Jumat, 07 November 2008

Ribuan Perda Hambat Investasi

Jakarta - Ribuan peraturan daerah (perda) dinilai telah menghambat investasi lantaran terlalu membebani masyarakat dan dunia usaha. Karena itu pemerintah pusat meminta daerah merevisi atau membatalkan peraturan-peraturan tersebut. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, hingga pertengahan Juli 2008 lalu pemerintah pusat telah merekomendasikan pembatalan atau revisi terhadap 2.000 peraturan daerah (perda) yang dinilai tidak mendukung perbaikan iklim investasi. Selain itu, pemerintah menolak 1.200 rancangan peraturan daerah bidang pajak daerah dan retribusi daerah (ranperda PDRD) dari total 1.800 ranperda yang diajukan daerah. ”Untuk mendorong peningkatan tata kelola ekonomi daerah yang semakin baik dan menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah, pemerintah secara konsisten mengevaluasi perda dan ranperda, khususnya yang dinilai membebani masyarakat dan pelaku usaha,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Penyerahan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) KPPOD Award Local Economic Governance 2007 di Jakarta kemarin. Secara sektoral, perda/ranperda yang direkomendasikan untuk ditolak berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum, perindustrian dan perdagangan, serta kehutanan. Bila dilihat dari asal kabupaten/kota pengusul,mayoritas perda/ranperda yang ditolak berasal dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan,dan Kalimantan Tengah. Hasil survei KPPOD 2007 mengungkapkan buruknya kualitas perda menjadi salah satu faktor yang menghambat investasi.Kendati demikian, masalah tersebut kini tidak lagi menjadi faktor dominan. Pengelolaan infrastruktur yang buruk di daerah kini menempati urutan pertama hambatan investasi dengan bobot nilai 35,50%. Adapun kualitas perda menempati posisi terakhir dengan bobot nilai 1,0%. Survei yang dilakukan KPPOD terhadap 12.187 responden pelaku usaha di bidang manufaktur, perdagangan dan jasa pada 243 kabupaten/ kota itu juga mengungkapkan bahwa hambatan muncul pula dari program pemerintah daerah (pemda) dalam mengembangkan usaha sektor swasta, dengan bobot nilai 14,80%, dan akses lahan serta kepastian hukum dengan bobot nilai 14,00%. Hambatan selanjutnya, masih ada ganjalan interaksi antara pemda dan pelaku usaha, efisiensi pungutan di daerah, perizinan usaha, keamanan dan penyelesaian konflik,serta integritas bupati/wali kota. Berdasarkan tingkat hambatan itu,Ketua KPPOD Bambang PS Brojonegoro mengungkapkan, pemerintah perlu memperbesar alokasi anggaran belanja daerah, terutama untuk perawatan dan pembangunan fasilitas infrastruktur. ”Nantinya dana itu harus dialokasikan bagi pembangunan dan perawatan infrastruktur jalan, tol, dan pelabuhandalammemperlancar akses kegiatan penanaman modal investor,”ujarnya. Mengingat masih banyaknya kendala lain di luar infrastruktur, pemerintah juga dinilai perlu merealisasikan langkah kebijakan lain. Menetapkan tarif listrik regional, penerapan layanan satu atap yang benar,mengurangi biaya informal dan retribusi usaha kecil, serta meningkatkan kualitas komunikasi pemda dan dunia usaha. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat mengatakan, hambatan utama investorsaatinilebihbanyakdi sektor infrastruktur.Adapun kendala perda semakin berkurang setelah dievaluasi dan dipantau pemerintah pusat. Hidayat mengatakan, kendala infrastruktur berkait erat dengan belum terjawabnya masalah pembebasan lahan bagi pembangunan infrastruktur fasilitas publik. ”Dari segi pembebasan lahan ini terdapat pesan bahwa masih ada ketidakpastian pada masalah infrastruktur, ketidakpastian hukum dalam hal pendekatan akses pada lahan, dan juga strata title surat tanah,”ujarnya. Karena itu, Kadin mendesak agar persoalan infrastruktur segera diselesaikan dengan menerbitkan undangundang (UU) pembebasan lahan bagi fasilitas publik. Kadin pun sebelumnya pernah mengajukan draf aturan pembebasan lahan.Namun pemerintah cenderung tidak berani menetapkan UU tersebut dan memilih menunggu hingga Pemilu 2009 selesai. Hal itu, kata Hidayat, membuat pemda terkendala dalam membebaskan lahan bagi pembangunan fasilitas infrastruktur publik. Belum adanya aturan yang menjadi payung hukum ini membuat pemda khawatir tindakannya melanggar hukum. Kota Blitar Terbaik, Nias Selatan Terburuk Kota Blitar, Jawa Timur, berada pada peringkat terbaik dalam kategori Tata Kelola Ekonomi Lokal berdasarkan survei yang dilakukan KPPOD itu. Kota Blitar menempati peringkat pertama dari 243 kabupaten/kota yang disurvei dengan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi (Economic Governance Index / EGI) sebesar 76. Berada di urutan kedua hingga kelima berturut-turut Kabupaten Magetan,Jawa Timur,dengan nilai EGI sebesar 75,4; Kota Prabumulih Sumatera Selatan, 74,7; Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 74,3; dan Kabupaten Jembrana, Bali,73,7. Sebaliknya Kabupaten Nias Selatan,Sumatera Utara, menurut KPPOD, merupakan daerah yang memiliki tata kelola ekonomi terburuk dengan nilai EGI 41,41. Sebelum Nias Selatan, lima daerah lain yang menempati peringkat lima terbawah adalah Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, dengan nilai EGI 41,76; Kabupaten Rokan Hilir, Riau, 45,10; Kabupaten Nias,Sumatera Utara, 45,26; dan Kabupaten Rokan Hulu,Riau,47,69. (ZM)

Tidak ada komentar: