| |
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Gamawan Fauzi, mantan Gubernur Sumatera Barat, sebagai Mendagri dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014. Meski agak mengejutkan, pilihan itu patut diapresiasi karena beberapa alasan. Pertama, terpilihnya Gamawan sebagai tokoh sipil terbilang bersejarah karena selama ini pemerintahan dalam negeri kita ”kental” dengan kepemimpinan militer. Kita berharap, dasar pertimbangannya bersifat paradigmatis: bergesernya mandat inti Departemen Dalam Negeri sebagai pembina politik ke peran manajemen kebijakan di bidang otonomi daerah, fasilitasi/dukungan pemilu, dan seterusnya. Kedua, seperti Mendagri 2007-2009, Presiden memilih tokoh yang sedang menjabat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbekal pengalaman itu, Mendagri diharapkan tidak perlu waktu lama untuk mengenali peta masalah pengelolaan pemerintahan dalam negeri, khususnya isu-isu otonomi daerah. Ketiga, sosok Gamawan yang merupakan ikon reformasi governansi yang bersih dan inovatif, baik di Sumatera Barat maupun saat menjabat Bupati Solok. Pascatransisi desentralisasi delapan tahun, kini kita menapaki fase konsolidasi otonomi, yang mensyaratkan visi kepemimpinan inovatif dalam menjamin tumbuhnya kreativitas birokrasi di ranah lokal. Agenda 100 hari Dalam terang optimisme semacam itu, publik berharap Mendagri mampu menangani berbagai agenda prioritas (jangka pendek) maupun arah kebijakan (jangka menengah) ke depan. Terkait kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, ada tiga agenda (masalah) krusial yang harus ditargetkan beres dalam kalender 100 hari ke depan. Pertama, persiapan gelombang kedua pemilihan kepala daerah. Tahun 2010, ada 246 daerah melaksanakan pilkada. Sebagian harus sudah memulai tahap awal rangkaian persiapan pada November 2009. Di sisi lain, hingga hari ini, banyak ketidakjelasan dan ketidaksiapan, baik kerangka legal/regulasi, dukungan anggaran (alokasi APBD), aparat pelaksana (mekanisme pembentukan Panwas Pilkada), sumber data pemilih, dan lainnya. Dalam semua masalah itu, peran dan tanggung jawab Depdagri amat besar (pilkada sebagai bagian rezim pemerintahan daerah). Ihwal dukungan anggaran, misalnya. Ketiadaan alokasi bagi pelaksanaan pilkada dalam APBD 2009 menuntut keputusan kebijakan Mendagri agar memungkinkan daerah melakukan penyesuaian darurat (APBD-P) di luar siklus normal yang seharusnya dikerjakan paling lambat September lalu. Tanpa langkah politik itu, daerah sulit melakukan perubahan anggaran dan pilkada terancam tertunda. Alternatif lebih jauh, jika segenap persiapan tak bisa dibereskan, pilkada akan tertunda dan berdampak pada implikasi hukum dan politik. Kedua, problem tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional anggota DPRD 2004-2009. Akar masalahnya adalah kerangka regulasi pusat yang kerap berganti, tak jelas, bertabrakan: dari PP No 24/2004, PP No 35/2006, PP No 37/2006, PP No 21/2007, SE Mendagri No 700/08/ SJ, hingga SE Mendagri No 555/3032/SJ. Alhasil, anggota DPRD 2004-2009 kembali mengulang pengalaman periode sebelumnya (1999-2004), terancam tindak pidana korupsi. Terlihat jelas jebakan korupsi ”legal” dalam kasus ini adalah murni kesalahan pusat, dengan implikasi anggaran dan akibat hukum yang sepenuhnya ditanggung daerah. Pihak daerah hanya melakukan apa yang sudah diatur, yakni membayar rapelan tunjangan komunikasi dan dana operasional, yang ironisnya minta dikembalikan secara mencicil. Mendagri baru menghadapi pekerjaan rumah amat pelik karena apa pun keputusan yang akan diambil relatif sama risikonya bagi daerah. Ketiga, ritual berulang pemekaran wilayah. Setelah setahun memasuki masa moratorium, awal Oktober Presiden mengirim surat dan menyilakan DPR mengajukan usul RUU pembentukan daerah otonom baru. Pada putaran pertama pascapelantikan presiden-wapres nanti, tidak kurang 20 calon daerah otonom baru siap diproses penyusunan RUU pembentukannya. Gelombang baru ini tak mengejutkan karena jeda pemekaran itu bukan hasil desain terencana, di mana ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khusus, tetapi terpaksa karena faktor kondisional tragedi Medan dan persiapan Pemilu 2009. Kini, sikap Mendagri diuji publik. Secara subyektif-politik harus searah dengan Presiden/DPR yang harus memenuhi utang janji pemekaran dalam kampanye pemilu lalu. Di sisi lain, fakta obyektif menunjukkan, hasil pemekaran lebih banyak membawa mudarat. Bahkan, menurut Lemhannas, sekitar 80 persen daerah otonom baru masuk kategori daerah gagal. Koreksi tuntas harus dimulai dari level manajemen kebijakan: dari hulu (penyiapan kerangka besar), tahapan proses (supervisi), hingga hilir (evaluasi). Tanpa pembenahan kebijakan, jeda pemekaran justru harus diperpanjang lagi. Berbagai masalah itu berskala kompleks, tetapi perlu segera diselesaikan. Suatu tantangan yang tentu jauh dari enteng dan rasanya Mendagri tak punya kemewahan waktu untuk berbulan madu dengan jabatan baru. Melihat berbagai modal awal itu, publik berharap hasil lebih dari Gamawan Fauzi. (Oleh Robert Endi Jaweng/Manager Hubungan Eksternal KPPOD, Jakarta/Kompas). |
Rabu, 28 Oktober 2009
Tiga Agenda Mendagri Baru
Lorong Tiada Ujung Pemekaran Daerah
| |
| |
Salah satu isu krusial yang menguji kemampuan Menteri Dalam Negeri yang baru, Gamawan Fauzi, dalam agenda 100 hari ke depan adalah pengelolaan masalah pemekaran daerah. Kita tahu, pada awal Oktober lalu, Presiden dan DPR saling berkirim surat untuk mulai memproses lagi usulan RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Konon, pada putaran pertama nanti, tak kurang dari 20 calon DOB yang saat ini masuk dalam daftar tunggu, penyusunan RUU pembentukannya siap diproses. Bagi saya, rencana ini sama sekali tidak mengejutkan lantaran moratorium pemekaran dalam setahun belakangan ini memang bukan buah dari suatu desain program yang terencana. Tak ada dasar hukum atau manajemen kebijakan khusus yang melandasi adanya moratorium tersebut. Seperti lazimnya, pemerintah lebih banyak melemparkan wacana dan imbauan stop pemekaran, tetapi tak diikuti langkah nyata guna menyambung wacana ke tindakan, mengubah imbauan menjadi ketetapan kebijakan. Dengan kata lain, penghentian sementara itu bukan hasil by design, tetapi by accident. Sekurangnya ada dua faktor kondisional yang memungkinkan terjadinya jeda pemekaran belakangan ini. Pertama, tragedi Medan yang berbuntut meninggalnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat dalam unjuk rasa menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli awal tahun ini. Kedua, persiapan pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden 2009, saat biaya dan enerji politik para elite kita dikonsentrasikan bagi upaya pemenangan dirinya dalam pemilihan. Utang Budi, Distribusi Kekuasaan, Rente Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah dan DPR tetap membuka pintu usulan pemekaran ketimbang membenahi sejumlah agenda mendasar yang justru belum kunjung dilakukan? Seperti kita tahu, publik sudah sering kali mengkritik mismanajemen kebijakan pemekaran yang dilakukan pusat selama ini. Kerangka kebijakan pemekaran kita tak komplet dari sudut sistematika manajemen, yakni mengurut dari payung perencanan (master planning) hingga penilaian kinerja (performance assessment). Pusat terkesan lebih banyak mengeluarkan kebijakan reaktif, mengikuti gendang tuntutan yang ditabuh daerah. Mismanajemen kebijakan itu berlangsung merata di semua tahapan penting. Di level hulu pemerintah belum juga memiliki grand strategy penataan daerah: ihwal estimasi jumlah daerah, titik-titik wilayah baru yang perlu dikembangkan, pengelolaan pascapemekaran, dll. Pada tahapan proses hingga hari ini upaya monitoring dan supervisi DOB belum kunjung efektif sehingga praktik pemerintahan baru berjalan tak tentu arah. Sementara itu di level hilir, belum ada evaluasi komprehensif atas capaian DOB (PP No.6/2007), tidak sekadar studi kasus/sektoral yang dilakukan secara sporadis selama ini. Alih-alih membereskan agenda prioritas tersebut, pusat justru membuka kembali keran pemekaran yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh pihak daerah selama fase jeda sementara ini. Pembacaan yang paling logis dalam konteks ini tiada lain adalah kuatnya kepentingan politik elite nasional/lokal. Pertama, politik utang budi: elite melakukan barter pemekaran dengan dukungan suara pemilihan dari konstituen di sejumlah daerah tertentu. Kedua, politik distribusi kekuasaan: elite berupaya menciptakan peluang-peluang baru bagi mobilitas kadernya dalam jabatan politik dan birokrasi baru. Dan ketiga, politik rente ekonomi: penciptaan peluang bisnis baru bagi pelaku usaha (kontraktor, dll) yang telah mendukung pendanaan parpol/kelompok elite dalam pemilu. Dalam gemuruh pesta pora tersebut, rakyat hanya menjadi objek penderita. Mereka menjadi objek mobilisasi selama masa perjuangan pemekaran dan lalu kembali menderita setelah tujuan tersebut tercapai. Berbagai temuan lembaga studi menunjukkan bahwa ukuran-ukuran objektif tujuan pemekaran, yakni mutu pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, tidak terpenuhi atau justru merosot di mayoritas DOB. Belum lama ini Lemhannas bahkan menyebut sekitar 80% daerah hasil pemekaran (total 1999-2008 sebesar 203 DOB) masuk dalam kategori daerah gagal (Kompas, 30/09/09). Manfaat yang dirasakan Masyarakat Dengan basis legitimasi politik yang kuat dan kekuasaan yang makin besar, kita sesungguhnya menaruh harapan tinggi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempertegas keberpihakannya terhadap tujuan-tujuan mendasar politik desentralisasi dan khususnya pemekaran daerah. Ukurannya adalah kemanfaatan nyata yang dirasakan masyarakat dalam perbaikan mutu kehidupan mereka, dan tidak lagi terus disandera kepentingan sempit elite politik yang kerap mengatasnamakan kemaslahatan publik. Perbaikan kualitas pelayanan dan kesejahteraan sosio-ekonomi adalah instrumen pencapaian kemanfaatan nyata tersebut. Hemat saya, titik penting untuk masuk ke niat perbaikan itu adalah kepemimpinan tegas untuk mengelola segala dinamika yang ada, baik dalam pemerintahan maupun parlemen, dari level pusat hingga daerah. Dengan bantuan manajemen kebijakan yang sistematis dan konsistensi teguh dalam penerapannya, kiranya libido kepentingan politik elite bisa lebih terkelola secara produktif. Ini yang kita tunggu dalam periode kedua pemerintahan Yudhoyono, jika tak mau negeri ini berada di lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Republik di hari-hari ke depan. Bagi tujuan akselerasi pembangunan dan peningkatan efektivitas pelayanan publik, pilihan yang efektif justru melalui kerja sama antardaerah. Dalam konteks manajemen pembangunan, suatu wilayah hasil pemekaran yang biasanya berukuran kecil cenderung berkapasitas terbatas, menjadi unit-unit daya saing yang relatif lemah dibanding sebelumnya dan bisa saja kalah bersaing dengan daerah lain. Sementara itu, bagi pelayanan publik kerja sama ini bisa meminimalkan tendensi setiap daerah yang melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seakan terpisah dari relasi integral dengan daerah lain.(Oleh Robert Endi Jaweng |
Jumlah Kursi di Daerah Pemekaran Naik
Jakarta, Kompas - Jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang dimekarkan, baik untuk daerah induk maupun daerah pemekaran, naik dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kursi DPRD wilayah induk. Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) Hadar N Gumay dalam diskusi ”Pengisian Kursi DPRD Kabupaten/Kota Pemekaran” di Jakarta, Kamis (22/10). Semula, 20 kabupaten induk, sebelum pemekaran, hanya memiliki 710 kursi DPRD. Namun, setelah dimekarkan hingga menjadi 20 kabupaten induk dan 26 kabupaten/kota pemekaran, jumlah kursi DPRD untuk daerah induk dan pemekaran menjadi 1.255 kursi DPRD atau naik 76,76 persen. ”Ini konsekuensi dari pemekaran daerah. Jadi, kursi DPRD-nya harus segara diisi,” katanya. Namun, ternyata pengisian kursi DPRD untuk daerah yang dimekarkan, baik daerah induk maupun daerah pemekaran, belum dapat dilakukan. Padahal, tiap-tiap daerah pemekaran yang rata-rata dimekarkan pada tahun 2008 itu, menurut Koordinator Forum Calon Anggota Legislatif Lintas Partai Kota Tangerang Selatan Robert Usman, terancam dikembalikan ke daerah induk jika tidak mampu membentuk pemerintahan definitif setelah dua tahun disahkan. Robert menambahkan, sudah ada UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penetapan Jumlah dan Tata Cara Pengisian Keanggotaan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang Dibentuk Setelah Pemilu Tahun 2004 untuk mengisi kursi DPRD di daerah pemekaran. Aturan itu tidak digunakan karena KPU mengacu kepada UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru disahkan akhir Agustus lalu. Namun, UU itu belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan KPU untuk menjalankan UU itu. ”KPU sudah selesaikan naskah akademis peraturannya. Awal November nanti diperkirakan sudah selesai,” kata anggota KPU, I Gusti Putu Artha. KPU menjanjikan aturan itu akan mengatur secara mendetail pengisian kursi DPRD pemekaran sehingga KPUD wilayah pemekaran terhindar dari tekanan partai politik dan menghindari benturan di antara sesama caleg partai. Lambannya pembentukan peraturan KPU karena tidak detailnya UU No 27/2009 sehingga KPU kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan UU dalam membagi kursi DPRD pemekaran. Terlebih lagi, banyak daerah pemilihan dalam pemilu anggota DPRD lalu yang ternyata tidak sinkron dengan daerah yang dimekarkan. (MZW) |
Perlu Konsistensi Membenahi Otonomi
Otonomi dan desentralisasi menjadi salah satu kata kunci yang mengiringi, proses demokratisasi di Indonesia serta runtuhnya rezim yang sarat dengan sentralisasi dan pemusatan kekuasaan. Apa harapan pemerintah dan masyarakat daerah terhadap penerapan otonomi daerah dalam periode kedua pemerintahan Presiden SBY? Penelusuran Bisnis terhadap sejumlah pemerintah daerah dan para pengamat di daerah menunjukkan banyaknya kekecewaan atas penerapan otonomi daerah. Upaya meningkatkan pendapatan asli daerah sebesar mungkin, egoisme kedaerahan, kebijakan daerah yang tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat, suku bunga perbankan yang terlalu tinggi, serta tata kelola keuangan pemerintah yang tidak selaras antara pusat dan daerah, merupakan keluhan yang paling menonjol.
Ada berbagai keruwetan penerapan desentralisasi yang berpangkal dari masalah teknis serta perbedaan paradigma berpikir. Konsistensi peraturan pemerintah pusat serta dukungan terhadap pengembangan infrastruktur di daerah menjadi harapan seluruh pemerintah daerah. Iwan Java Aziz, guru besar dari Cornell University AS, berpendapat desentralisasi justru mendorong munculnya banyak kebijakan berlingkup regional maupun nasional yang akhirnya justru mengurangi daya tarik investasi. "Pada dasarnya desentralisasi itu baik untuk Indonesia, tapi pelaksanaannya menemui banyak kendala," ujarnya pada focus group discussion yang digelar Bank Indonesia Semarang belum lama ini. Iwan mengungkapkan dalam penelitiannya 3 tahun terakhir di seluruh wilayah Indonesia ditemukan bahwa hampir semua pemkot/pemkab menerbitkan kebijakan regional dengan tujuan utama meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga membebani dunia usaha. Selain itu, lanjutnya dalam 3 tahun terakhir pemerintah pusat menerbitkan kebijakan yang mengganggu proses desentralisasi, terutama kenaikan harga BBM hingga 120% dan kebijakan Bank Indonesia yang mengakibatkan suku bunga perbankan tinggi. Tak Propasar Data di Pemprov Jateng menunjukkan 202 peraturan daerah di provinsi ini direkomendasikan oleh Departemen Keuangan untuk dicabut karena dinilai antiinvestasi dan bertentangan dengan undang-undang pemerintahan daerah. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Sumatra Utara Eddy Syofian berpendapat kurang sinkronnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola keuangan pusat dan daerah menjadi penyebab minimnya realisasi proyek-proyek pembangunan di wilayah Sumatra Utara. Menurut dia, para kepala daerah ataupun pimpinan satuan kerja perangkat daerah di tingkat provinsi sangat berhati-hati dalam realisasi proyek karena khawatir melangkah lebih jauh sehingga harus berurusan dengan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, serta Kejaksaan. "Dalam kondisi seperti itu, tidak mengherankan realisasi anggaran proyek di Sumatra Utara baru sekitar 40%-an. Bahkan ada beberapa bupati yang belum mengarnbil dana perimbangan dari pusat," katanya. Dia mengakui kenyataan pemerintah daerah lebih memilih menempatkan dana pembangunan yang dialokasikan pemerintah pusat di bank-bank daerah. "Saya kira selagi kondisinya masih seperti saat ini, menyimpan dana di bank daerah menjadi salah satu pilihan logis dan positif karena ikut memajukan bank daerah. Yang juga penting, hal itu tidak melanggar peraturan," ujarnya. Eddy Syofian berharap Kabinet Indonesia bersatu II dapat melakukan perbaikan dan penataan kembali terhadap penataan kembali tata kelola keuangan pusat dan daerah. Harapan lain disampaikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Deny Juanda Puradimaja. Dia mengatakan daerah menginginkan keberlanjutan kebijakan yang sedang dirintis atau sedang dalam tahap pengerjaan. Jabar berkepentingan dengan keberlanjutan program pembangunan. Sebab, provinsi ini memiliki sejumlah proyek strategis yang dinilai mampu menggerakkan perekonomian daerah, sekaligus menopang perekonomian nasional. Proyek mutakhir yang sedang digenjot adalah pembangunan infrastruktur jalan di Jabar bagian selatan sepanjang 421 km. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu fokus penting bagi semua pemerintah daerah yang perlu dukungan pemerintah pusat. Pemerintah Kalimantan Timur, misalnya, mengarahkan anggaran ke dua aspek terpenting bagi daerah itu, yakni infrastruktur berupa jalan trans-Kalimantan serta pengembangan daerah perbatasan. Gubernur Awang Faroek Ishak mengatakan kondisi jalan trans-Kalimantan di wilayah Kaltim memprihatinkan khususnya di utara yang menjadi urat nadi perekonomian tujuh kabupaten/kota. Kaltim memperoleh bantuan APBN 2009 sebesar Rp43 miliar yang dianggap sangat kurang untuk kerusakan jalan lebih dari 100 km. Adapun Pemkab Malang mengalokasikan rata-rata 50% dari total belanja pembangunan untuk proyek infrastruktur. 9Oleh Setyardi Widodo |