Minggu, 24 Mei 2009

Otda (tidak) bisa diatur

Beberapa hari terakhir ini kita membaca adanya ketegangan hubungan pusat-daerah menyangkut investasi. Persoalannya bahkan mampu menggeser headline pilpres di beberapa harian nasional. 'Pembangkangan' Bupati Tuban yang tidak (belum) menerbitkan izin pengeboran sumur eksplorasi migas dan pemasangan pipa minyak di wilayahnya, menampar wibawa pemerintah (pusat), dan membuat khawatir investor.
Betapa tidak? Aktivitas usaha sudah berjalan-dana sudah terserap-tetapi izin operasional daerah belum di tangan.
Bangsa kita memang unik. Bagaimana mungkin bisnis sudah berjalan (pemasangan pipa minyak dan aktivitas pra pengeboran eksplorasi) sementara perizinan belum dikeluarkan.
Kepastian hukum sudah diabaikan, penyelesaian masalah tidak dituntaskan sejak awal, seolah akan terselesaikan dengan sendirinya pada saatnya.
Itulah anehnya birokrasi kita. Investor asing yang sudah menjalankan bisnisnya di Indonesia mengerti persis bahwa segalanya bisa diatur, bisnis bisa berjalan meskipun belum memiliki izin.
Aturan bisa dikalahkan diskresi pemegang kekuasaan dengan berlindung dibalik celah belantara peraturan perundang-undangan yang multiinterpretatif.
Sebaliknya, investor-pun paham bahwa sesuatunya juga tidak bisa diatur. Meski ketentuan peraturan perundang-undangan sudah diikuti, tetapi tidak serta merta bisnis bisa tidak berjalan, sekali lagi karena otoritas pemegang kekuasaan.
Dalam konteks otda (otonomi daerah), disharmoni hubungan pusat dan daerah dalam hal perizinan bukan hal baru, setidaknya sejak implementasi otda pada 2001.
Di antaranya, berbagai pihak mencatat kasus besar seperti perizinan migas di Tuban dan pertambangan di Sulawesi Utara; maupun kasus-kasus yang relatif 'kecil' seperti pendirian menara telekomunikasi dan pembangunan pasar modern di berbagai daerah.
Kasus-kasus tersebut memang beragam dan berbeda dimensi kompleksitasnya, tetapi persoalannya memiliki kesamaan, yakni soal lama tentang benturan peraturan pusat - daerah, komunikasi dan koordinasi, political will para pemimpin, serta mungkin juga vested interest para pihak yang terlibat di dalamnya.
Sedikit menyinggung soal perizinan migas, cukup jelas bahwa kewenangan penambangan migas berada di pemerintah, bukan pemda yang dalam hal penambangan hanya memiliki kewenangan untuk bahan galian golongan C seperti batu, pasir, dan lain-lain.
Meskipun demikian, pemda memiliki kewenangan untuk urusan berbagai perizinan daerah termasuk izin lokasi atas semua jenis usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam desain kewenangan perizinan pusat-daerah, secara normatif tidak keliru bila dikatakan bahwa tidak ada jenis usaha yang bisa menjalankan bisnisnya di Indonesia apabila tidak mengantongi perizinan kabupaten/ kota.
Jika demikian alangkah besar otoritas daerah, dan betapa besar potensi ketidakpastian hukum untuk melakukan usaha. Tidak demikian juga maknanya, karena sebagaimana implisit dalam judul tulisan ini, segala sesuatunya bisa diatur.
Peraturan perundang-undangan adalah produk yang kita ketahui bisa diubah sepanjang diperlukan untuk upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat yang membuatnya. Benturan peraturan perundang-undangan pusat-daerah, tentu bisa diharmoniskan. Terlebih kalau soalnya 'hanyalah' komunikasi dan koordinasi yang selalu bisa ditingkatkan kualitasnya. Yang sulit adalah ketika political will tidak menghendakinya karena vested interest para pihak.
Lantas, apa solusinya ketika pembangkangan benar benar terjadi? Di era sentralisasi, dengan mudah bisa dilakukan penggantian kepala daerah untuk mengamankan kebijakan pemerintah.
Namun, era otda jelas sangat berbeda. Apakah sanksi yang bisa dikenakan pada kepala daerah apabila tidak mengikuti kehendak pemerintah? Apakah mungkin menerapkan sanksi melalui instrumen fiskal untuk persoalan yang tidak terkait langsung dengan urusan fiskal. Demikian juga, rasanya tidak ada urusan pidana dalam hal 'pembangkangan' daerah atas kebijakan pemerintah.
Apa pun solusi yang diambil, diharapkan menjawab kepentingan para stakeholder. Solusi diharapkan memberikan sinyal positif kepada para pelaku usaha tentang keseriusan pemerintah.
Semua paham bahwa lambannya penyelesaian persoalan hanya mempertegas ketidakpastian usaha. Yang kita tidak paham adalah mengapa hal demikian masih selalu terjadi.
Lemahnya koordinasi-kerja sama, adalah soal lama yang terus relevan dalam birokrasi kita. Di tengah berbagai upaya reformasi birokrasi oleh para champion baik dari birokrasi itu sendiri, maupun dari stakeholder lain terkait, masalah arogansi antartingkat pemerintahan terus berlangsung.
Itulah paradoks birokrasi kita. Berbagai upaya seperti one stop service perizinan usaha yang diterapkan ratusan kabupaten/kota, implementasi regulatory impact assesment, forum reguler pemangku peran, dan lain-lain best practices inisiatif daerah menjadi tidak relevan bagi upaya menarik investasi tatkala birokrasi tidak berdaya menangani persoalan koordinasi.
Birokrasi yang bekerja
Mengurus birokrasi bukanlah urusan amat rumit yang mensyaratkan kepakaran profesor untuk dapat melaksanakannya. Meskipun sistem yang mengaturnya tidak sempurna, dengan kepemimpinan yang baik, birokrasi tidak akan mengakibatkan hal-hal buruk dalam pelayanan.
Tentu saja lebih ideal kinerja pelayanan apabila sistem/manajemen birokrasi didukung peraturan perundang-undangan yang baik, di bawah pimpinan yang tidak memiliki vested interest pribadi ataupun kelompok.
Pelaksanaan otda yang telah berlangsung lebih dari sewindu masih belum berdaya menghadapi persoalan dasar birokrasi. Lantas bagaimana bisa diharapkan untuk mengelola persoalan-persoalan besar seperti pemekaran daerah, perimbangan keuangan pusat-daerah, segregasi hukum dalam ranah sosial-politik, kerja sama antardaerah, dan sebagainya?
Tidak ada hal baru untuk direkomendasikan, selain mutlak diperlukannya karya nyata untuk membuat birokrasi bekerja. Reformasi peraturan perundang-undangan dan birokrasi mesti diarahkan untuk target terukur yang bisa dicapai dalam bingkai pemberdayaan daerah.
Spirit otda untuk membangun bangsa dari daerah harus secara ikhlas diamini para pemimpin bangsa, tidak hanya oleh pemimpin lokal tetapi terutama oleh para pemimpin nasional.
Barangkali kita boleh berharap calon pemimpin utama bangsa ini untuk 5 tahun mendatang memiliki dan mampu menularkan spirit otda. Keyakinan dan kesetiaan untuk melaksanakan amanat sistem pemerintahan yang telah kita pilih tersebut menjanjikan potensi besar untuk mencapai keberhasilan pembangunan bangsa ini. Sebaliknya, keraguan atasnya berarti menyumbangkan bibit-bibit kegagalan.

P. Agung PambudhiDirektur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: