Kamis, 05 Februari 2009

Selamatkan Uang di Daerah

Perilaku bagi-bagi upeti kepada pejabat pemerintah pusat sampai sekarang masih terjadi sehingga makna otonomi daerah yang menjadikan rakyat sebagai tujuan akhir penggunaan setiap rupiah yang diterima di daerah telah melenceng.

Hal itu terbukti dengan ditangkapnya Kepala Bagian Keuangan di Direktorat Jenderal Pembinaan, Pelatihan, dan Produktivitas; Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Citraland, Jakarta, Kamis (29/1).

Penangkapan itu seakan menjadi bukti nyata temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang kebobrokan hubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Kini, KPK masih mengejar pejabat daerah yang memberikan dana Rp 100 juta dalam 17 amplop itu. Namun, pada tahap awal, peristiwa ini mengindikasikan adanya hubungan antara pemberian amplop-amplop upeti tersebut terkait dengan acara yang digelar Depnakertrans, yakni rapat koordinasi yang dihadiri daerah-daerah penerima dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan departemen ini.

Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan departemen adalah satu dari sekitar lima sumber keuangan yang dialirkan dari pemerintah pusat ke daerah.

Dana ini digunakan untuk membiayai program departemen dan lembaga nondepartemen di pusat, tetapi pelaksanaannya diserahkan ke pemda sehingga belum tentu semua daerah akan mendapatkan aliran dana ini.

Penyalurannya benar-benar diserahkan kepada kemauan departemen bersangkutan. Mungkin untuk memenangi ”hati” departemen itulah, maka daerah berlomba untuk memperoleh perhatian, salah satunya dengan cara menyerahkan upeti agar program yang didanai dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan mengalir ke daerah tersebut.

Pada 22 Agustus 2008, Ketua BPK Anwar Nasution sudah mengkhawatirkan perilaku bagi-bagi upeti ini yang menjadi salah satu temuan paling menonjol dalam hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2007.

BPK melaporkan masih maraknya bantuan keuangan pemda kepada aparat pusat, terutama aparat keamanan, aparat ketertiban umum, dan penegak hukum.

Padahal, seharusnya, seluruh pembelanjaan instansi pusat hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bantuan keuangan kepada aparat pusat ini mengikuti tradisi rezim Orde Baru.

”Bantuan” itu untuk memberikan tambahan penghasilan berupa honor dan tunjangan jabatan muspida, dan pemberian hadiah serta kenang-kenangan setelah mengakhiri tugasnya di daerah.

Bantuan itu juga kerap diberikan dengan nama beragam, mulai biaya operasional, biaya koordinasi, biaya komunikasi, perjalanan dinas, kunjungan pejabat, maupun biaya pendidikan dinas pejabat dari berbagai instansi vertikal.

”Bahkan, pembangunan sarana dan prasarana instansi vertikal juga sering dimintakan kepada pemda. Padahal, dananya sudah disediakan dalam APBN. Bantuan seperti ini masuk dalam pengertian gratifikasi,” tutur Anwar.

Enam bidang tugas

Kondisi itu tentu mengkhawatirkan karena dalam era otonomi daerah sudah ada pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah menyebutkan, ada enam bidang tugas pemerintahan yang tetap menjadi monopoli pusat.

Pertama, politik luar negeri. Kedua, pertahanan. Ketiga, keamanan. Keempat, yustisi. Kelima, moneter dan fiskal nasional. Keenam, agama.

Oleh karena itu, pejabat pusat yang masih bersifat hierarkis di seluruh Indonesia hanyalah pejabat dari Departemen Luar Negeri, TNI/Polri, penegak hukum, Departemen Agama, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia.

Tugas-tugas pemerintahan lainnya harus dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Tugas-tugas itu meliputi pengaturan dan perundang-undangan, penanganan sumber daya alam dan masalah lingkungan, pendidikan, kesehatan, pertanian dan irigasi, industri pengolahan, serta transportasi.

Untuk tugas-tugas inilah Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diadakan pada setiap kementerian dan lembaga nondepartemen.

Pada tahun 2009, sebanyak 65 persen dari belanja negara dalam APBN 2009 (Rp 1.037,1 triliun) akan mengalir ke daerah. Itu sudah termasuk Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dari departemen, dana di lembaga-lembaga negara vertikal (seperti Polri atau Departemen Keuangan), subsidi (baik subsidi bahan bakar minyak, listrik, pupuk, maupun bibit), hingga Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Dengan demikian, ada dana sekitar Rp 674,12 triliun yang harus dikelola oleh 33 provinsi dan 477 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

Dari dana tersebut, sekitar Rp 342,243 triliun langsung masuk ke APBD di setiap daerah dan berada langsung dalam kontrol pemda. Itu tidak termasuk pendapatan asli daerah (PAD) yang belum diperhitungkan. Berdasarkan catatan Depkeu, total PAD di seluruh Indonesia bisa mencapai Rp 60 triliun-Rp 75 triliun setiap tahunnya.

Dengan demikian, aliran dana dari pusat ke daerah sudah melampaui amanat Pasal 7 UU No 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU ini mewajibkan pemerintah pusat mentransferkan setidaknya seperempat dari penerimaan dalam negerinya ke daerah.

Pada tahun 2008, belanja APBN ke daerah sudah melampaui 41 persen, yang terdiri atas belanja pusat di daerah 11,8 persen dan transfer ke daerah senilai 29,5 persen dari seluruh pengeluaran APBN.

Machfud Siddik, pemerhati perimbangan keuangan sekaligus mantan Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Depkeu, menyatakan dalam sebuah tulisannya, luasnya obyek pemeriksaan keuangan daerah tidak diimbangi oleh kemampuan BPK dalam mengaudit karena BPK tidak memiliki sumber daya yang mencukupi untuk melakukan audit secara langsung pada seluruh daerah sekaligus.

Untuk memperkuat pengawasan penggunaan keuangan di daerah, DPRD perlu mengajukan kandidat auditor eksternal. Kandidat auditor ini bisa diambil dari organisasi audit yang disetujui dan berkualifikasi, termasuk auditor BPK sendiri. Kandidat auditor eksternal yang akan memeriksa keuangan daerah ini harus disetujui oleh BPK.

Penguatan pengawas keuangan daerah diperlukan karena komunitas lokal dan investor, serta kreditor yang membiayai pembangunan di daerah harus dilindungi dari pemda yang tidak mampu berfungsi sesuai kebutuhan akibat mismanajemen keuangan yang kasar.

Tidak hanya itu, pemerintah pusat sebaiknya diberi kewenangan untuk menunjuk seorang komisioner yang bisa mengambil alih dan menyelamatkan keuangan pemda dalam situasi tertentu.

Sentralisasi keuangan

Agus Muhammad, mantan Inspektur Jenderal Depkeu, menyatakan, pengalihan dana dalam jumlah besar ke daerah membutuhkan peninjauan ulang pada mekanisme dan kelembagaan pengawasan keuangan di Indonesia.

Sentralisasi pengawasan keuangan yang sekarang ada menjadi tidak efektif karena cakupan geografis Indonesia yang sangat luas. Ini rentan terhadap kemungkinan duplikasi dan terhindarnya obyek pemeriksaan dari jangkauan liputan aparat pengawasan.

Dengan desentralisasi pemeriksaan, peran lembaga pengawasan, baik eksternal (BPK) maupun internal (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP, maupun Badan Pengawas Daerah/Bawasda), akan memiliki wilayah dan jangkauan pemeriksaan tertentu dan jelas.

Itu bisa menekan tingkat duplikasi pemeriksaan seminimal mungkin. Dalam desentralisasi pemeriksaan, peran DPRD menjadi lebih penting dalam pengawasan keuangan daerah karena perkembangan pengawasannya menjadi terus-menerus diperbarui.

Desentralisasi pengawasan keuangan daerah menjadi salah satu amanat UU No 17/2003 soal keuangan negara yang belum diwujudkan.

Dalam UU ini, definisi keuangan negara tidak terbatas hanya pada aliran dan penggunaan dana dalam APBN, tetapi juga meliputi APBD, kekayaan negara atau daerah yang dikelola sendiri, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, serta kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. (Orin Basuki)
--- (Sumber: KOMPAS - Senin, 02 Februari 2009 - Hal.21) ---

Tidak ada komentar: