Jumat, 07 November 2008

Kemampuan Legislasi DPRD Lemah

Jakarta - Pembatalan 783 peraturan daerah dan 1 qanun oleh pemerintah pusat menunjukkan lemahnya kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap DPRD.Hal itu diungkapkan Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, Jumat (27/6).”Dalam menyusun perda (peraturan daerah), anggota DPRD umumnya menggunakan panduan, contoh, atau hanya mengopi perda sejenis dari daerah lain. Padahal, kondisi riil tiap daerah berbeda-beda,” katanya.Karena tak memiliki kemampuan, anggota DPRD umumnya mengandalkan biro hukum dari pemerintah daerah setempat untuk menyusun rancangan perda. DPRD tinggal menambahkan aspek politisnya sesuai dengan kewenangan dan kemampuan mereka.”Sebagai pejabat politik, anggota DPR juga harus memahami teknis legislasi, minimal mengetahuinya,” ujar Robert. Pemerintah pusat seharusnya memfasilitasi peningkatan kemampuan legislasi anggota DPRD. Namun, tugas pemerintah pusat itu justru dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.Pemerintah pusat hanya membuat panduan dalam penyusunan perda, tetapi tidak melakukan pembinaan dan pengawasan. Karena itu, DPRD tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas banyaknya perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.Pemerintah juga perlu memperkuat staf sekretariat DPRD yang membantu tugas anggota DPRD sehari-hari. Sebagai pendukung kerja anggota DPRD, staf DPRD juga memiliki peran strategis dalam menghasilkan perda yang baik.Secara terpisah, dosen ilmu politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, menambahkan, pengawasan terhadap proses legislasi DPRD lebih baik dilakukan dengan peningkatan kapasitas masyarakat sipil. Menggantungkan pengawasan itu kepada pemerintah pusat hanya akan melemahkan kemampuan daerah dan memperkuat sentralisasi.Masalahnya, tidak semua kabupaten/kota memiliki kekuatan masyarakat sipil yang kuat untuk memantau kebijakan legislatif atau birokrasi. Kalaupun ada, kekuatan sipil itu sudah dikooptasi oleh kekuatan politik lokal. Karena itu, sembari memperkuat kemampuan legislasi anggota DPRD, pemerintah juga harus memperkuat kapasitas kekuatan masyarakat sipil.Airlangga mengatakan, pengawasan masyarakat sipil penting karena banyak perda yang dibuat bersama antara DPRD dan pemerintah daerah kurang mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat. Proses penyerapan aspirasi publik melalui musyawarah perencanaan dan pengembangan tidak dilakukan dengan melibatkan aktor inti dari kekuatan masyarakat sipil. Kalaupun dilibatkan, hasilnya tidak dijadikan acuan.”Pengaruh kepentingan politik individu anggota legislatif maupun eksekutif di daerah semakin mengorbankan kebutuhan dan harapan rakyat,” katanya.Semakin masyarakat tidak peduli dengan kebijakan publik di daerah, maka kebijakan itu akan menjadi predator bagi diri mereka sendiri. Akhirnya, rakyat yang akan dirugikan. Karena itu, kepedulian masyarakat sipil dalam memantau kebijakan pemerintah perlu ditingkatkan.Sebanyak 783 perda yang dibatalkan pemerintah pusat itu merupakan kumpulan perda bermasalah sejak tahun 2002 hingga September 2007. (MZW)

Tidak ada komentar: