Senin, 09 Februari 2009

Pemekaran Perberat Bisnis, Layanan Publik Terbengkalai

Monday, 09 February 2009
Jakarta – Pemekaran Daerah sejak tahun 2000 hingga saat ini menimbulkan beban tambahan bagi pelaku usaha. Tambahan masalah itu adalah mengecilnya skala ekonomi yang dibatasi wilayah administratif. Lalu, aturan daerah yang kian beragam membuat berbisnis menjadi lebih rumit.

“itu adalah masalah yang muncul jika good governance (tata kelola yang baik) pada pemerintahan di daerah pemekaran berjalan dengan baik. Tetapi, jika good governance tidak dijalankan, maka dampaknya akan lebih parah,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudhi di Jakarta, Jumat (6/2).

Menurut Agung, akibat semakin banyaknya daerah yang dimekarkan, fokus ekonomi yang direncanakan para pebisnis menjadi lebih rumit. Peraturan (baik perizinan, tenaga kerja, pungutan, dan lahan) menjadi lebih beragam sehingga menyulitkan operasional pelaku usaha.



“Masalah bertambah besar bila good governance dilanggar, misalnya banyak pungutan ilegal melalui peraturan daerah, kolusi pejabat dan pelaku usaha menjadi lebih marak. Solusinya adalah perlu ada desain pemerintahan di daerah yang serius dan harus dilaksanakan,” ujarnya.

Studi bappenas

Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan PBB untuk program Pembangunan (UNDP) melakukan Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Dalam laporannya, daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibanding daerah induk. Namun, setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonomi baru itumasih tetap berada di bawah kondisi induknya.

Sekretaris Jenderal Kemeterian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ bappenas Syahrial Loetan mengatakan, berdasarkan studi tersebut, pemekaran daerah lebih banyak negatifnya dibanding hasil potitifnya, dalam hal pelayanan publik.

“Padahal, maksud utama desentralisasi adalah mendekatkan masyarakat kepada pemerintah yang memberikan pelayanan,” ujarnya. (oin)




--- (Sumber: KOMPAS - Sabtu, 07 Februari 2009 - Hal.21) ---

Presiden Harus Segera Stop Pemekaran

Ditulis Oleh Harian KOMPAS
Monday, 09 February 2009
Jakarta – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta segera mengeluarkan peraturan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk menghentikan sementara proses pemekaran daerah yang tak terkendali

“Perlu ada peraturan untuk moratorium atau jeda guna mengevaluasi dan membuat rencana induk. Tidak cukup hanya imbauan atau pidato” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Jumat (6/2).

Peraturan itu bisa berupa revisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan daerah atau bahkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) apabila memang diperlukan.

Menurut Ketua Tim Kerja Otonomi Daerah Komisi II DPR Chozin Chumaidy, apabila Yudhoyono memang memiliki kemauan politik yang kuat untuk menstop pemekaran, sesungguhnya hal itu bisa dilakukan dengan tidak membahas rancangan undang-undang yang diajukan.



Namun, selama ini Presiden selalu mengeluarkan surat Presiden sebagai bentuk persetujuan diadakan pembahasan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irwan Gusman juga menegaskan, evaluasi pemekaran dan jeda perlu segera dilakukan. “Kalau perpu dirasa sebagai jalan keluar, mengapa tidak,” ungkapnya.

Pengajar Universitas Indonesia, Prof Eko Prasojo, mengusulkan agar lembaga Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dibuat sebagai lembaga independen yang putusannya mengikat pemerintah maupun DPR. Selama ini, rekomendasi DPOD tentang usul pemekaran hanya mengikat pemerintah. DPR tak terikat dengan rekomendasi DPOD merupakan amanat undang-undang yang juga dibuat oleh DPR.

Eko Prasojo yang juga anggota DPOD menyebutkan, persoalan pemekaran bukan hanya dominasi kepentingan politik, tetapi juga akibat inkonsistensi pusat dalam penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.

Pakar otonomi daerah, Laurel Heydir, menyebutkan, unsur subyektivitas memang lebih dominan dalam pembahasan pembentukan daerah baru. Unsur primordialisme direvitalisasi dan partai politik cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan mendulang suara.

Ketua Pusat Pengkajian Otnomi Daerah Universitas Brawijaya Ibnu Tricahyo dan pengajar mata kuliah Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Dwi Windyastuti, juga mengatakan, motif pemekaran umumnya hanya kepentingan elite politik dan tidak berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, selain menghentikan pemekaran wilayah, evaluasi atas wilayah baru yang dimekarkan tersebut juga sangat mendesak dilakukan.

Dari Makassar dilaporkan, lima dari enam Gubernur se-Sulawesi sepakat menolak segala bentuk proese pemekaran wilayah baru. Kesepakatan itu akan disampaikan kepada Presiden Yudhoyono dengan harapan Presiden segera menghentikan pembentukan daerah otonom baru.

Kesepakatan itu ditandatangani pada kamis malam di Makassar oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju, Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, dan Sekretaris Provinsi Sulawesi Tenggara (mewakili Gubernur) Zainal Abidin. Gubernur Gorontalo tidak hadir dan tidak mengutus wakilnya. (NAR/WAD/INA/SUT/DIK/MJW)




--- (Sumber: KOMPAS - Sabtu, 07 Februari 2009 - Hal.Utama) ---

Usul Pemekaran Lewat Satu Pintu, Revisi UU Pemda

Friday, 06 February 2009
Revisi UU Pemda


Jakarta - Untuk menahan laju pemekaran daerah dan menghindari konflik, perlu revisi UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) dan Peraturan Pemerintah (PP) 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Usulan pemekaran sebuah daerah harus melalui satu pintu, yakni Departemen Dalam Negeri (Depdagri).


Peneliti bidang otonomi daerah dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng mengatakan hal itu kepada SP di Jakarta, Jumat (6/2).

Saat ini, usulan pemekaran daerah melalui tiga pintu, yakni pemerintah, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Usulan lewat DPR dan DPD, sarat kepentingan politik, sehingga mengaburkan syarat-syarat objektif pemekaran daerah yang sudah diatur.



Dia mengingatkan agar Depdagri disiplin menerapkan peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan syarat-syarat pembentukan sebuah daerah otonom baru. Segala variabel dan syarat yang diatur dalam PP 78/2007 harus diuji sungguh-sungguh di Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). "Pengujian terhadap syarat-syarat itu harus menghindari praktik politik uang. Sebab, tidak jarang politik uang sangat berpengaruh terhadap lolos- tidaknya sebuah daerah baru menjadi daerah otonom," ujarnya.



Senada dengannya, pakar otonomi daerah, Ryaas Rasyid mengemukakan, pemerintah harus segera mengambil kebijakan baru, di antaranya merevisi aturan tentang pemekaran daerah. "Presiden juga bisa memerintahkan Departemen Keuangan untuk merevisi insentif terhadap daerah-daerah pemekaran, karena selama ini pemekaran identik dengan uang dan kekuasaan," ujarnya.

Ryaas menyayangkan sikap Presiden Yudhoyono yang hanya melontarkan wacana merevisi UU. Sejak tiga tahun lalu, Presiden sering berbicara mengenai revisi tersebut. "Sayangnya tidak segera ditindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah baru. Ini hanya dibiarkan sebatas wacana," ujarnya.

Sedangkan, pakar politik J Kristiadi menyatakan tidak perlu ada lagi pemekaran wilayah. "Pemekaran wilayah sudah cukup. Semua itu hanya dijadikan komoditas politik oleh para elite," katanya.

Menurutnya, yang lebih penting adalah memperjuangkan kesejahteraan rakyat, ketimbang mengusahakan pemekaran yang hanya menjadi ladang pengerukan uang para elite. Pemekaran wilayah membuat segala harta dan potensi rakyat dipolitisasi menjadi keuntungan dan kekayaan pribadi. "Tidak ada kata lain selain stop pemekaran," imbuhnya.

Mantan anggota MPR ini juga mencermati tentang segala survei yang dilakukan untuk memekarkan sebuah wilayah provinsi atau kabupaten. "Saya tidak menuduh survei-survei itu penuh dengan manipulasi, namun kalau tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi rakyat, boleh jadi survei-survei tersebut dibuat hanya untuk memenuhi kepentingan elite yang bermain di belakangnya," ujarnya.

Selektif

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan menyatakan kebijakan pemekaran daerah provinsi, kabupaten, ataupun kota pada masa depan, hendaknya dilakukan lebih selektif. Jangan menempatkan aspirasi pemekaran di atas segalanya, tetapi yang harus diutamakan adalah pemenuhan persyaratan pemekaran daerah.

"Pemenuhan syarat dan kriteria pemekaran daerah harus diutamakan. Jangan tempatkan aspirasi pemekaran menjadi segala-galanya," ujar anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) itu.

Dikatakan, verifikasi, pemenuhan aspek teknis, dan kesiapan daerah, merupakan faktor penting dalam memproses aspirasi pemekaran daerah. Konflik-konflik yang muncul terjadi karena ketidakpahaman terhadap kebijakan pemekaran daerah. Ketidakpahaman itu membuat para elite membawa massa yang kemudian melakukan kekerasan dan tindakan brutal. "Boleh saja berbeda pendapat, tapi jangan pernah menyelesaikan dengan cara anarkistis, karena sikap seperti itu tidak menolong, tetapi malah merusak," katanya.

Dari Medan dilaporkan, aktivis Blog Politik Masyarakat Sipil Sumut Benget Silitonga mendesak dilakukan moratorium pemekaran daerah, khususnya di Sumut. Moratorium itu perlu dilakukan sampai dilaksanakan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh daerah pemekaran.

"Pemerintah harus melakukan moratorium politik hingga dilaksanakan evaluasi secara menyeluruh, apakah memberi manfaat atau justru membawa mudarat bagi masyarakat lokal," katanya.

Menurutnya, penyampaian aspirasi lokal, apakah itu dalam bentuk usulan pemekaran ataupun pembentukan daerah baru, sejatinya juga harus dijauhkan dari praktik politik pemaksaan kehendak atau politik vandalistis. [EMS/M-16/151/J-11/A-21]




--- (Sumber: Suara Pembaruan - Jumat, 06Februari 2009) ---

Presiden: Pemekaran akan dievaluasi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota ada yang gagal dan berhasil sehingga akan dilakukan evaluasi.

Kepala Negara sudah mengusulkan kepada DPR untuk melakukan moratorium kebijakan pemekaran daerah karena motivasinya sudah banyak yang menyimbang dari tujuan mempercepat pembangunan dan lebih mensejahterakan masyarakat di daerah.

Menurut dia, tidak sedikit ide pemekaran hanya bertujuan unutk memenuhi kepentingan elit-elit poliitk lokal tertentu dengan berbagai motivasi antara lain politik dan ekonomi.

"[Banyak pula pemekaran] bukan untuk meningkatkan pembangunan. Dengan dimekarkannya daerah bertambah maju dan rakyat bertambah sejahtera, banyak yang bukan itu," ungkap Yudhoyono di Jakarta hari ini.

Dia meminta pemekaran harus utuh memenuhi syarat-syarat yang mendasar seperti yang diminta oleh Undang-undang. Dalam hal ini dirinya mengajak semua jajaran pemerintah pusat dan daerah, DPRD, DPR, DPD, wartawan, elit politik dan semua pihak untuk melihat proses pemekaran secara matang.

Presiden meminta elit dan politikus jangan latah dengan ide pemekaran karena bisa justru merusak kalau tidak dilakukan dengan benar. Yudhoyono menyorot insiden demo anarkis di Medan yang dinilai justru merusak demokrasi. "Bangsa Indonesia sepakat agar demokrasi harus kita biarkan berkembang, tapi anarki tidak boleh dibiarkan berkembang." (tw/Irsad Sati & Tri D. Pamenan/bisnis.com).

Pemerintah dinilai gagal atasi kemiskinan

Partai Gerindra menilai sejauh ini tidak ada keberhasilan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu dalam menekan angka kemiskinan di Tanah Air.

Sekjen DPP Partai Gerakan Indonesia Raya Ahmad Muzani mengatakan hasil kerja pemerintah sangat minim dalam menurunkan kemiskinan bila dibandingkan dengan anggaran yang dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, di mana angkanya meningkat tiga kali lipat dalam tiga tahun terakhir.

"Penurunan tingkat kemiskinan yang diklaim pemerintah diperoleh dari pengetatan garis kemiskinan yang hanya Rp182.636 perkapita per bulan," ujarnya dalam refleksi satu tahun partai itu hari ini.

Angka itu hanya naik 9,56% dari garis kemiskinan pada 2007 yang sebesar Rp166.697. Jika garis kemiskinan ditetapkan tanpa pengetatan, partai itu meyakini angka kemiskinan akan melonjak.

Gerindra juga tidak melihat keberhasilan pemerintah dalam menekan angka pengangguran. Klaim turunnya angka pengangguran, menurut Muzani, disebabkan karena besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor informal.

Partai yang mengusung capres Prabowo Subianto itu menilai penurunan harga BBM tidak dapat diklaim sebagai kesuksesan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena harga minyak di pasar internasional terus turun.

Dalam refleksi itu Gerindra menyatakan TNI harus diposisikan sebagai pilar utama dalam membangun sistem demokrasi di Indonesia. Karena itu alokasi anggaran TNI harus kembali mendapat priorotas untuk dapat memenuhi kebutuhan minimalnya. (tw/Tri D. Pamenan/bisnis.com)

DPD kecam aksi anarkis di DPRD Sumut

Selasa, 10/02/2009 12:48 WIB
Dewan Perwakilan Daerah mengecam tindakan anarkis demonstran yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Provinsi Sumut Abdul Aziz Angkat.

Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita menilai aksi ribuan demonstran di gedung DPRD Sumut pada 3 Februari lalu merupakan aksi anarkis yang mencederai makna demokrasi dan karenanya patut disesalkan.

"Aparat keamanan kurang melakukan fungsinya dalam melindungi pejabat negera yang sedang melaksanakan tugas," tegasnya dalam siaran pers yang diterima Bisnis hari ini.

Atas kejadian tersebut, Ginandjar mendesak aparat keamanan segara mengusut secara tuntas para pelaku di balik aksi anarkis tersebut. "Kami mendesak agar aparat keamanan yang bertanggungjawab pada saat peristiwa tersebut terjadi ditindak tegas."

Dia juga meminta agar aparat keamanan meningkatkan prosedur pengamanan bagi para pejabat daerah, pejabat negara, dan pejabat pu blik lainnya yang sedang melaksanakan tugas agar insiden serupa tidak terulang lagi.

"Kami mengimbau masyarakat agar dalam menyalurkan aspirasi dilakukan dengan cara yang demokratis, bukan anarkis, serta tidak mementingkan kepentingan pribadi maupun golongan," tuturnya.

Lebih jauh, Ginandjar minta masyarakat agar tetap menjaga kerukunan dan tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang akan memecah belah bangsa. (tw/Achmad Aris/bisnis.com).

Kamis, 05 Februari 2009

Uang Bergerak Lambat di Daerah

Perputaran uang di daerah, terutama dana-dana yang disalurkan pemerintah pusat ke daerah, masih lambat. Itu disebabkan sebanyak 293 daerah atau 57,45 persen dari total daerah belum menyelesaikan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2009.

Padahal, tanpa anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah pusat tidak bisa mencairkan dana perimbangan dan daerah tidak memiliki dasar hukum untuk mendanai proyek atau program apa pun. Dengan demikian, pembangunan di daerah akan sangat terhambat.

”Hingga Senin (19/1) sore, pemerintah daerah yang menyelesaikan perda APBD dan sudah dilaporkan kepada kami mencapai 247 daerah atau 48,4 persen dari total jumlah pemda yang mencapai 510, baik provinsi, kabupaten, maupun kota,” ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, Mardiasmo di Jakarta, kemarin.

Catatan Depkeu menunjukkan, 247 daerah itu terdiri atas 29 provinsi dan 218 kabupaten atau kota yang sudah membahas APBD mereka dengan DPRD. Dari 217 daerah itu hanya 65 daerah yang sudah benar-benar mengesahkan perda APBD atau sudah menjadi ketetapan hukum. Selebihnya baru selesai dibahas di DPRD, tetapi masih harus melalui tahap evaluasi di pemerintah provinsi (untuk APBD kabupaten dan kota) dan di Departemen Dalam Negeri (untuk APBD provinsi).

Setelah dievaluasi di pemerintahan lebih tinggi, APBD itu masih harus dikembalikan kepada pemda untuk direvisi, lantas disetujui DPRD. Setelah itu APBD bisa disahkan menjadi perda. Proses evaluasi tak boleh lebih dari dua pekan agar tidak ada upaya menahan-nahan APBD di pemerintah yang lebih tinggi.

Daerah yang belum menyelesaikan APBD terdiri atas 4 provinsi dan 259 kabupaten atau kota. Mereka belum membuat APBD karena belum membahasnya dengan DPRD, atau sudah dibahas, tetapi belum selesai, atau karena belum dibuat rancangan perdanya sama sekali di pihak eksekutif (pemda). Keempat provinsi itu adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

APBD Sulawesi Barat diperkirakan akan terhambat lama karena terjadi perselisihan antara pemda dan DPRD-nya. Pemprov Sulawesi Barat tengah mendekati Depkeu untuk menunjukkan bahwa proses penyusunan rancangan perda APBD mereka sudah dilakukan pemda meskipun masih dalam bentuk kebijakan umum anggaran dan plafon anggaran.

Pencairan ditangguhkan

Menurut Mardiasmo, Depkeu tak akan mencairkan dana alokasi khusus (DAK) kepada semua daerah yang belum menyelesaikan APBD mereka. Padahal, DAK tahap pertama akan dicairkan pada awal Februari 2009.

”Adapun dana alokasi umum (DAU) masih tetap akan kami cairkan karena kami yakin itu akan digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri sipil daerah. Kecuali ada daerah yang sudah sangat lambat dalam pengesahan APBD-nya, kami bisa saja menunda pencairan DAU,” ujarnya.

Daerah seharusnya sudah bisa menyusun APBD 2009 dan mengesahkannya dengan DPRD sejak November 2008. Sebab, jatah dana perimbangan dari pemerintah pusat bagi setiap daerah sudah pasti sejak Oktober 2008, atau sejak APBN 2009 disetujui DPR. Dengan pembahasan APBD yang dipercepat ke sebelum awal tahun anggaran, diharapkan semua proyek di daerah bisa berjalan mulai 1 Januari 2009.

Daerah yang menyelesaikan APBD sebelum tahun anggaran sebenarnya terus bertambah. Pada Desember 2006 jumlah daerah yang menyelesaikan APBD 2007 mencapai 25 pemda, lalu pada Desember 2007 yang menyelesaikan APBD 2008 mencapai 118 daerah, dan pada Desember 2008 yang mengesahkan APBD 2009 mencapai 133 daerah. ”Meskipun demikian masih lebih banyak daerah yang belum selesai APBD-nya, terutama daerah-daerah hasil pemekaran,” kata Mardiasmo.

Dominasi daerah

Mardiasmo menyebutkan, penyelesaian APBD 2009 sangat penting karena total dana yang berputar di seluruh APBD bisa lebih dari Rp 400 triliun per tahun. Itu terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) Rp 65 triliun-Rp 70 triliun dan dana yang ditransfer pusat ke daerah sebesar Rp 320,7 triliun, baik dalam bentuk DAK, DAU, dana bagi hasil (DBH), serta dana otonomi khusus dan penyesuaian. Semuanya masuk dalam mekanisme APBD.

Selain dana yang masuk ke mekanisme APBD, masih ada dana lain yang mengalir ke daerah. Itu adalah dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan (digunakan untuk membiayai program departemen dan lembaga nondepartemen di pusat, tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada pemda), dana di lembaga-lembaga negara vertikal (seperti Polri atau Depkeu), subsidi, hingga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

”Jika semuanya diakumulasikan, maka 65 persen dari belanja negara yang ditetapkan dalam APBN mengalir ke daerah seluruhnya. Pemerintah pusat hanya mengelola sekitar 35 persen dari belanja negara, yang disalurkan melalui anggaran kementerian dan lembaga nondepartemen. Maka, 65 persen dari belanja pemerintah bergerak di daerah,” ujar Mardiasmo.

Sebagai ilustrasi, anggaran belanja negara dalam APBN 2009 ditetapkan sekitar Rp 1.037,1 triliun. Jika 65 persennya mengalir di daerah, maka terdapat sekitar Rp 674,115 triliun yang harus dipergunakan di seluruh daerah, dan sekitar 57,96 persen di antaranya ada dalam APBD mereka.

Komunikasi politik

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan, penyebab utama lambatnya penyusunan APBD di daerah adalah tidak lancarnya komunikasi politik antara DPRD dan pemda, lalu lemahnya perencanaan daerah terutama penganggaran, serta lemahnya kualitas sumber daya manusia pemda dalam membuat perencanaan keuangan. Atas dasar itu, pemerintah pusat perlu memberikan sanksi berupa penundaan transfer dana perimbangan kepada daerah yang masih lambat menyelesaikan APBD mereka.

”Usul lain adalah membuat tahun anggaran yang berbeda untuk daerah. Tahun anggaran daerah sebaiknya dimulai pada April hingga Maret tahun setelahnya (tahun anggaran pemerintah pusat dan daerah sekarang adalah sama, yakni Januari-Desember),” ujarnya.

Meskipun dana yang mengalir di daerah sangat besar, masih terjadi penumpukan dan duplikasi proyek di beberapa daerah dan menyebabkan minimnya proyek di daerah lain, yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan. Ini terjadi terutama pada proyek-proyek pusat yang dilakukan di daerah.

Depkeu berinisiatif untuk menghimpun semua pemegang kuasa anggaran di kementerian dan lembaga nondepartemen untuk membicarakan strategi pembangunan di daerah agar tidak terjadi penumpukan dan duplikasi proyek lagi.

Hal lain yang membuat anggaran di daerah tidak termanfaatkan secara optimal adalah berlarut-larutnya proses tender. Oleh karena itu, Depkeu telah meminta kepada Departemen Dalam Negeri dan departemen teknis lain, terutama Departemen Pekerjaan Umum sebagai pemegang proyek terbesar, untuk memberikan kelonggaran pada proses tender di daerah.

”Kami minta agar proses persiapan tender sudah bisa dimulai setelah APBD selesai dibahas di DPRD sehingga tidak perlu menunggu proses evaluasi di pemerintah yang lebih tinggi. Persiapan tender juga sangat penting karena membutuhkan sepertiga dari waktu proses tender yang rata-rata mencapai 40 hari,” ujar Mardiasmo.

--- (Sumber: KOMPAS - Selasa, 20 Januari 2009 - Hal.) ---

KPK Semangati Kepala Daerah, Beri Rambu Agar APBD terserap Maksimal

Surabaya - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya tampil ramah tanpa harus kehilangan sifat lugasnya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar kemarin (28/01) di Graha Pena, Surabaya, menegaskan, pejabat negara seperti kepala daerah tidak perlu takut membelanjakan APBD untuk program pembangunan.

"Jalankan saja, tidak perlu takut. Rambu-rambunya amat-amat jelas," kata Antasari di hadapan 200 lebih peserta dialog "Menyelaraskan Kebijakan Penanganan Korupsi dan Memacu Inovasi di Daerah" yang di gelar The Jawa Pos Institute Pro-Otonomi (JPIP). Sebagian peserta adalah Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Waliota di Jawa Timur.

Antasari membeberkan bahwa tiga rambu-rambu yang harus dipatuhi dengan tertib dan disiplin oleh para Bupati atau Walikota beserta jajarannya dalam penggunaan APBD. Pertama, jangan merugikan keuangan negara. Kedua, jangan menguntungkan pribadi. Dan, ketiga, jangan menguntungkan orang lain untuk kepentingan privat.

"Kalau rambu-rambu itu dipatuhi, KPK tidak akan melakukan sesuatu tindakan apapun," tambahnya. Lagi pula, tegas Antasari, KPK tidak gegabah menjadikan pejabat negara sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Ada tahapan, yaknidimulai dari penyelidikan.

"Jika dari penyelidikan memang ada pelanggaran pidana, barulah suatu kasus ditingkatkan menjadi penyidikan dengan mengumpulkan bukti-bukti serta menemukan tersangkanya," tambahnya.

Meski KPK memberikan semangat, terkesan tak langsung melegakan kalangan pemerintah Kabupaten/Kota. Misalnya, Wakil Walikota Kota Surabaya Arief Afandi menyodorkan pengalamannya ketika dihadapkan pada regulasi yang multitafsir. "Ada dua undang-undang yang mengatur objek sama, tetapi aturan yang harus dipatuhi berbeda. Pengalaman seperti ini yang sering mencelakakan pejabat daerah karena tersandung pelanggaran hukum. Akibatnya, pemerintah Kabupaten/Kota tak mau ambil resiko. Daripada tersandung KPK atau lembaga pengawasan lain, pemerintah daerah memilih pasif. Membiarkan APBD tidak terserap," tuturnya dalam diskusi yang dihadiri Deputi Bidang Pengawasan Keuangan Daerah BPKP Djadja sukirman, Kanit Pidsus Mabes Polri Muchtar manurung, Asintel Kejati Jatim Sriyono, dan Kepala BPK Perwakilan Surabaya Zindar K. Marbun.

Antasari yang berlatar belakang jaksa itu mengaku memahami alasan yang diungkapkan sebagian pejabat. Hanya, kata dia, itu tidak bisa dijadikan pembenar untuk merealisasikan APBD. "Prioritas penindakan kami saat ini ada dua. Apakah penyerapan anggaran itu melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang," kata Antasari.

Soal adanya perbedaan aturan penggunaan anggaran, misalnya. Dia menganggap, alasan itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan, dia menengarai alasan seperti itu kerap dijakdikan "pembelaan" para pengguna anggaran.

Dia mencontohkan, kasus maraknya anggaran daerah yang ngendon di giro bank cukup lama. Temuan KPK tahun lalu saja, jumlahnyalebih dari Rp. 100 miliar. "Saya ingin tanya, bunga dari giro itu masuk ke mana? Ke kas daerah, atau ke tangan yang lain?" katanya.

Bukan hanya itu, Antasari juga mengaku sangsi ika alasan-alasan tersebut yang menyebabkab para pengguna anggaran ketakutan merealisasikan anggaran. "Sebab, saya sering berbicara dengan pimpro sebuah proyek. Mereka sebenarnya tidak takut menggunakan anggaran, tapi khawatir pendapatannya berkurang," ujarnya.

Yang terpenting, kata Antasari, masing-masing pemda tidak ragu dalam menggunakan anggaran, asalkan semua sudah sesuai dengan aturan main. Apalagi, KPK tetap akan menggunakan asas yurisprudensi dalam setiap permasalahan seputar penggunaan anggaran.

Dia mencontohkan, jika sebuah daerah mengambil anggaran untuk keperluan bencana alam dari pos lain, itu tidak masalah. "Sebab, itukan sangat penting. Tapi, jangan sampai anggaran itu ternyata disunat," katanya. (ris/mk)

--- (Sumber: INDOPOS - Kamis, 29 Januari 2009 - Hal. Utama) ---

Mendagri: 2009 Tak Ada Lagi Pemekaran

Makassar - Menteri Dalam Negeri Mardiyanto kembali menegaskan, tahun 2009 tak akan ada lagi pemekaran wilayah otonom provinsi dan kabupaten/kota. Selain karena terbatasnya anggaran pemerintah pusat untuk membiayai pemerintahan di daerah, pemekaran acapkali lebih didasari kepentingan politik di tingkat lokal semata tanpa ditopang kemampuan daerah bersangkutan.

”Tak akan ada lagi pemekaran wilayah tahun 2009. Perhatian kami fokus pada Pemilu 2009. Lagi pula, sejumlah pemekaran tidak diimbangi pertimbangan potensi daerah dan lebih banyak karena kepentingan politik di daerah,” ujar Mardiyanto di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (31/1) malam di sela-sela ramah tamah dengan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dan Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang.

Mardiyanto yang transit di Makassar sebelum kunjungan kerja ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara menegaskan, proses dan pembahasan pemekaran wilayah di tingkat pusat hendaknya diredam dari daerah. Salah satu caranya dengan menyadarkan elite politik lokal bahwa pemekaran harus disertai pertimbangan rasional tentang potensi daerah itu sendiri.

Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang menambahkan, esensi pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonom baru selalu bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan meringkas rentang kendali pemerintahan. Dalam banyak kasus, pemekaran tidak signifikan mendongkrak kesejahteraan rakyat.

Menurut catatan Kompas, pada awal tahun 2004 tercatat 32 provinsi dan 434 kabupaten/kota. Awal tahun 2009 menjadi 33 provinsi dan 489 kabupaten/kota 489. (NAR)
--- (Sumber: KOMPAS - Senin, 02 Februari 2009 - Hal.24) ---

Perda Bermasalah Masih Ada,Pungutan Pengaruhi Investasi

Jakarta - Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri masih terus disibukkan dengan pembatalan peraturan daerah dan rencana peraturan daerah tentang pungutan. Peraturan daerah dan rancangan peraturan daerah itu dinilai akan menghambat iklim investasi di daerah tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Agung Pambudi di Jakarta, Senin (2/2), munculnya peraturan daerah (perda) dan rancangan peraturan daerah (raperda) menunjukkan lemahnya sumber daya manusia di daerah, selain lemahnya pembinaan dan sosialisasi dari pusat ke daerah.

Insentif upah pungut untuk pejabat pusat atau Departemen Dalam Negeri, yang disebut sebagai dana pembinaan, terbukti tidak ada manfaatnya. ”Sehingga sulit menghindari tudingan, upah pungut itu hanya untuk tambahan penghasilan, tanpa peningkatan kinerja,” ujarnya.

Lemahnya pengawasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah juga menjadi faktor yang membuat perda dan raperda bermasalah itu dibuat. Oleh karena itu, kata Agung, pemerintah pusat harus lebih serius mengawasi dan memberikan bantuan teknis di daerah.

Menjelang berakhirnya masa tugas Tim Evaluasi Raperda dan Perda yang Menghambat Investasi, 31 Desember 2008, pada 12 Agustus 2008 tim masih mengeluarkan keputusan atas 50 perda dan keputusan kepala daerah tentang pungutan. Perda tersebut direkomendasikan batal oleh Menteri Keuangan dan kemudian dibatalkan Mendagri.

Perda atau raperda yang dibatalkan itu dinilai tumpang tindih dengan pajak yang berlaku di tingkat provinsi atau dengan pungutan lain di kabupaten dan kota, bahkan dengan pajak pusat, seperti Pajak Bumi dan Bangunan serta Pajak Pertambahan Nilai.

REKAPITULASI PERDA

PROVINSI
PROSES SETUJU BATAL
TOTAL

Nangroe Aceh D 140 132 35 265
Sumatera Utara
140 307 208 655
Sumatera Barat
178 268 110 556
Riau
69 125 67 261
Kepulauan Riau
21 20 17 58
Jambi
141 163 63 367
Sumatera Selatan
228 142 41 411
Bangka Belitung
57 64 39 160
Bengkulu
94 48 28 170
Lampung
84 152 34 270
DKI Jakarta
0 11 1 12
Jawa Barat
153 430 157 740
Banten
62 85 49 196
Jawa Tengah
173 912 154 1.239
DI Yogyakarta
39 93 51 183
Jawa Timur 125 693 244 1.062
Kalimantan Barat
40 144 79 263
Kalimantan Tengah
160 250 117 527
Kalimantan Selatan
78 200 85 363
Kalimantan Timur
177 217 84 478
Sulawesi Utara
131 70 35 236
Gorontalo
92 55 41 188
Sulawesi Tengah 145 68 53 266
Sulawesi Selatan
391 241 117 749
Sulawesi Barat
35 24 21 80
Sulawesi Tenggara 137 73 53 263
Bali
63 152 54 269
Nusa Tenggara Barat
121 158 104 383
Nusa Tenggara Timur
97 242 53 392
Maluku
4 41 35 80
Maluku Utara 43 24 50 117
Papua
31 121 93 245
Papua Barat
7 68 59 134
TOTAL
3.414 5.793 2.431 11.638
Sumber: Departemen Keuangan



Selain itu, obyek retribusi diperluas sepihak oleh pemda, obyek pungutan tidak layak dikenakan retribusi, memberlakukan pungutan sebagai sumbangan yang berlaku terus-menerus dan bersifat pajak, serta pungutan ditetapkan hanya berdasarkan surat keputusan bupati.

Menanggapi hal itu, Deputi Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan Menko Perekonomian Eddy Putra Irawadi menyatakan, harus disadari bahwa investasi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi 2009.

Faktor lain, seperti konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, dipastikan bisa tumbuh 5 persen dan 10,4 persen. ”Sementara investasi masih menunggu apa yang diinginkan pengusaha. Kebijakan terkait pungutan di daerah akan sangat memengaruhi investasi,” ujarnya. (OIN)


--- (Sumber: KOMPAS - Selasa, 03 Februari 2009 - Hal.17) ---

Keuangan Daerah Didera Banyak Masalah

Sebanyak 65 Persen Belanja Negara dalam APBN ke Daerah

Jakarta, Kompas - Akibat banyaknya masalah yang mendera keuangan daerah, pencairan dana ke sektor riil menjadi terhambat. Dari 510 pemerintah daerah, hanya 156 yang memperoleh dana alokasi khusus.

Daerah lainnya dipastikan terlambat memperoleh dana alokasi khusus (DAK). Dengan demikian, pelaksanaan proyek atau program dipastikan terhambat dan akhirnya sumbangan pemerintah daerah terhadap perekonomian menjadi sangat minim.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Jumat (30/1).

Menurut Mardiasmo, daerah yang mendapatkan DAK harus memenuhi dua syarat. Pertama, telah mengesahkan peraturan daerah (perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2009.

Kedua, menyampaikan laporan resmi tentang pelaksanaan DAK tahun 2008. Hingga Jumat petang, daerah yang sudah melaporkan penyelesaian APBD sebanyak 318 atau 66,7 persen dari total jumlah pemda.

Namun, pemda yang benar-benar telah memiliki perda APBD 2009 baru 156 daerah. Sebanyak 162 daerah lainnya masih terbatas pada penyelesaian pembahasan dengan DPRD atau masih dalam proses evaluasi di pemerintahan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, masih ada 192 pemda yang sama sekali belum melaporkan proses penyelesaian APBD 2009 mereka ke Departemen Keuangan.

”Kami akan mulai mencairkan dana alokasi khusus pada minggu pertama Februari 2009 hanya kepada daerah yang memenuhi syarat. Adapun daerah lainnya tidak akan pernah mendapatkan DAK selama kedua syarat itu belum dipenuhi,” ujar Mardiasmo.

Papua Barat

Satu-satunya provinsi yang belum menyelesaikan perda APBD 2009 adalah Papua Barat. Sebanyak 32 provinsi lainnya sudah menyelesaikan, termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam yang baru saja melaporkan penyelesaian perda APBD mereka pada Januari 2009.

Padahal, semua daerah seharusnya menyelesaikan APBD 2009 pada akhir tahun 2008 atau setelah jatah dana perimbangan bagi setiap daerah sudah jelas ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 yang disahkan DPR bulan Oktober 2008.

Pengesahan APBD yang dipercepat merupakan salah satu syarat utama percepatan penyerapan anggaran pemerintah dan realisasi pembangunan di daerah.

Dasar hukum pencairan

APBD merupakan dasar hukum pencairan anggaran yang dibutuhkan agar setiap proyek yang sudah ditender bisa langsung dilaksanakan.

Penyelesaian APBD 2009 sangat penting dilakukan karena total dana yang berputar di semua APBD bisa lebih dari Rp 400 triliun per tahun.

Itu terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD) Rp 65 triliun-Rp 70 triliun dan dana yang ditransfer pusat ke daerah sebesar Rp 320,7 triliun (total transfer ke daerah di APBN 2009), baik dalam bentuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, maupun dana otonomi khusus dan penyesuaian.

Dana itu diharapkan bisa menggerakkan perekonomian di daerah. Jika semuanya diakumulasikan, 65 persen dari belanja negara dalam APBN mengalir ke daerah.

Hal itu sudah termasuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan (digunakan untuk membiayai program departemen dan lembaga nondepartemen di pusat, tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada pemda), dana di lembaga-lembaga negara vertikal (seperti Polri atau Departemen Keuangan), subsidi, hingga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

Fakta di beberapa daerah yang dihimpun Kompas menunjukkan masih banyak masalah yang dihadapi daerah dalam menyelesaikan APBD mereka.

Di Provinsi Sulawesi Selatan, penyebab lambatnya penetapan APBD 2009 adalah karena pemda harus menunggu perhitungan final APBD 2008 dan harus menunggu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan. Selain itu, penyusunan program dan anggaran dari satuan kerja perangkat dinas (SKPD) juga tidak tuntas dengan cepat.

”Selama APBD lama belum selesai dihitung, kami belum boleh menyusun APBD baru,” tutur Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Jufri Rahman.

Di Sumatera Utara, lambannya pengesahan APBD disebabkan rendahnya kemampuan dinas teknis menyusun SKPD.

”Pada tahun 2007 dan 2008, alasan keterlambatan pengesahan APBD karena kepala daerah (wali kota dan wakil wali kota) tersangkut masalah hukum. Tetapi sekarang, setelah ada penjabat wali kota yang juga punya kewenangan sama, tetap saja APBD-nya terlambat disahkan. Penjabat wali kota harus bersikap tegas,” ujar Wakil Ketua DPRD Medan Surianda Lubis.

Ketua BPK Anwar Nasution menyebutkan, opini pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pada periode 2004-2007 memberikan gambaran yang mengecewakan.

Persentase LKPD yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau opini terbaik dari BPK semakin berkurang, yakni dari 6 persen pada tahun 2004 menjadi 4 persen pada tahun 2005.

Sebaliknya, LKPD yang mendapatkan opini terburuk BPK meningkat dari 3 persen pada tahun 2004 menjadi 18 persen pada tahun 2007.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi, mengatakan, belanja publik idealnya 60 sampai 70 persen dari nilai APBD. Dana yang dialokasikan untuk rakyat dalam APBD 2009 Kalimantan Timur, berupa belanja publik atau belanja langsung, hanya Rp 2,61 triliun atau 52 persen dari Rp 5,11 triliun. (OIN/BRO/BIL/CAS/REN/ RWN/YOP/ART)

--- (Sumber: KOMPAS - Senin, 02 Februari 2009 - Hal.Utama) ---

Susahnya Belanjakan Anggaran

Kekhawatiran krisis finansial global akan berdampak lebih buruk dari yang diperkirakan tampaknya mulai menjadi kenyataan.

Dana Moneter Internasional (IMF) pun merevisi pertumbuhan ekonomi dunia, hanya 0,5 persen. Perekonomian Amerika Serikat masih meraba-raba, apakah paket stimulus yang diusulkan Presiden Barack Obama sesuai dengan sasaran.

Beberapa analis ekonomi dunia yang semula yakin pertumbuhan ekonomi China akan terpangkas hanya sampai 8 persen mulai bicara angka yang lebih rendah, yaitu 5 persen.

Adapun Indonesia, kalau sebelumnya target pertumbuhan 5 persen dianggap moderat, kini pemerintah harus berusaha keras agar target 5 persen tercapai, dengan persyaratan ketat.

Belum ada resep jitu untuk segera mengakhiri krisis sekaligus mengembalikan pertumbuhan ekonomi pada pola normal. Dari pertemuan ekonomi dunia di Davos, tak banyak muncul optimisme. Salah satu pernyataan bagaimana menghadapi krisis terpaku pada pendekatan standar, yaitu mempertahankan rumah tangga untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

Pernyataan itu tidak asing buat perekonomian Indonesia yang selama ini bergantung pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga di samping ekspor. Setelah ekspor melemah, konsumsi rumah tangga menjadi harapan pertumbuhan ekonomi.

Ketika swasta dan korporasi tidak dapat diharapkan, pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga menjadi komponen penting untuk menahan laju perlambatan perekonomian.

Ada dua topik penting terkait upaya mengoptimalkan pengeluaran negara, yaitu penyerapan anggaran dan peruntukannya. Sebagian besar anggaran baru terserap menjelang akhir tahun anggaran sehingga target penggunaan dan kualitas peruntukan anggaran dikorbankan.

Keseimbangan antara good governance dalam pengelolaan keuangan negara dan target pemakaian anggaran harus diselesaikan. Ini agar APBN 2009 bisa lebih berkualitas dalam penyerapannya serta memenuhi target yang diharapkan, terutama mempertahankan daya beli masyarakat, mempercepat proyek yang berpotensi menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan output perekonomian.

Penyerapan APBD

Adapun penyebab lambatnya penyerapan APBD lebih karena lambatnya penetapan peraturan daerah (perda) APBD. Tanpa perda APBD, pemerintah daerah hanya dapat melakukan belanja gaji untuk aparatnya. Tidak bisa dilakukan yang lainnya.

Pada tahun anggaran 2009, mayoritas pemerintah kabupaten dan kota belum menetapkan perda APBD-nya tepat waktu. Padahal, pemerintah pusat memberi sanksi penangguhan transfer dana alokasi khusus triwulan I-2009 atas keterlambatan itu.

Buruknya komunikasi politik antara pemda dan DPRD menjadi penyebab keterlambatan penetapan itu, selain penyebab teknis, seperti pemekaran daerah.

Di pusat, pemerintah dan DPR mempunyai komitmen yang kuat menyelesaikan proses APBN tepat waktu. Komitmen seperti itu belum membudaya di banyak daerah. Sering kali antara agenda pemda dan DPRD berbeda.

Kepedulian pemda dan DPRD terhadap dampak yang ditimbulkan apabila perda APBD ditetapkan terlambat sangat lemah.

Setelah APBD ditetapkan, bukan berarti masalah selesai. Belum adanya titik keseimbangan good governance keuangan negara dengan target penggunaan anggaran tetap jadi ganjalan yang memperlambat pemakaian APBD tahun berjalan.

Akibatnya, dana APBD menumpuk di rekening bank pemda, yang selanjutnya disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tidak mengherankan kalau jumlah uang bank daerah di SBI termasuk tertinggi dibandingkan dengan kategori bank lainnya.

Bank daerah tentu memberikan penghasilan bunga kepada pemda. Ini akan tercatat dalam pendapatan asli daerah (PAD). Mengingat PAD terkait dengan bagian belanja pemda dan DPRD, tidak mengherankan bila kedua pihak tidak khawatir APBD-nya tidak terpakai dan hanya tersimpan di bank.

Proses perencanaan di daerah juga masih lemah sehingga program atau proyek tidak bisa diselesaikan dalam satu tahun anggaran. Dengan sistem anggaran tahunan seperti sekarang, kelanjutan proyek terganggu karena harus menunggu pengesahan anggaran tahun berikutnya.

Dalam eksekusi proyek di daerah juga kerap muncul kebingungan terkait lemahnya koordinasi. Sering terjadi rebutan kewenangan antara beberapa instansi pusat dan pemda. Ketidakjelasan ini harus dituntaskan.

Dengan berbagai hambatan itu, alhasil surplus APBD seluruh Indonesia luar biasa besar. Ini disayangkan karena dana tersebut tidak menjadi kegiatan yang bermanfaat buat masyarakat, hanya jadi catatan surplus untuk APBD tahun berikutnya.

Perlu terobosan untuk mempercepat dan mengefektifkan penyerapan APBD sehingga tercipta manajemen keuangan daerah yang efisien, efektif, dan berdasarkan good governance.

Beberapa usulan yang bisa jadi pertimbangan, antara lain, membuat tahun anggaran yang berbeda antara pusat dan daerah, yakni daerah mempunyai tahun anggaran 1 April-31 Maret tahun berikutnya. Menerapkan penganggaran tahun jamak sehingga pengerjaan proyek berjangka menengah atau panjang tidak terganggu pergantian tahun anggaran. Menjadikan surplus APBD tahunan sebagai dana cadangan daerah tidak otomatis menjadi bagian dari APBD tahun berikutnya. Penggunaan dana cadangan harus dengan persetujuan DPRD.(Oleh: Bambang PS Brodjonegoro, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ).



--- (Sumber: KOMPAS - Senin, 02 Februari 2009 - Hal.Utama) ---

Selamatkan Uang di Daerah

Perilaku bagi-bagi upeti kepada pejabat pemerintah pusat sampai sekarang masih terjadi sehingga makna otonomi daerah yang menjadikan rakyat sebagai tujuan akhir penggunaan setiap rupiah yang diterima di daerah telah melenceng.

Hal itu terbukti dengan ditangkapnya Kepala Bagian Keuangan di Direktorat Jenderal Pembinaan, Pelatihan, dan Produktivitas; Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Citraland, Jakarta, Kamis (29/1).

Penangkapan itu seakan menjadi bukti nyata temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang kebobrokan hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Kini, KPK masih mengejar pejabat daerah yang memberikan dana Rp 100 juta dalam 17 amplop itu. Namun, pada tahap awal, peristiwa ini mengindikasikan adanya hubungan antara pemberian amplop-amplop upeti tersebut terkait dengan acara yang digelar Depnakertrans, yakni rapat koordinasi yang dihadiri daerah-daerah penerima dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan departemen ini.

Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan departemen adalah satu dari sekitar lima sumber keuangan yang dialirkan dari pemerintah pusat ke daerah.

Dana ini digunakan untuk membiayai program departemen dan lembaga nondepartemen di pusat, tetapi pelaksanaannya diserahkan ke pemda sehingga belum tentu semua daerah akan mendapatkan aliran dana ini.

Penyalurannya benar-benar diserahkan kepada kemauan departemen bersangkutan. Mungkin untuk memenangi ”hati” departemen itulah, maka daerah berlomba untuk memperoleh perhatian, salah satunya dengan cara menyerahkan upeti agar program yang didanai dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan mengalir ke daerah tersebut.

Pada 22 Agustus 2008, Ketua BPK Anwar Nasution sudah mengkhawatirkan perilaku bagi-bagi upeti ini yang menjadi salah satu temuan paling menonjol dalam hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2007.

BPK melaporkan masih maraknya bantuan keuangan pemda kepada aparat pusat, terutama aparat keamanan, aparat ketertiban umum, dan penegak hukum.

Padahal, seharusnya, seluruh pembelanjaan instansi pusat hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bantuan keuangan kepada aparat pusat ini mengikuti tradisi rezim Orde Baru.

”Bantuan” itu untuk memberikan tambahan penghasilan berupa honor dan tunjangan jabatan muspida, dan pemberian hadiah serta kenang-kenangan setelah mengakhiri tugasnya di daerah.

Bantuan itu juga kerap diberikan dengan nama beragam, mulai biaya operasional, biaya koordinasi, biaya komunikasi, perjalanan dinas, kunjungan pejabat, maupun biaya pendidikan dinas pejabat dari berbagai instansi vertikal.

”Bahkan, pembangunan sarana dan prasarana instansi vertikal juga sering dimintakan kepada pemda. Padahal, dananya sudah disediakan dalam APBN. Bantuan seperti ini masuk dalam pengertian gratifikasi,” tutur Anwar.

Enam bidang tugas

Kondisi itu tentu mengkhawatirkan karena dalam era otonomi daerah sudah ada pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah menyebutkan, ada enam bidang tugas pemerintahan yang tetap menjadi monopoli pusat.

Pertama, politik luar negeri. Kedua, pertahanan. Ketiga, keamanan. Keempat, yustisi. Kelima, moneter dan fiskal nasional. Keenam, agama.

Oleh karena itu, pejabat pusat yang masih bersifat hierarkis di seluruh Indonesia hanyalah pejabat dari Departemen Luar Negeri, TNI/Polri, penegak hukum, Departemen Agama, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia.

Tugas-tugas pemerintahan lainnya harus dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Tugas-tugas itu meliputi pengaturan dan perundang-undangan, penanganan sumber daya alam dan masalah lingkungan, pendidikan, kesehatan, pertanian dan irigasi, industri pengolahan, serta transportasi.

Untuk tugas-tugas inilah Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diadakan pada setiap kementerian dan lembaga nondepartemen.

Pada tahun 2009, sebanyak 65 persen dari belanja negara dalam APBN 2009 (Rp 1.037,1 triliun) akan mengalir ke daerah. Itu sudah termasuk Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dari departemen, dana di lembaga-lembaga negara vertikal (seperti Polri atau Departemen Keuangan), subsidi (baik subsidi bahan bakar minyak, listrik, pupuk, maupun bibit), hingga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Dengan demikian, ada dana sekitar Rp 674,12 triliun yang harus dikelola oleh 33 provinsi dan 477 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

Dari dana tersebut, sekitar Rp 342,243 triliun langsung masuk ke APBD di setiap daerah dan berada langsung dalam kontrol pemda. Itu tidak termasuk pendapatan asli daerah (PAD) yang belum diperhitungkan. Berdasarkan catatan Depkeu, total PAD di seluruh Indonesia bisa mencapai Rp 60 triliun-Rp 75 triliun setiap tahunnya.

Dengan demikian, aliran dana dari pusat ke daerah sudah melampaui amanat Pasal 7 UU No 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU ini mewajibkan pemerintah pusat mentransferkan setidaknya seperempat dari penerimaan dalam negerinya ke daerah.

Pada tahun 2008, belanja APBN ke daerah sudah melampaui 41 persen, yang terdiri atas belanja pusat di daerah 11,8 persen dan transfer ke daerah senilai 29,5 persen dari seluruh pengeluaran APBN.

Machfud Siddik, pemerhati perimbangan keuangan sekaligus mantan Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Depkeu, menyatakan dalam sebuah tulisannya, luasnya obyek pemeriksaan keuangan daerah tidak diimbangi oleh kemampuan BPK dalam mengaudit karena BPK tidak memiliki sumber daya yang mencukupi untuk melakukan audit secara langsung pada seluruh daerah sekaligus.

Untuk memperkuat pengawasan penggunaan keuangan di daerah, DPRD perlu mengajukan kandidat auditor eksternal. Kandidat auditor ini bisa diambil dari organisasi audit yang disetujui dan berkualifikasi, termasuk auditor BPK sendiri. Kandidat auditor eksternal yang akan memeriksa keuangan daerah ini harus disetujui oleh BPK.

Penguatan pengawas keuangan daerah diperlukan karena komunitas lokal dan investor, serta kreditor yang membiayai pembangunan di daerah harus dilindungi dari pemda yang tidak mampu berfungsi sesuai kebutuhan akibat mismanajemen keuangan yang kasar.

Tidak hanya itu, pemerintah pusat sebaiknya diberi kewenangan untuk menunjuk seorang komisioner yang bisa mengambil alih dan menyelamatkan keuangan pemda dalam situasi tertentu.

Sentralisasi keuangan

Agus Muhammad, mantan Inspektur Jenderal Depkeu, menyatakan, pengalihan dana dalam jumlah besar ke daerah membutuhkan peninjauan ulang pada mekanisme dan kelembagaan pengawasan keuangan di Indonesia.

Sentralisasi pengawasan keuangan yang sekarang ada menjadi tidak efektif karena cakupan geografis Indonesia yang sangat luas. Ini rentan terhadap kemungkinan duplikasi dan terhindarnya obyek pemeriksaan dari jangkauan liputan aparat pengawasan.

Dengan desentralisasi pemeriksaan, peran lembaga pengawasan, baik eksternal (BPK) maupun internal (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP, maupun Badan Pengawas Daerah/Bawasda), akan memiliki wilayah dan jangkauan pemeriksaan tertentu dan jelas.

Itu bisa menekan tingkat duplikasi pemeriksaan seminimal mungkin. Dalam desentralisasi pemeriksaan, peran DPRD menjadi lebih penting dalam pengawasan keuangan daerah karena perkembangan pengawasannya menjadi terus-menerus diperbarui.

Desentralisasi pengawasan keuangan daerah menjadi salah satu amanat UU No 17/2003 soal keuangan negara yang belum diwujudkan.

Dalam UU ini, definisi keuangan negara tidak terbatas hanya pada aliran dan penggunaan dana dalam APBN, tetapi juga meliputi APBD, kekayaan negara atau daerah yang dikelola sendiri, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, serta kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. (Orin Basuki)
--- (Sumber: KOMPAS - Senin, 02 Februari 2009 - Hal.21) ---

Akankah Sumatera Utara Terbagi?

Demonstrasi terkait isu pemekaran Provinsi Sumatera Utara bukan kali ini saja terjadi. Selasa, 24 April 2008, ribuan pengunjuk rasa pendukung pembentukan provinsi Tapanuli juga demo. Mereka bahkan masuk ke ruang sidang pleno dan ruang Ketua DPRD Wahab Dalimunthe.

Meski tak ada pemukulan, Wahab hari itu dipaksa menandatangani surat rekomendasi pembentukan provinsi Tapanuli. Awalnya, Wahab meminta waktu sehari. Namun, massa yang tak sabar, justru merangsek masuk ke ruang kerjanya.

Gagasan pemekaran provinsi di Sumatera Utara (Sumut), menurut pengamat politik Universitas Sumut, Ridwan Rangkuti, tidak hanya datang sekali. Sebelumnya, beberapa kabupaten di pantai timur juga menggagas pembentukan provinsi Sumatera Timur. ”Upaya pemekaran terus berlanjut akibat ketidaktegasan pemerintah pusat menanggapi isu ini,” katanya.

Ridwan mencatat, setidaknya ada lima usulan pemekaran provinsi Sumut. Selain Tapanuli dan Sumatera Timur, juga Nias, Sumatera Tenggara, dan Asahan Labuhan Batu. Ini belum termasuk pemekaran kabupaten/kota. Alasannya sama, ketidakadilan kue pembangunan.

Awalnya, isu pembentukan provinsi Tapanuli merupakan tema kampanye Partai Golkar Sumut pada Pemilu 2004. Dengan menggunakan isu tersebut, perolehan suara Golkar tahun itu memang meningkat.

Para elite pendukung isu tersebut terus memanfaatkannya bagi kepentingan politik menjelang pemilihan gubernur 2008. Lagi-lagi, beberapa calon gubernur Sumut, seperti Syamsul Arifin, mengembuskan isu tersebut.

Bahkan, diduga ada kesepakatan tidak tertulis antara Syamsul yang terpilih menjadi Gubernur Sumut dan pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli Utara, untuk mempercepat proses pembentukannya. Wajar jika usai pemilihan gubernur, isu tersebut meredup, salah satunya karena ”jaminan” Syamsul.

”Recall”

Isu pembentukan provinsi Tapanuli kembali bergulir seiring dengan deklarasi pembentukan provinsi Sumatera Tenggara dan Nias. Di sisi lain, salah seorang pendukung pembentukan provinsi Tapanuli dari Fraksi Partai Golkar, Chandra Panggabean, kena recall (dari keanggotaannya di DPRD Sumut). Kondisi ini makin menyulitkan akses pendukung pemekaran untuk mendapat rekomendasi dari DPRD Sumut.

Menurut Ridwan, upaya pemekaran bukan solusi bagi upaya pemerataan kue pembangunan. Apalagi, ide pemekaran tidak selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Itu hanya ide segelintir elite,” ujarnya.

Ridwan melihat, pembenahan daerah pemilihan pada Pemilu 2009 bisa menjadi salah satu cara. ”Kalau sistem dapil (daerah pemilihan) itu tetap dipakai, wakil dari daerah di luar Kota Medan dan pesisir timur di DPRD tetap sedikit. Akibatnya, mereka tidak akan mendapat tambahan kue karena selalu kalah suara,” ujarnya.
Akankah Sumatera Utara terbagi? (MBA/Harian Kompas)

Penahanan DAK untuk Daerah Tidak Tepat

Wednesday, 04 February 2009
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo
mengungkapkan dari 510 pemerintah daerah (pemda), hanya 156 pemda yang memperoleh dana alokasi khusus (DAK). Sisanya dipastikan terlambat bahkan bakal tidak memperoleh DAK. Penundaan pencairan DAK ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemda belum mengesahkan peraturan daerah (perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2009. Kedua, pemda belum menyampaikan laporan resmi tentang pelaksanaan DAK tahun 2008.
Menurut peneliti otonomi daerah Robert Endi Jaweng, penundaan dan penahanan DAK untuk pemda ini bukan solusi yang tepat di tengah lesunya investor dan rendahnya tingkat konsumsi masyarakat. Karena itu, satu-satunya faktor yang diharapkan dapat menggerakan ekonomi daerah saat ini adalah menggunakan instrumen fiskal pemerintah daerah. Berikut, perbincangan Very Herdiman dengan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng:

Apa penyebab keterlambatan pemda tersebut?
Kalau kita lihat di daerah, proses perencanaan anggaran sudah dimulai sejak bulan Juni/Juli. Targetnya sudah selesai pada Novemebr atau Desember, karena Oktober APBN sudah selesai. Dan biasanya alokasi dana untuk daerah sudah diketahui sejak akhir Oktober. Jadi November/Desember, daerah sudah melakukan finalisasi APBD sehingga sebelum masuk anggaran tahun berikutnya, mereka sudah punya APBD. Tapi itu standar normatif yang sering tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Ketidaksesuaian ini terjadi karena, pertama, perencanaan anggaran membutuhkan kapasitas para perencana anggaran yang memadai. Ini yang kita tidak punya. Tidak cukup banyak daerah yang mempunyai staf di bagian anggaran yang bisa menyusun anggaran seperti halnya di pusat. Itu yang sering diabaikan di daerah.

Kedua, yang sering dikeluhkan Pemda diantaranya adalah gerakan pemda sering tidak diimbangi dukungan kuat dari pihak legislatif. Hal ini terjadi karena legislatifnya sangat kritis atau juga karena legislatifnya yang latah, karena punya kepentingan politik untuk mengulur-ulur waktu proses pembahasan. Jadi, karena penyebabnya ada dua: kapasitas perencana anggaran di daerah, dan dukungan legislatif yang tidak kuat. Karena itu penyelesainnya tidak tepat waktu.

Padahal penyerapan dana untuk pemda itu diharapkan berlansung cepat?
Ya, kita berharap di tengah lesunya investasi dan belanja konsumsi masyarakat yang menurun, instrumen fiskal pemerintah daerah ini seharusnya digenjot. Tapi problemnya adalah kapasitas daya serap daerah yang seperti ini sehingga susah juga terlalu berharap pada instrumen fiskal pemerintah daerah. Akhirnya semuanya akan terbengkelai. Seperti dana untuk pelayanan publik, tender proyek yang sebenarnya sudah mulai dipreoses pada Oktober tahun anggaran lama juga bahkan tidak bisa berlanjut. Jadi ini problemnya bisa ke mana-mana dan serius.

Bagaimana soal kualitas penyerapan anggaran oleh pemda selama ini?
Kalau kita melihat sisi penyerapan anggaran saya melihatnya pada proporsi alokasi antara belanja untuk pembangunan (belanja modal) dan belanja rutin (belanja barang). Saya kira, rata-rata masih 30 persen untuk belanja modal dan 70 persen untuk belanja barang. Bayangkan daya serapnya sudah kecil, kemudian proporsi untuk masyarakat juga sangat kecil. Dua hal inilah yang membuat total alokasi untuk masyarakat menjadi sangat sedikit. Jadi, kalau seperti ini, masyarakat tidak bisa berharap banyak terhadap instrumen fiskal pemerintah daerah. Padahal, penyerapan dana pemda dapat menjadi salah satu solusi untuk menghadapi krisis yang sedang terjadi?

Dalam situasi krisis, kita berharap banyak pada instrumen fiskal pemda dapat menjadi andalan. Karena sekitar 60-65 persen total anggaran kita sudah bergerak ke daerah. Karena itu memang kita berharap banyak pada pemda. Kita juga berharap pemerintah pusat untuk lebih kencang pengawasannya. Jangan ketika menjelang tenggat waktu baru pemerintah pusat berteriak. Karena itu peringatan harus sudah disampaikan beberapa bulan sebelumnya sehingga daerah mulai terpacu. Jangan seperti sekarang ini pemerintah pusat akhirnya menyalahkan daerah. Jangan lupa, fungsi fasilitasi kebijakan masih ada di pusat, terutama di Depdagri dan Depkeu. Mereka tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja, tetapi masih punya tanggung jawab untuk memperkuat kapasitas penyusunan anggaran yang banyak membutuhkan asistensi pusat.

Pemerintah akan menahan alokasi DAK bagi pemda. Ini solusi tepat?
Untuk jangka pendek, mungkin hal itu menjadi terapi kejut bagi pemda. Tapi saya bayangkan bagaimana posisi masyarakat. Artinya, masyarakat juga nanti tidak akan mendapatkan akses pendanaan yang kuat karena sudah ditahan pusat. Ini harus dipikirkan. Pusat jangan hanya menggunakan instrumen hukum dalam hubungannya dengan pemerintah daerah. Tetapi juga tolong menempatkan kepentingan masyarakat pada konteks yang jauh lebih besar. Saya kira masih ada solusi lain tanpa harus menahan alokasi anggaran yang memang merupakan hak masyarakat.

Solusi lainnya itu seperti apa?
Katakan kalau tahun ini mereka tidak memberikan laporan keuangannya mereka diberi peringatan. Tapi setelah itu bisa diberi hukuman. Selain itu, perlu juga dipikirkan waktunya karena dana itu kan hak masyarakat. Jadi, butuh banyak waktu untuk melakukan tetapi kejut seperti ini yang implikasinya bagi masyarakat cukup serius. Kita jangan berpkir jangka pendek, terutama untuk situasi krisis sekarang ini, terutama ketika instrumen fiskal menjadi sandaran utama. Rasanya momentumnya tidak tepat jika penghukuman seperti ini diterapkan. Mungkin perlu diterapkan solusi lain.

--- (Sumber: Jurnal Nasional - Rabu, 04 Februari 2009) ---

Protap Tak Hanya Senjang Pantai Timur dan Barat

Thursday, 05 February 2009
Awalnya adalah kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok, antara wilayah eks Karesidenan Tapanuli dan eks Karesidenan Sumatera Timur.

Tapanuli, yang daerahnya membentang dari Tapanuli Tengah hingga ke Mandailing Natal di pesisir Pantai Barat Sumatera Utara saat ini, ditambah daerah-daerah yang memunggungi Bukit Barisan sepanjang Dairi hingga Tapanuli Utara menjadi kantong kemiskinan.

Sebaliknya, eks Karesidenan Sumatera Timur adalah pusat perekonomian sejak masih zaman Hindia Belanda, dengan Medan sebagai metropolisnya. Wilayahnya membentang dari Langkat hingga Labuhan Batu di Pantai Timur Sumatera Utara (Sumut). Daerah ini dulunya tambang emas bagi Belanda, penghasil komoditas perkebunan yang dipasarkan ke berbagai penjuru dunia seperti tembakau, karet dan kelapa sawit.

Meski wilayah Pantai Barat lebih dulu tersentuh peradaban, terutama dengan masuknya Islam pertama kali di Pulau Sumatera lewat Barus (Tapanuli Tengah), tetapi dalam perkembangannya, pesisir Pantai Timur Sumut jauh lebih maju. Berkembangnya beberapa Kesultanan Melayu di Pantai Timur, dan masuknya Belanda yang bekerja sama dengan aristokrasi Melayu dengan membuka perkebunan, membuat wilayah ini melesat meninggalkan daerah-daerah di Pantai Barat.

Karesidenan Tapanuli terbentuk setelah Belanda memisahkan Distrik Batak dari bagian Hoofd Afdeling Minangkabau. Distrik Batak ini membentang dari Tapanuli Tengah sekarang ini hingga Mandailing Natal. Distrik Batak ini yang belakangan lebih dikenal sebagai wilayah Tapanuli, dari asal kata Tapian (pemandian) Na (yang) Uli (indah).

Salah seorang anggota Komite Pemrakarsa Pembentukan Provinsi Tapanuli yang juga Guru Besar Antropologi Universitas Sumatera Utara (USU) Profesor Dr Robert Sibarani mengatakan, awal ide pembentukan Provinsi Tapanuli sebenarnya adalah keprihatinan melihat wilayah Tapanuli yang jauh tertinggal secara ekonomi dibanding wilayah di pesisir Pantai Timur Sumut. Wilayah Tapanuli merupakan kantong kemiskinan di Sumut.

”Perekonomiannya sangat tergantung pertanian, sementara infrastruktur tak pernah mendukung. Irigasi banyak yang rusak sehingga praktis petani bergantung pada kemurahan alam. Petani menjadi kelompok paling miskin, sementara mereka adalah penduduk terbanyak di daerah ini,” ujar Robert.

Jarak yang jauh dengan pusat-pusat perekonomian di Sumut membuat orang-orang Tapanuli baik sengaja maupun tidak menurut Robert menjadi termarginalkan.

Pemprov Sumut merespon kesenjangan wilayah ini dengan konsep pemerataan pembangunan. Era Gubernur almarhum Raja Inal Siregar misalnya, dengan konsep Marsipature Hutanabe (ayo membangun kampung halaman). Era Gubernur almarhum Tengku Rizal Nurdin, pola pembangunan lebih memusatkan pada pengembangan kawasan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumut Riadil Akhir Lubis menuturkan, sejak 1997 ada lima kawasan strategis yang dikembangkan, yakni Nias, Tapanuli dan sekitarnya, Rantau Prapat dan sekitarnya, Medan dan sekitarnya serta Danau Toba dan sekitarnya.

Konsentrasi pengembangan kawasan strategis ini, menurut Riadil mampu mengangkat ketertinggalan wilayah Pantai Barat. Indikator ekonomi menunjukkan wilayah Tapanuli saat ini tidak lebih tertinggal dibanding daerah pesisir Pantai Timur. Produk Domestik Bruto (PDRB) Perkapita daerah-daerah yang mengusulkan pembentukan Provinsi Tapanuli sebenarnya juga tak berbeda jauh dengan tetangga mereka di pesisir Pantai Timur Sumut. PDRB Perkapita Tapanuli Utara pada tahun 2006 sebesar Rp 9.430.734, Toba Samosir Rp 12.311.684, Humbang Hasundutan Rp 9.802.815, Samosir Rp 9.156.947. Bandingkan PDRB perkapita daerah-daerah tersebut dengan beberapa kabupaten yang berada di pesisir Pantai Timur seperti Langkat (Rp 9.448.626), Deli Serdang (13.311.684), Serdang Bedagai (Rp 9.385.791), Labuhan Batu (Rp 12.727.925).

Hal ini menurut pengamat politik USU Ridwan Rangkuti, membuat pemekaran bukan jawaban tepat atas persoalan kesenjangan ekonomi antara pesisir Pantai Timur dan Barat.

Di sisi lain, ide awal menghapus kesenjangan kawasan justru makin tak terdengar. Robert mensinyalir, bahwa ide membentuk Provinsi Tapanuli saat ini lebih kental nuansa politisnya. Sinyalemen ini ada benarnya, jika melihat perpecahan di antara daerah yang mengusulkani. Provinsi Tapanuli secara resmi diusulkan oleh tujuh daerah, yakni Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir dan Nias Selatan.

Dalam perjalanannya, ketujuh daerah ini tak satu kata. Bulan September 2006, DPRD Sibolga mencabut dukungan. Dikuti DPRD Tapanuli Tengah pada November 2008. Tapanuli Tengah malah mengusulkan pembentukan Provinsi Tapanuli bagian Barat dengan menyertakan Sibolga dan Nias.

Keretakan ini dipicu, salah satunya oleh soal penetapan ibu kota provinsi. Sibolga mengusulkan sebagai ibu kota, karena faktor historis sebagai ibu kota Karesidenan Tapanuli. Tapanuli Tengah mengusulkan Pandan sementara, daerah pemekaran Tapanuli Utara mengusulkan Siborongborong di Toba Samosir.

--- (Sumber: KOMPAS - Kamis, 05 Februari 2009 - Hal. Utama) ---

Stop Pemekaran Daerah Baru

Jakarta - Aksi kekerasan di Sumatera Utara yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat merupakan momentum untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru.

Moratorium atau penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan pemekaran daerah yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Demikian disampaikan pakar politik lokal dan otonomi daerah Pratikno dan Purwo Santoso dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mereka dihubungi secara terpisah, Kamis (5/2).

Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Rabu, disimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Mardiyanto menyebutkan, kerangka pemekaran itu masih dipersiapkan. Sampai dengan 2025, jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Menurut Pratikno, sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru. ”Setelah pemilihan legislatif dan presiden, jangan dibuka lagi kesempatan untuk mengajukan proposal pemekaran daerah,” kata Dekan Fisipol UGM itu. Jika hanya ditunda, masyarakat di daerah akan melihat ada peluang untuk memperjuangkan pemekaran daerah.

”Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang. Hadangan selalu jebol seperti pengalaman selama ini,” katanya.

Menurut Purwo, dengan kejadian di Medan itu, DPR dan pemerintah harus berani mengambil keputusan politik menetapkan moratorium. Dia menilai tingginya konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat dan luasnya partisipasi masyarakat terhadap pemekaran daerah. Hal ini terlihat dari persiapan dan uji kelayakan yang lebih banyak diserahkan kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan ini pun menjadi sangat mudah dimanfaatkan dan dimanipulasi.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. ”Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum dari pusat akan langsung mengalir,” kata Purwo menerangkan.



Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan.

Menurut Robert, kriteria pemekaran dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi.

”Semua kriteria yang sudah terukur jelas menjadi kabur ketika prosesnya menjadi sangat politis. Dalam nuansa politik yang kental itu, uang menjadi faktor dominan,” kata Robert menjelaskan.

Syarif menambahkan, kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan.

Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Menurut Syarif, moratorium pemekaran seperti yang diinginkan pemerintah tidak akan mampu mencegah pemekaran daerah. Keinginan pemerintah itu sudah sering diungkapkan, tetapi tidak berjalan karena perbedaan kepentingan antara pemerintah dan DPR.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, stabilitas keamanan dan ketertiban yang pulih dalam lima tahun terakhir adalah hasil kerja pemerintah yang harus dijaga, dipelihara, dan dipertahankan. Presiden tidak ingin kondisi itu dirusak kembali oleh tindakan anarki seperti terjadi di Medan.

”Kita harus siap hidup di alam demokrasi. Tetapi kalau sudah seperti itu (Medan), menangis dan menyesal kita nanti karena kembali pada era gelap, dipandang rendah bangsa-bangsa lain, dan kita sendiri hidup merasa tidak tenteram,” ujar Presiden saat meninjau pabrik di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.

Ketua Umum DPP Partai Golkar, yang juga Wakil Presiden RI, M Jusuf Kalla dari Washington, Amerika Serikat, memerintahkan pengurus DPP Partai Golkar segera berangkat ke Medan untuk mencari tahu penyebab dan memantau pemeriksaan kasus tewasnya Ketua DPRD Sumut Abdul Azis.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaidy menyatakan, kasus meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat harus menjadi bahan introspeksi bagi kalangan DPR. Kerap kali sebuah RUU pembentukan daerah otonom baru diusulkan sebagai inisiatif DPR, padahal persyaratan administrasinya belum lengkap terpenuhi.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Eka Santosa (Fraksi PDI-P, Jawa Barat IX) berpandangan, insiden meninggalnya Azis Angkat tidak akan berpengaruh terhadap proses pembahasan RUU provinsi pemekaran Sumatera Utara tersebut.

Hingga Rabu, polisi menambah saksi baru dalam penyidikan kasus demonstrasi rusuh di Kantor DPRD Sumatera Utara. Ketiga saksi itu berasal dari unsur mahasiswa yang dijemput di tempat kos dan tempat tinggal mereka. Mereka adalah Ganda Hutasoit (20), Mikail Sihite (20), dan Sitorus. Semuanya adalah mahasiswa Universitas Sisimangaraja Medan. (IRE/SIG/INU/HAR/DIK/NDY)
--- (Sumber: KOMPAS - Jumat, 06 Februari 2009 - Hal. Utama) ---