembayaran tipping fee Bantar Gebang dan swastanisasi kebersihan.Untuk bidang pendidikan dan kesehatan a.l. penyediaan bantuan operasional sekolah di Jakarta Utara, beasiswa rehab berat 8 sekolah, dan subsidi ke SMA Husni Thamrin, gakin khusus korban bencana, serta pengendalian flu burung dan flu babi, serta studi relokasi Pasar Pramuka.Adapun untuk kesehatan masyarakat dan penghijauan a.l. pengadaan genset di Pulau Pramuka, perbaikan kampung, pengadaan katering korban bencana, penertiban Taman BMW dan Stasiun Angke, konservasi hutan Srengseng, penanaman pohon di koridor Banjir Kanal Timur.Anggota Panitia Anggaran APBD-P M. Nakoem (F-PDIP) mengatakan DPRD DKI dapat memenuhi usulan pendidikan yang dinilai memang sangat dibutuhkan saat ini, terutama dalam hal rehab sekolah rusak.Akan tetapi, dia mengatakan DPRD belum dapat memberikan persetujuan terhadap usulan yang diberikan DKI sebelum adanya penjelasan dalam beberapa usulan kegiatan. "Misalnya bantuan sosial, padahal di APBD, dari Rp354,82 miliar yang dialokasikan, baru terserap 12,1%," katanya.
Oleh Mia Chitra Dinisari
Bisnis Indonesia

Omzet pengemis di Jakarta Rp2 miliar

JAKARTA: Dinas Sosial DKI memperkirakan jumlah uang beredar pada sekitar 17.000 pengemis atau penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang tersebar di 72 titik terutama di Jakarta Barat dan Jakarta Timur mencapai Rp2 miliar per hari.Kepala Dinas Sosial DKI Budihardjo menyatakan nilai tersebut bisa lebih tinggi karena itu baru perkiraan kasar dengan asumsi pendapatan harian para peminta sedekah itu minimal Rp40.000 dan maksimal hingga Rp500.000."Jika diambil rata-rata harian Rp100.000 per pengemis saja, jumlah uang yang diberikan warga Jakarta kepada mereka di jalanan Ibu Kota setiap hari sudah mendekati Rp2 miliar," ujarnya di Jakarta, kemarin. (Bisnis/Bsi)

Pola transportasi makro dinilai belum efektif

JAKARTA: Pola transportasi makro di DKI Jakarta dinilai belum menyentuh rencana pembangunan Kawasan Sentra Primer Baru (KSPB) di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Sehingga berpotensi memperparah kemacetan lalu lintas di kawasan sekitarnya.Yayat Supriatna, Planolog Universitas Trisakti, mengatakan KSPB Timur dan KSPB Barat selain untuk mengendalikan pembangunan ke daerah resapan air di Jakarta Selatan juga menjadi alternatif pengembangan sentara bisnis, setelah segitiga emas Jalan Sudirman-Thamrin, Rasuna Said, dan Gatot Subroto mencapai titik jenuh."Tidak lama lagi KSPB Timur dan KSPB Barat sangat sibuk sebagai sentra bisnis dan niaga yang terus berkembang, tetapi perencanaan transportasi massalnya jalur timur-barat itu belum terlihat jelas dalam pola transportasi makro di DKI," ungkapnya akhir pekan lalu.Dia menjelaskan perencanaan sistem transportasi massal lintas timur-barat Jakarta yang juga menjadi akses bagi KSPB Timur dan KSPB Barat tidak boleh diabaikan agar tidak menimbulkan masalah lalu lintas dan angkutan yang lebih parah.Manurut Yayat, tanda-tanda akan terjadinya suatu kondisi lalu lintas dan angkutan umum yang lebih parah sudah terlihat mulai dari tingkat kepadatan angkutan umum dan simpul kemacetan yang terjadi di persimpangan antara lain di Cawang, Pancoran, Rasuna Said, Semanggi, Slipi, Tomang, dan Grogol.Dia memperingatkan jika Pemprov DKI tidak segera mengatasi, masalah transportasi dan kemacetan lalu lintas di lintas timur-barat itu akan menjadi lebih parah setelah nanti KSPB Timur dan KSPB Barat berkembang seperti di kawasan segi tiga emas.Adapun dasar hukum pembentukan KSPB Timur dan Barat itu berupa Instruksi Gubernur DKI No.4228/VII/1984 tentang Pengamanan rencana lokasi sentra primer baru di timur dan barat, tertanggal 30 Juli 1984.Yayat mengatakan transportasi massal pada lintasan timur-barat yang telah dibangun baru jaringan busway Transjakarta yang infrastrukturnya relatif telah siap sejak tahun lalu, tetapi hingga kini belum jelas kapan akan dioperasikan.Jaringan busway transjakarta itu, lanjutnya, agar menjadi bagian dari pola transportasi makro di Jakarta yang mengintegrasikan seluruh moda angkutan umum massal, seperti busway, mass rapid transit, dan kereta api lingkar.
Oleh Nurudin Abdullah
Bisnis Indonesia

Minggu, 24 Mei 2009

26% Daerah Belum Revisi Tata Ruang & Wilayah

Jakarta - Departemen Pekerjaan Umum mengungkapkan dari 530 wilayah provinsi, kabupaten, maupun kota sebanyak 139 wilayah atau 26% di antaranya belum melakukan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagaimana diamanatkan UU No. 26/ 2009 tentang Penataan Ruang.Padahal dalam Pasal 78 dinyatakan peraturan daerah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat pada 2009 dan untuk kabupaten/kota pada 2010.Data Ditjen Penataan Ruang menunjukkan dari total 33 provinsi, 14 provinsi sedang melakukan revisi RTRW dan 19 provinsi sedang melalui tahapan persetujuan substansi.
Dari 19 provinsi tersebut, dua di antaranya yakni Provinsi Maluku dan Maluku Utara telah mendapatkan persetujuan dan 17 provinsi lainnya masih dalam proses pembahasan.
Di tingkat kabupaten, dari total 399 kabupaten yang ada di Indonesia, 262 kabupaten telah melakukan revisi, 18 kabupaten dalam tahap persetujuan substansi, di mana lima di antaranya telah disetujui substansinya. Lima kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bandung, Bogor, Temanggung, Sidoarjo, dan Flores Timur. Masih terdapat 119 kabupaten yang belum melakukan revisi.Sementara itu di tingkat kota, dari 98 kota di Indonesia sebanyak 76 kota tengah melakukan revisi terhadap RTRW, empat kota tengah dalam proses pembahasan untuk mendapatkan persetujuan substansi, dan 18 kota lainnya belum melakukan revisi perda RTRW-nya.Menurut Dirjen Penataan Ruang Departemen PU Imam S. Ernawi, masalah prioritas menjadi kendala pertama dari masih banyaknya daerah yang belum melakukan revisi RTRW."Kami dorong ini menjadi prioritas, paling tidak dalam APBD Perubahan tahun ini sudah dimasukkan anggarannya," katanya seperti dikutip dari situs departemen PU, kemarin.(Z)
Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Otonomi Daerah Kebablasan ?

Tidak diragukan lagi kalau otonomi daerah (otda) yang berjalan sekarang ini di samping banyak manfaatnya juga menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Merugikan bukan saja dalam bidang pembangunan bangsa, tetapi juga dalam hal yang lebih prinsip, yaitu memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kalau kita mencermati beberapa peraturan perundangan yang dulu berlaku maupun yang sekarang berlaku sebagai landasan hukum otda terdapat perbedaan yang sangat funda­mental. Mulai dari Undang-Undang No.05/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. sampai yang sekarang masih berlaku yaitu UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perbedaan itu menyangkut persyaratan pembentukan suatu daerah. Pasal 4 UU No.05/1974 menyebutkan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan, dan keamanan nasional untuk pembentukan suaru da­erah harus memerhatikan pula syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan bangsa (sesuai dengan suasana kebatinan para pendiri bangsa ini).
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Kestabilan politik
Kata-kata atau kalimat "pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa....." inilah yang tidak ditemukan lagi pada per­syaratan pembentukan suatu daerah, baik pada UU No.22/1999 maupun UU No.32/2004 yang berlaku sekarang ini. Bagian ini sebenarnya bukan hanya sekadar persyaratan administrasi, tetapi sudah merupakan persyaratan prinsip.
Memang harus diakui, pada masa Orde Baru pemerintahan sangat sentralistik. Buktinya, antara lain sesudah UU No.05/1974 disahkan, selama 20 tahun berlakunya undang-undang tersebut mengenai otonomi daerah belum pernah dilaksanakan. Peraturan pelaksanaannya pun baru terbit 18 tahun kemudian. yaitu PP No.45/1992. Maka pada tahun 1994 setelah 20 tahun berlakunya undang-undang tersebut Kantor Menpan waktu itu melaksanakan amanat UU No.05/1974 dengan melakukan terobosan melalui program yang disebut Otonomi Daerah Per-contohan dengan cara menetapkan 1 kabupaten pada setiap provinsi di Indonesia (26 pro-vinsi) kecuali DKI Jakarta.
Pada tahun pertama, program ini berjalan cukup berhasil dan secara berangsur "kekuasaan atau wewenang" yang disebut urusan dari departemen/kementerian/lembaga pemerin­tahan nondepartemen diserahkan kepada kabupaten-kabupaten percontohan. PP No.45/1992 cukup fun­damental karena pada Pasal 2 disebutkan bahwa "Titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II." dengan dernikian pesannya adalah "bukan pemekaran daerah. tetapi malah memperkuat daerah untuk menerima delegasi wewenang/ urusan dari pusat ke daerah".
Dengan kata lain, kabupaten yang "lemah" dilebur dan disatukan dengan kabupaten lain, sementara provinsi bukan prioritas untuk diubah. Ini bukan berarti provinsi dan kabupaten tidak boleh dimekarkan karena pemekaran itu pun diatur dalam undang-undang (UU) itu maupun peraturan pelaksanaannya (PP).
Tujuan utamanya adalah menyerahkan urusan seluas-luasnya kepada daerah. bukan pe­mekaran karena pemekaran ti­dak ada artinya tanpa penyerahan wewenang. Dengan demikian. Kantor Menpan berpegang teguh pada prinsip "kesatuan dan persatuan" bangsa.
Direstrukturisasi
Sebagai ilustrasi, suatu ketika Menpan bertukar pikiran de­ngan Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Amiruddin sekitar tahun 1995. Gubernur berpendapat, dari jumlah 23 Kabupaten/ Kotamadya di Sulawesi Selatan dapat direstrukturisasi menjadi 12 Kabupaten/ Kotamadya. Walaupun demikian, wacana itu be­lum sempat dilaksanakan.
Proses reformasi yang dimulai tahun 1998 dengan pelaksanaan demokrasi yang begitu cepat mendorong otda bergulir lebih cepat, ditandai dengan keluarnya UU No.22/1999 yang terkesan buru-buru. Un­dang-undang ini menghapuskan syarat "titik berat otonomi da­erah pada Daerah Tingkat II". Implementasinya adalah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk pemekaran daerah yang kemudian lebih dipermudah de­ngan UU No.32/2004 yang mengubah persyaratan, khususnya pembentukan provinsi baru dari minimal 7 menjadi cukup 5 kabupaten/kota.
Dalam kenyataannya, wawasan terbentuknya provinsi/kabupaten yang baru bukan lagi pada kesempatan daerah "mengurus rumuh tangganya sendiri", tetapi setiap daerah mencari identitas daerahnya masing-masing. Seharusnya identitas daerah itu adalah "Indonesia Kecil" dalam rangka "Indonesia Raya". Boleh saja identitas daerah ditonjolkan, tetapi bukan berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan (SARA), melainkan identitas budaya, alam, atau lingkungan. Seharusnya identitas Manokwari itu bukan "syariat" Kristen dan Bali bukan dengan "syariat" Hindu, atau daerah lain bukan dengan "syariat" Islam.
Seharusnya Minahasa itu identitasnya "kitorang samua basodara" bukan menonjolkan etnis Manado. Identitas Papua adalah "buminya burung surga/cendrawasih", Bali "a place in paradise", Sumut "semua urusan tuntas" atau "bumi damai", ka­rena setiap orang memanggil suku lain dengan sebutan "orang kita Batak, orang kita Jawa, orang kita Melayu".
Akhir-akhir ini kita menyak­sikan pencarian identitas itu berdasarkan SARA. Kalau hal ini diteruskan akan mengarah pada disintegrasi NKRI. Peristiwa de­mo anarkis di Sumut baru-baru ini adalah akibat dari pencarian identitas yang memunculkan kecurigaan, yang kemudian mengarah pada konflik-konflik dan perpecahan-perpecahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama un­tuk pemilu yang akan datang.
Seruan Mendagri untuk sementara menghentikan peme­karan wilayah sampai selesai pemilu sebaiknya dimanfaatkan untuk mengevaluaai semua konsep dan pelaksanaan otda yang sudah kebablasan itu. Pemerintah dan DPR diharapkan me-nunjukkan sikap kenegarawan-an untuk menyempurnakan otoda ini.


Oleh TB SilalahiMenteri PAN tahun 1993-1998
Sumber : Harian KOMPAS

Otda (tidak) bisa diatur

Beberapa hari terakhir ini kita membaca adanya ketegangan hubungan pusat-daerah menyangkut investasi. Persoalannya bahkan mampu menggeser headline pilpres di beberapa harian nasional. 'Pembangkangan' Bupati Tuban yang tidak (belum) menerbitkan izin pengeboran sumur eksplorasi migas dan pemasangan pipa minyak di wilayahnya, menampar wibawa pemerintah (pusat), dan membuat khawatir investor.
Betapa tidak? Aktivitas usaha sudah berjalan-dana sudah terserap-tetapi izin operasional daerah belum di tangan.
Bangsa kita memang unik. Bagaimana mungkin bisnis sudah berjalan (pemasangan pipa minyak dan aktivitas pra pengeboran eksplorasi) sementara perizinan belum dikeluarkan.
Kepastian hukum sudah diabaikan, penyelesaian masalah tidak dituntaskan sejak awal, seolah akan terselesaikan dengan sendirinya pada saatnya.
Itulah anehnya birokrasi kita. Investor asing yang sudah menjalankan bisnisnya di Indonesia mengerti persis bahwa segalanya bisa diatur, bisnis bisa berjalan meskipun belum memiliki izin.
Aturan bisa dikalahkan diskresi pemegang kekuasaan dengan berlindung dibalik celah belantara peraturan perundang-undangan yang multiinterpretatif.
Sebaliknya, investor-pun paham bahwa sesuatunya juga tidak bisa diatur. Meski ketentuan peraturan perundang-undangan sudah diikuti, tetapi tidak serta merta bisnis bisa tidak berjalan, sekali lagi karena otoritas pemegang kekuasaan.
Dalam konteks otda (otonomi daerah), disharmoni hubungan pusat dan daerah dalam hal perizinan bukan hal baru, setidaknya sejak implementasi otda pada 2001.
Di antaranya, berbagai pihak mencatat kasus besar seperti perizinan migas di Tuban dan pertambangan di Sulawesi Utara; maupun kasus-kasus yang relatif 'kecil' seperti pendirian menara telekomunikasi dan pembangunan pasar modern di berbagai daerah.
Kasus-kasus tersebut memang beragam dan berbeda dimensi kompleksitasnya, tetapi persoalannya memiliki kesamaan, yakni soal lama tentang benturan peraturan pusat - daerah, komunikasi dan koordinasi, political will para pemimpin, serta mungkin juga vested interest para pihak yang terlibat di dalamnya.
Sedikit menyinggung soal perizinan migas, cukup jelas bahwa kewenangan penambangan migas berada di pemerintah, bukan pemda yang dalam hal penambangan hanya memiliki kewenangan untuk bahan galian golongan C seperti batu, pasir, dan lain-lain.
Meskipun demikian, pemda memiliki kewenangan untuk urusan berbagai perizinan daerah termasuk izin lokasi atas semua jenis usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam desain kewenangan perizinan pusat-daerah, secara normatif tidak keliru bila dikatakan bahwa tidak ada jenis usaha yang bisa menjalankan bisnisnya di Indonesia apabila tidak mengantongi perizinan kabupaten/ kota.
Jika demikian alangkah besar otoritas daerah, dan betapa besar potensi ketidakpastian hukum untuk melakukan usaha. Tidak demikian juga maknanya, karena sebagaimana implisit dalam judul tulisan ini, segala sesuatunya bisa diatur.
Peraturan perundang-undangan adalah produk yang kita ketahui bisa diubah sepanjang diperlukan untuk upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat yang membuatnya. Benturan peraturan perundang-undangan pusat-daerah, tentu bisa diharmoniskan. Terlebih kalau soalnya 'hanyalah' komunikasi dan koordinasi yang selalu bisa ditingkatkan kualitasnya. Yang sulit adalah ketika political will tidak menghendakinya karena vested interest para pihak.
Lantas, apa solusinya ketika pembangkangan benar benar terjadi? Di era sentralisasi, dengan mudah bisa dilakukan penggantian kepala daerah untuk mengamankan kebijakan pemerintah.
Namun, era otda jelas sangat berbeda. Apakah sanksi yang bisa dikenakan pada kepala daerah apabila tidak mengikuti kehendak pemerintah? Apakah mungkin menerapkan sanksi melalui instrumen fiskal untuk persoalan yang tidak terkait langsung dengan urusan fiskal. Demikian juga, rasanya tidak ada urusan pidana dalam hal 'pembangkangan' daerah atas kebijakan pemerintah.
Apa pun solusi yang diambil, diharapkan menjawab kepentingan para stakeholder. Solusi diharapkan memberikan sinyal positif kepada para pelaku usaha tentang keseriusan pemerintah.
Semua paham bahwa lambannya penyelesaian persoalan hanya mempertegas ketidakpastian usaha. Yang kita tidak paham adalah mengapa hal demikian masih selalu terjadi.
Lemahnya koordinasi-kerja sama, adalah soal lama yang terus relevan dalam birokrasi kita. Di tengah berbagai upaya reformasi birokrasi oleh para champion baik dari birokrasi itu sendiri, maupun dari stakeholder lain terkait, masalah arogansi antartingkat pemerintahan terus berlangsung.
Itulah paradoks birokrasi kita. Berbagai upaya seperti one stop service perizinan usaha yang diterapkan ratusan kabupaten/kota, implementasi regulatory impact assesment, forum reguler pemangku peran, dan lain-lain best practices inisiatif daerah menjadi tidak relevan bagi upaya menarik investasi tatkala birokrasi tidak berdaya menangani persoalan koordinasi.
Birokrasi yang bekerja
Mengurus birokrasi bukanlah urusan amat rumit yang mensyaratkan kepakaran profesor untuk dapat melaksanakannya. Meskipun sistem yang mengaturnya tidak sempurna, dengan kepemimpinan yang baik, birokrasi tidak akan mengakibatkan hal-hal buruk dalam pelayanan.
Tentu saja lebih ideal kinerja pelayanan apabila sistem/manajemen birokrasi didukung peraturan perundang-undangan yang baik, di bawah pimpinan yang tidak memiliki vested interest pribadi ataupun kelompok.
Pelaksanaan otda yang telah berlangsung lebih dari sewindu masih belum berdaya menghadapi persoalan dasar birokrasi. Lantas bagaimana bisa diharapkan untuk mengelola persoalan-persoalan besar seperti pemekaran daerah, perimbangan keuangan pusat-daerah, segregasi hukum dalam ranah sosial-politik, kerja sama antardaerah, dan sebagainya?
Tidak ada hal baru untuk direkomendasikan, selain mutlak diperlukannya karya nyata untuk membuat birokrasi bekerja. Reformasi peraturan perundang-undangan dan birokrasi mesti diarahkan untuk target terukur yang bisa dicapai dalam bingkai pemberdayaan daerah.
Spirit otda untuk membangun bangsa dari daerah harus secara ikhlas diamini para pemimpin bangsa, tidak hanya oleh pemimpin lokal tetapi terutama oleh para pemimpin nasional.
Barangkali kita boleh berharap calon pemimpin utama bangsa ini untuk 5 tahun mendatang memiliki dan mampu menularkan spirit otda. Keyakinan dan kesetiaan untuk melaksanakan amanat sistem pemerintahan yang telah kita pilih tersebut menjanjikan potensi besar untuk mencapai keberhasilan pembangunan bangsa ini. Sebaliknya, keraguan atasnya berarti menyumbangkan bibit-bibit kegagalan.

P. Agung PambudhiDirektur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Bisnis Indonesia

Rabu, 18 Maret 2009

Daerah Mendapat Rp. 6,96 Triliun

Jakarta - Daerah memperoleh uang tambahan dari pusat senilai Rp 6,96 triliun melalui dana perimbangan baru, yakni Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah atau DPDF dan PPD.
Daerah penerimanya diatur Dewan Perwakilan Rakyat sehingga berbeda dengan nomenklatur transfer lain yang ditetapkan pemerintah pusat.
”Ini merupakan nomenklatur baru, meskipun sejenis dengan DAK (dana alokasi khusus). Meski demikian, sebaiknya transfer ke daerah itu tetap mengikuti jenis transfer yang sudah ada, yaitu DAU (dana alokasi umum), DAK, DBH (dana bagi hasil), dan otonomi khusus,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Kamis (12/3).
Menurut Dia, DPDF dan PPD merupakan anggaran yang diusulkan DPR, dalam hal ini Panitia Anggaran, pada saat membahas Undang-Undang APBN 2009.
Sumber dananya adalah hasil optimalisasi dari sisi penerimaan negara. Optimalisasi ini muncul karena DPR menilai target penerimaan negara masih bisa ditingkatkan lebih tinggi dari perhitungan pemerintah, yakni Rp 848,6 triliun.
”Biasanya (dana ini dialirkan) untuk daerah konstituen para anggota DPR,” ujar Sri Mulyani.
Untuk mengimbangi keinginan DPR tersebut, pemerintah akan menerapkan prinsip-prinsip transfer ke daerah secara ketat agar menjamin ekualitas, transparansi, dan konsistensinya terhadap tujuan nasional.
Pengalokasian nilai DPDF dan PPD perdana tersebut ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 42/PMK.07/- 2009 tanggal 2 Maret 2009. Ini akan menambah jumlah transfer ke daerah menjadi Rp 303,1 triliun.
Dana ini hanya boleh digunakan untuk infrastruktur, seperti pembangunan bandara perintis, normalisasi sungai, dan air bersih. Selain itu, bisa juga digunakan untuk proyek non-infrastruktur, seperti peningkatan mutu pendidikan. (oin/kompas)

11 Gubernur Kantongi Ijin Kampanye dari Mendagri

11 ORANG gubernur dan 7 wakil gubernur sudah mengantongi ijin dari Menteri Dalam Negeri untuk cuti kampanye menjelang pemilu mendatang. Secara keseluruhan, ada 117 pejabat di daerah yang mengantongi ijin tersebut. untuk mengambil cuti," kata Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, di Halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin (16/3).
Walaupun para gubernur dan wakilnya cuti kampanye, tambah Mardiyanto, pemerintahan di daerah tidak akan mengalami kekosongan, sebab ada pejabat penggantinya yaitu sekretaris daerah (Sekda).
"Saya sudah memerintahkan para Sekda, sebagai pelaksana tugas, untuk melengkapi administrasinya agar tidak terjadi kevakuman pemerintahan di daerah," kata Mardiyanto.
Terkait kemungkinan adanya pejabat di daerah yang menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, menurut Mardiyanto bukan kewenangan Depdagri, tetapi sudah masuk kewenangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Namun Mardiyantu meyakini, kecil kemungkinan terjadinya pelanggaran tersebut. "Para pejabat sudah tahu aturannya.yaitu PP No. 14 Tahun 2008. Kita harapkan mereka tinggal menyesuaikannya. Yang penting itu adalah sosial kontrol dari masyarakat, termasuk media," jelas Mardiyanto. Rizky Pohan [www.jurnalnasional.com]

Pejabat Dilarang Kampanye Pakai Fasilitas Negara

Seluruh pejabat negara yang berkampanye tak boleh menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan mereka, termasuk menggunakan fasilitas negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pejabat mematuhi Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2009 tentang tata cara pejabat negara dalam melaksanakan kampanye pemilihan umum.
"Mari kita berikan teladan dalam penyelenggaraan pemilu," kata Presiden saat memberikan sambutan dimulainya kampanye terbuka Pemilu Legislatif 2009 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/3).
Presiden menginstruksikan kepada seluruh jajaran pemerintahan di tingkat pusat dan daerah tetap mengutamakan pelayanan masyakarat selama masa kampanye pemilu. "Tugas-tugas pembangunan, utamanya pelayanan kepada masyarakat tidak boleh terganggu dan tidak boleh terhenti.”
Kepala Negara meminta pemerintah daerah mendukung seluruh proses penyelenggaraan pemilu dengan membantu Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh daerah, terutama pendistribusian surat suara agar sampai di Tempat Pemungutan Suara tepat waktu.
Kepada jajaran TNI dan Kepolisian Republik Indonesia, Presiden mengingatkan, agar mereka menjaga netralitas selama menjalankan tugas menjaga keamanan dan ketertiban Pemilu 2009.
Fasilitas Negara
Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa menyatakan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla masih mendapatkan fasilitas pengamanan, protokoler, dan kesehatan selama cuti kampanye Pemilu Legislatif 2009.
"Perangkat Presiden yang melekat itu sudah ada protapnya. Yang melekat itu adalah kesehatan, protokol Presiden misalnya asisten pribadi dan staf-staf pendukung Presiden, serta Pasukan Pengamanan Presiden," kata Hatta di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Menurut Hatta, Presiden selama cuti kampanye juga mendapatkan fasilitas kendaraan anti peluru seperti yang ia pakai selama ini demi alasan keamanan. Fasilitas negara selama keduanya cuti kampanye menggunakan anggaran negara. "Pengeluaran di luar tiga fasilitas itu, harus menggunakan biaya sendiri."
Untuk menteri yang cuti kampanye, menurut Hatta, sama sekali tidak boleh menggunakan fasilitas negara termasuk mobil dinas.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sarbini mengatakan, pihaknya telah menentukan prosedur tetap terkait dengan pelaksanaan cuti kampanye Presiden dan Wakil Presiden, serta para menteri.
"Posisi VVIP adalah dua wilayah. Pertama, wilayah publik beliau ada sebagai pejabat publik dan kedua adalah wilayah private sebagai peserta pemilu," kata Nur Hidayat.
Dia mengatakan Bawaslu telah bertemu Paspamres dan protokoler guna menyepakati pemakaian fasilitas negara yang melekat pada Presiden dan Wakil Presiden selama keduanya cuti kampanye.
Bawaslu menegaskan bahwa pada rombongan VVIP tidak boleh ada pengurus partai politik peserta pemilu. Selain itu, partai politik tempat Presiden dan Wakil Presiden berafiliasi tidak boleh turut menggunakan fasilitas negara yang melekat pada keduanya, yaitu kesehatan, keamanan, dan protokoler. "Tiga hal melekat itu tidak bisa dialihfungsikan atau dioper ke yang lain,” kata Nur Hidayat. Suci Dian Hayati/Arjuna Al Ihsan/Very Herdiman

Senin, 09 Februari 2009

Pemekaran Perberat Bisnis, Layanan Publik Terbengkalai

Monday, 09 February 2009
Jakarta – Pemekaran Daerah sejak tahun 2000 hingga saat ini menimbulkan beban tambahan bagi pelaku usaha. Tambahan masalah itu adalah mengecilnya skala ekonomi yang dibatasi wilayah administratif. Lalu, aturan daerah yang kian beragam membuat berbisnis menjadi lebih rumit.

“itu adalah masalah yang muncul jika good governance (tata kelola yang baik) pada pemerintahan di daerah pemekaran berjalan dengan baik. Tetapi, jika good governance tidak dijalankan, maka dampaknya akan lebih parah,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudhi di Jakarta, Jumat (6/2).

Menurut Agung, akibat semakin banyaknya daerah yang dimekarkan, fokus ekonomi yang direncanakan para pebisnis menjadi lebih rumit. Peraturan (baik perizinan, tenaga kerja, pungutan, dan lahan) menjadi lebih beragam sehingga menyulitkan operasional pelaku usaha.



“Masalah bertambah besar bila good governance dilanggar, misalnya banyak pungutan ilegal melalui peraturan daerah, kolusi pejabat dan pelaku usaha menjadi lebih marak. Solusinya adalah perlu ada desain pemerintahan di daerah yang serius dan harus dilaksanakan,” ujarnya.

Studi bappenas

Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan PBB untuk program Pembangunan (UNDP) melakukan Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Dalam laporannya, daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibanding daerah induk. Namun, setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonomi baru itumasih tetap berada di bawah kondisi induknya.

Sekretaris Jenderal Kemeterian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ bappenas Syahrial Loetan mengatakan, berdasarkan studi tersebut, pemekaran daerah lebih banyak negatifnya dibanding hasil potitifnya, dalam hal pelayanan publik.

“Padahal, maksud utama desentralisasi adalah mendekatkan masyarakat kepada pemerintah yang memberikan pelayanan,” ujarnya. (oin)




--- (Sumber: KOMPAS - Sabtu, 07 Februari 2009 - Hal.21) ---

Presiden Harus Segera Stop Pemekaran

Ditulis Oleh Harian KOMPAS
Monday, 09 February 2009
Jakarta – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta segera mengeluarkan peraturan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk menghentikan sementara proses pemekaran daerah yang tak terkendali

“Perlu ada peraturan untuk moratorium atau jeda guna mengevaluasi dan membuat rencana induk. Tidak cukup hanya imbauan atau pidato” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Jumat (6/2).

Peraturan itu bisa berupa revisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan daerah atau bahkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) apabila memang diperlukan.

Menurut Ketua Tim Kerja Otonomi Daerah Komisi II DPR Chozin Chumaidy, apabila Yudhoyono memang memiliki kemauan politik yang kuat untuk menstop pemekaran, sesungguhnya hal itu bisa dilakukan dengan tidak membahas rancangan undang-undang yang diajukan.



Namun, selama ini Presiden selalu mengeluarkan surat Presiden sebagai bentuk persetujuan diadakan pembahasan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irwan Gusman juga menegaskan, evaluasi pemekaran dan jeda perlu segera dilakukan. “Kalau perpu dirasa sebagai jalan keluar, mengapa tidak,” ungkapnya.

Pengajar Universitas Indonesia, Prof Eko Prasojo, mengusulkan agar lembaga Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dibuat sebagai lembaga independen yang putusannya mengikat pemerintah maupun DPR. Selama ini, rekomendasi DPOD tentang usul pemekaran hanya mengikat pemerintah. DPR tak terikat dengan rekomendasi DPOD merupakan amanat undang-undang yang juga dibuat oleh DPR.

Eko Prasojo yang juga anggota DPOD menyebutkan, persoalan pemekaran bukan hanya dominasi kepentingan politik, tetapi juga akibat inkonsistensi pusat dalam penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.

Pakar otonomi daerah, Laurel Heydir, menyebutkan, unsur subyektivitas memang lebih dominan dalam pembahasan pembentukan daerah baru. Unsur primordialisme direvitalisasi dan partai politik cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan mendulang suara.

Ketua Pusat Pengkajian Otnomi Daerah Universitas Brawijaya Ibnu Tricahyo dan pengajar mata kuliah Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Dwi Windyastuti, juga mengatakan, motif pemekaran umumnya hanya kepentingan elite politik dan tidak berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, selain menghentikan pemekaran wilayah, evaluasi atas wilayah baru yang dimekarkan tersebut juga sangat mendesak dilakukan.

Dari Makassar dilaporkan, lima dari enam Gubernur se-Sulawesi sepakat menolak segala bentuk proese pemekaran wilayah baru. Kesepakatan itu akan disampaikan kepada Presiden Yudhoyono dengan harapan Presiden segera menghentikan pembentukan daerah otonom baru.

Kesepakatan itu ditandatangani pada kamis malam di Makassar oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju, Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, dan Sekretaris Provinsi Sulawesi Tenggara (mewakili Gubernur) Zainal Abidin. Gubernur Gorontalo tidak hadir dan tidak mengutus wakilnya. (NAR/WAD/INA/SUT/DIK/MJW)




--- (Sumber: KOMPAS - Sabtu, 07 Februari 2009 - Hal.Utama) ---

Usul Pemekaran Lewat Satu Pintu, Revisi UU Pemda

Friday, 06 February 2009
Revisi UU Pemda


Jakarta - Untuk menahan laju pemekaran daerah dan menghindari konflik, perlu revisi UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) dan Peraturan Pemerintah (PP) 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Usulan pemekaran sebuah daerah harus melalui satu pintu, yakni Departemen Dalam Negeri (Depdagri).


Peneliti bidang otonomi daerah dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng mengatakan hal itu kepada SP di Jakarta, Jumat (6/2).

Saat ini, usulan pemekaran daerah melalui tiga pintu, yakni pemerintah, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Usulan lewat DPR dan DPD, sarat kepentingan politik, sehingga mengaburkan syarat-syarat objektif pemekaran daerah yang sudah diatur.



Dia mengingatkan agar Depdagri disiplin menerapkan peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan syarat-syarat pembentukan sebuah daerah otonom baru. Segala variabel dan syarat yang diatur dalam PP 78/2007 harus diuji sungguh-sungguh di Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). "Pengujian terhadap syarat-syarat itu harus menghindari praktik politik uang. Sebab, tidak jarang politik uang sangat berpengaruh terhadap lolos- tidaknya sebuah daerah baru menjadi daerah otonom," ujarnya.



Senada dengannya, pakar otonomi daerah, Ryaas Rasyid mengemukakan, pemerintah harus segera mengambil kebijakan baru, di antaranya merevisi aturan tentang pemekaran daerah. "Presiden juga bisa memerintahkan Departemen Keuangan untuk merevisi insentif terhadap daerah-daerah pemekaran, karena selama ini pemekaran identik dengan uang dan kekuasaan," ujarnya.

Ryaas menyayangkan sikap Presiden Yudhoyono yang hanya melontarkan wacana merevisi UU. Sejak tiga tahun lalu, Presiden sering berbicara mengenai revisi tersebut. "Sayangnya tidak segera ditindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah baru. Ini hanya dibiarkan sebatas wacana," ujarnya.

Sedangkan, pakar politik J Kristiadi menyatakan tidak perlu ada lagi pemekaran wilayah. "Pemekaran wilayah sudah cukup. Semua itu hanya dijadikan komoditas politik oleh para elite," katanya.

Menurutnya, yang lebih penting adalah memperjuangkan kesejahteraan rakyat, ketimbang mengusahakan pemekaran yang hanya menjadi ladang pengerukan uang para elite. Pemekaran wilayah membuat segala harta dan potensi rakyat dipolitisasi menjadi keuntungan dan kekayaan pribadi. "Tidak ada kata lain selain stop pemekaran," imbuhnya.

Mantan anggota MPR ini juga mencermati tentang segala survei yang dilakukan untuk memekarkan sebuah wilayah provinsi atau kabupaten. "Saya tidak menuduh survei-survei itu penuh dengan manipulasi, namun kalau tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi rakyat, boleh jadi survei-survei tersebut dibuat hanya untuk memenuhi kepentingan elite yang bermain di belakangnya," ujarnya.

Selektif

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan menyatakan kebijakan pemekaran daerah provinsi, kabupaten, ataupun kota pada masa depan, hendaknya dilakukan lebih selektif. Jangan menempatkan aspirasi pemekaran di atas segalanya, tetapi yang harus diutamakan adalah pemenuhan persyaratan pemekaran daerah.

"Pemenuhan syarat dan kriteria pemekaran daerah harus diutamakan. Jangan tempatkan aspirasi pemekaran menjadi segala-galanya," ujar anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) itu.

Dikatakan, verifikasi, pemenuhan aspek teknis, dan kesiapan daerah, merupakan faktor penting dalam memproses aspirasi pemekaran daerah. Konflik-konflik yang muncul terjadi karena ketidakpahaman terhadap kebijakan pemekaran daerah. Ketidakpahaman itu membuat para elite membawa massa yang kemudian melakukan kekerasan dan tindakan brutal. "Boleh saja berbeda pendapat, tapi jangan pernah menyelesaikan dengan cara anarkistis, karena sikap seperti itu tidak menolong, tetapi malah merusak," katanya.

Dari Medan dilaporkan, aktivis Blog Politik Masyarakat Sipil Sumut Benget Silitonga mendesak dilakukan moratorium pemekaran daerah, khususnya di Sumut. Moratorium itu perlu dilakukan sampai dilaksanakan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh daerah pemekaran.

"Pemerintah harus melakukan moratorium politik hingga dilaksanakan evaluasi secara menyeluruh, apakah memberi manfaat atau justru membawa mudarat bagi masyarakat lokal," katanya.

Menurutnya, penyampaian aspirasi lokal, apakah itu dalam bentuk usulan pemekaran ataupun pembentukan daerah baru, sejatinya juga harus dijauhkan dari praktik politik pemaksaan kehendak atau politik vandalistis. [EMS/M-16/151/J-11/A-21]




--- (Sumber: Suara Pembaruan - Jumat, 06Februari 2009) ---

Presiden: Pemekaran akan dievaluasi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota ada yang gagal dan berhasil sehingga akan dilakukan evaluasi.

Kepala Negara sudah mengusulkan kepada DPR untuk melakukan moratorium kebijakan pemekaran daerah karena motivasinya sudah banyak yang menyimbang dari tujuan mempercepat pembangunan dan lebih mensejahterakan masyarakat di daerah.

Menurut dia, tidak sedikit ide pemekaran hanya bertujuan unutk memenuhi kepentingan elit-elit poliitk lokal tertentu dengan berbagai motivasi antara lain politik dan ekonomi.

"[Banyak pula pemekaran] bukan untuk meningkatkan pembangunan. Dengan dimekarkannya daerah bertambah maju dan rakyat bertambah sejahtera, banyak yang bukan itu," ungkap Yudhoyono di Jakarta hari ini.

Dia meminta pemekaran harus utuh memenuhi syarat-syarat yang mendasar seperti yang diminta oleh Undang-undang. Dalam hal ini dirinya mengajak semua jajaran pemerintah pusat dan daerah, DPRD, DPR, DPD, wartawan, elit politik dan semua pihak untuk melihat proses pemekaran secara matang.

Presiden meminta elit dan politikus jangan latah dengan ide pemekaran karena bisa justru merusak kalau tidak dilakukan dengan benar. Yudhoyono menyorot insiden demo anarkis di Medan yang dinilai justru merusak demokrasi. "Bangsa Indonesia sepakat agar demokrasi harus kita biarkan berkembang, tapi anarki tidak boleh dibiarkan berkembang." (tw/Irsad Sati & Tri D. Pamenan/bisnis.com).

Pemerintah dinilai gagal atasi kemiskinan

Partai Gerindra menilai sejauh ini tidak ada keberhasilan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu dalam menekan angka kemiskinan di Tanah Air.

Sekjen DPP Partai Gerakan Indonesia Raya Ahmad Muzani mengatakan hasil kerja pemerintah sangat minim dalam menurunkan kemiskinan bila dibandingkan dengan anggaran yang dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, di mana angkanya meningkat tiga kali lipat dalam tiga tahun terakhir.

"Penurunan tingkat kemiskinan yang diklaim pemerintah diperoleh dari pengetatan garis kemiskinan yang hanya Rp182.636 perkapita per bulan," ujarnya dalam refleksi satu tahun partai itu hari ini.

Angka itu hanya naik 9,56% dari garis kemiskinan pada 2007 yang sebesar Rp166.697. Jika garis kemiskinan ditetapkan tanpa pengetatan, partai itu meyakini angka kemiskinan akan melonjak.

Gerindra juga tidak melihat keberhasilan pemerintah dalam menekan angka pengangguran. Klaim turunnya angka pengangguran, menurut Muzani, disebabkan karena besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor informal.

Partai yang mengusung capres Prabowo Subianto itu menilai penurunan harga BBM tidak dapat diklaim sebagai kesuksesan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena harga minyak di pasar internasional terus turun.

Dalam refleksi itu Gerindra menyatakan TNI harus diposisikan sebagai pilar utama dalam membangun sistem demokrasi di Indonesia. Karena itu alokasi anggaran TNI harus kembali mendapat priorotas untuk dapat memenuhi kebutuhan minimalnya. (tw/Tri D. Pamenan/bisnis.com)

DPD kecam aksi anarkis di DPRD Sumut

Selasa, 10/02/2009 12:48 WIB
Dewan Perwakilan Daerah mengecam tindakan anarkis demonstran yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Provinsi Sumut Abdul Aziz Angkat.

Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita menilai aksi ribuan demonstran di gedung DPRD Sumut pada 3 Februari lalu merupakan aksi anarkis yang mencederai makna demokrasi dan karenanya patut disesalkan.

"Aparat keamanan kurang melakukan fungsinya dalam melindungi pejabat negera yang sedang melaksanakan tugas," tegasnya dalam siaran pers yang diterima Bisnis hari ini.

Atas kejadian tersebut, Ginandjar mendesak aparat keamanan segara mengusut secara tuntas para pelaku di balik aksi anarkis tersebut. "Kami mendesak agar aparat keamanan yang bertanggungjawab pada saat peristiwa tersebut terjadi ditindak tegas."

Dia juga meminta agar aparat keamanan meningkatkan prosedur pengamanan bagi para pejabat daerah, pejabat negara, dan pejabat pu blik lainnya yang sedang melaksanakan tugas agar insiden serupa tidak terulang lagi.

"Kami mengimbau masyarakat agar dalam menyalurkan aspirasi dilakukan dengan cara yang demokratis, bukan anarkis, serta tidak mementingkan kepentingan pribadi maupun golongan," tuturnya.

Lebih jauh, Ginandjar minta masyarakat agar tetap menjaga kerukunan dan tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang akan memecah belah bangsa. (tw/Achmad Aris/bisnis.com).

Kamis, 05 Februari 2009

Uang Bergerak Lambat di Daerah

Perputaran uang di daerah, terutama dana-dana yang disalurkan pemerintah pusat ke daerah, masih lambat. Itu disebabkan sebanyak 293 daerah atau 57,45 persen dari total daerah belum menyelesaikan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2009.

Padahal, tanpa anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah pusat tidak bisa mencairkan dana perimbangan dan daerah tidak memiliki dasar hukum untuk mendanai proyek atau program apa pun. Dengan demikian, pembangunan di daerah akan sangat terhambat.

”Hingga Senin (19/1) sore, pemerintah daerah yang menyelesaikan perda APBD dan sudah dilaporkan kepada kami mencapai 247 daerah atau 48,4 persen dari total jumlah pemda yang mencapai 510, baik provinsi, kabupaten, maupun kota,” ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, Mardiasmo di Jakarta, kemarin.

Catatan Depkeu menunjukkan, 247 daerah itu terdiri atas 29 provinsi dan 218 kabupaten atau kota yang sudah membahas APBD mereka dengan DPRD. Dari 217 daerah itu hanya 65 daerah yang sudah benar-benar mengesahkan perda APBD atau sudah menjadi ketetapan hukum. Selebihnya baru selesai dibahas di DPRD, tetapi masih harus melalui tahap evaluasi di pemerintah provinsi (untuk APBD kabupaten dan kota) dan di Departemen Dalam Negeri (untuk APBD provinsi).

Setelah dievaluasi di pemerintahan lebih tinggi, APBD itu masih harus dikembalikan kepada pemda untuk direvisi, lantas disetujui DPRD. Setelah itu APBD bisa disahkan menjadi perda. Proses evaluasi tak boleh lebih dari dua pekan agar tidak ada upaya menahan-nahan APBD di pemerintah yang lebih tinggi.

Daerah yang belum menyelesaikan APBD terdiri atas 4 provinsi dan 259 kabupaten atau kota. Mereka belum membuat APBD karena belum membahasnya dengan DPRD, atau sudah dibahas, tetapi belum selesai, atau karena belum dibuat rancangan perdanya sama sekali di pihak eksekutif (pemda). Keempat provinsi itu adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

APBD Sulawesi Barat diperkirakan akan terhambat lama karena terjadi perselisihan antara pemda dan DPRD-nya. Pemprov Sulawesi Barat tengah mendekati Depkeu untuk menunjukkan bahwa proses penyusunan rancangan perda APBD mereka sudah dilakukan pemda meskipun masih dalam bentuk kebijakan umum anggaran dan plafon anggaran.

Pencairan ditangguhkan

Menurut Mardiasmo, Depkeu tak akan mencairkan dana alokasi khusus (DAK) kepada semua daerah yang belum menyelesaikan APBD mereka. Padahal, DAK tahap pertama akan dicairkan pada awal Februari 2009.

”Adapun dana alokasi umum (DAU) masih tetap akan kami cairkan karena kami yakin itu akan digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri sipil daerah. Kecuali ada daerah yang sudah sangat lambat dalam pengesahan APBD-nya, kami bisa saja menunda pencairan DAU,” ujarnya.

Daerah seharusnya sudah bisa menyusun APBD 2009 dan mengesahkannya dengan DPRD sejak November 2008. Sebab, jatah dana perimbangan dari pemerintah pusat bagi setiap daerah sudah pasti sejak Oktober 2008, atau sejak APBN 2009 disetujui DPR. Dengan pembahasan APBD yang dipercepat ke sebelum awal tahun anggaran, diharapkan semua proyek di daerah bisa berjalan mulai 1 Januari 2009.

Daerah yang menyelesaikan APBD sebelum tahun anggaran sebenarnya terus bertambah. Pada Desember 2006 jumlah daerah yang menyelesaikan APBD 2007 mencapai 25 pemda, lalu pada Desember 2007 yang menyelesaikan APBD 2008 mencapai 118 daerah, dan pada Desember 2008 yang mengesahkan APBD 2009 mencapai 133 daerah. ”Meskipun demikian masih lebih banyak daerah yang belum selesai APBD-nya, terutama daerah-daerah hasil pemekaran,” kata Mardiasmo.

Dominasi daerah

Mardiasmo menyebutkan, penyelesaian APBD 2009 sangat penting karena total dana yang berputar di seluruh APBD bisa lebih dari Rp 400 triliun per tahun. Itu terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) Rp 65 triliun-Rp 70 triliun dan dana yang ditransfer pusat ke daerah sebesar Rp 320,7 triliun, baik dalam bentuk DAK, DAU, dana bagi hasil (DBH), serta dana otonomi khusus dan penyesuaian. Semuanya masuk dalam mekanisme APBD.

Selain dana yang masuk ke mekanisme APBD, masih ada dana lain yang mengalir ke daerah. Itu adalah dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan (digunakan untuk membiayai program departemen dan lembaga nondepartemen di pusat, tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada pemda), dana di lembaga-lembaga negara vertikal (seperti Polri atau Depkeu), subsidi, hingga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

”Jika semuanya diakumulasikan, maka 65 persen dari belanja negara yang ditetapkan dalam APBN mengalir ke daerah seluruhnya. Pemerintah pusat hanya mengelola sekitar 35 persen dari belanja negara, yang disalurkan melalui anggaran kementerian dan lembaga nondepartemen. Maka, 65 persen dari belanja pemerintah bergerak di daerah,” ujar Mardiasmo.

Sebagai ilustrasi, anggaran belanja negara dalam APBN 2009 ditetapkan sekitar Rp 1.037,1 triliun. Jika 65 persennya mengalir di daerah, maka terdapat sekitar Rp 674,115 triliun yang harus dipergunakan di seluruh daerah, dan sekitar 57,96 persen di antaranya ada dalam APBD mereka.

Komunikasi politik

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan, penyebab utama lambatnya penyusunan APBD di daerah adalah tidak lancarnya komunikasi politik antara DPRD dan pemda, lalu lemahnya perencanaan daerah terutama penganggaran, serta lemahnya kualitas sumber daya manusia pemda dalam membuat perencanaan keuangan. Atas dasar itu, pemerintah pusat perlu memberikan sanksi berupa penundaan transfer dana perimbangan kepada daerah yang masih lambat menyelesaikan APBD mereka.

”Usul lain adalah membuat tahun anggaran yang berbeda untuk daerah. Tahun anggaran daerah sebaiknya dimulai pada April hingga Maret tahun setelahnya (tahun anggaran pemerintah pusat dan daerah sekarang adalah sama, yakni Januari-Desember),” ujarnya.

Meskipun dana yang mengalir di daerah sangat besar, masih terjadi penumpukan dan duplikasi proyek di beberapa daerah dan menyebabkan minimnya proyek di daerah lain, yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan. Ini terjadi terutama pada proyek-proyek pusat yang dilakukan di daerah.

Depkeu berinisiatif untuk menghimpun semua pemegang kuasa anggaran di kementerian dan lembaga nondepartemen untuk membicarakan strategi pembangunan di daerah agar tidak terjadi penumpukan dan duplikasi proyek lagi.

Hal lain yang membuat anggaran di daerah tidak termanfaatkan secara optimal adalah berlarut-larutnya proses tender. Oleh karena itu, Depkeu telah meminta kepada Departemen Dalam Negeri dan departemen teknis lain, terutama Departemen Pekerjaan Umum sebagai pemegang proyek terbesar, untuk memberikan kelonggaran pada proses tender di daerah.

”Kami minta agar proses persiapan tender sudah bisa dimulai setelah APBD selesai dibahas di DPRD sehingga tidak perlu menunggu proses evaluasi di pemerintah yang lebih tinggi. Persiapan tender juga sangat penting karena membutuhkan sepertiga dari waktu proses tender yang rata-rata mencapai 40 hari,” ujar Mardiasmo.

--- (Sumber: KOMPAS - Selasa, 20 Januari 2009 - Hal.) ---