Minggu, 24 Mei 2009

Otonomi Daerah Kebablasan ?

Tidak diragukan lagi kalau otonomi daerah (otda) yang berjalan sekarang ini di samping banyak manfaatnya juga menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Merugikan bukan saja dalam bidang pembangunan bangsa, tetapi juga dalam hal yang lebih prinsip, yaitu memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kalau kita mencermati beberapa peraturan perundangan yang dulu berlaku maupun yang sekarang berlaku sebagai landasan hukum otda terdapat perbedaan yang sangat funda­mental. Mulai dari Undang-Undang No.05/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. sampai yang sekarang masih berlaku yaitu UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perbedaan itu menyangkut persyaratan pembentukan suatu daerah. Pasal 4 UU No.05/1974 menyebutkan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan, dan keamanan nasional untuk pembentukan suaru da­erah harus memerhatikan pula syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan bangsa (sesuai dengan suasana kebatinan para pendiri bangsa ini).
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
Kestabilan politik
Kata-kata atau kalimat "pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa....." inilah yang tidak ditemukan lagi pada per­syaratan pembentukan suatu daerah, baik pada UU No.22/1999 maupun UU No.32/2004 yang berlaku sekarang ini. Bagian ini sebenarnya bukan hanya sekadar persyaratan administrasi, tetapi sudah merupakan persyaratan prinsip.
Memang harus diakui, pada masa Orde Baru pemerintahan sangat sentralistik. Buktinya, antara lain sesudah UU No.05/1974 disahkan, selama 20 tahun berlakunya undang-undang tersebut mengenai otonomi daerah belum pernah dilaksanakan. Peraturan pelaksanaannya pun baru terbit 18 tahun kemudian. yaitu PP No.45/1992. Maka pada tahun 1994 setelah 20 tahun berlakunya undang-undang tersebut Kantor Menpan waktu itu melaksanakan amanat UU No.05/1974 dengan melakukan terobosan melalui program yang disebut Otonomi Daerah Per-contohan dengan cara menetapkan 1 kabupaten pada setiap provinsi di Indonesia (26 pro-vinsi) kecuali DKI Jakarta.
Pada tahun pertama, program ini berjalan cukup berhasil dan secara berangsur "kekuasaan atau wewenang" yang disebut urusan dari departemen/kementerian/lembaga pemerin­tahan nondepartemen diserahkan kepada kabupaten-kabupaten percontohan. PP No.45/1992 cukup fun­damental karena pada Pasal 2 disebutkan bahwa "Titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II." dengan dernikian pesannya adalah "bukan pemekaran daerah. tetapi malah memperkuat daerah untuk menerima delegasi wewenang/ urusan dari pusat ke daerah".
Dengan kata lain, kabupaten yang "lemah" dilebur dan disatukan dengan kabupaten lain, sementara provinsi bukan prioritas untuk diubah. Ini bukan berarti provinsi dan kabupaten tidak boleh dimekarkan karena pemekaran itu pun diatur dalam undang-undang (UU) itu maupun peraturan pelaksanaannya (PP).
Tujuan utamanya adalah menyerahkan urusan seluas-luasnya kepada daerah. bukan pe­mekaran karena pemekaran ti­dak ada artinya tanpa penyerahan wewenang. Dengan demikian. Kantor Menpan berpegang teguh pada prinsip "kesatuan dan persatuan" bangsa.
Direstrukturisasi
Sebagai ilustrasi, suatu ketika Menpan bertukar pikiran de­ngan Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Amiruddin sekitar tahun 1995. Gubernur berpendapat, dari jumlah 23 Kabupaten/ Kotamadya di Sulawesi Selatan dapat direstrukturisasi menjadi 12 Kabupaten/ Kotamadya. Walaupun demikian, wacana itu be­lum sempat dilaksanakan.
Proses reformasi yang dimulai tahun 1998 dengan pelaksanaan demokrasi yang begitu cepat mendorong otda bergulir lebih cepat, ditandai dengan keluarnya UU No.22/1999 yang terkesan buru-buru. Un­dang-undang ini menghapuskan syarat "titik berat otonomi da­erah pada Daerah Tingkat II". Implementasinya adalah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk pemekaran daerah yang kemudian lebih dipermudah de­ngan UU No.32/2004 yang mengubah persyaratan, khususnya pembentukan provinsi baru dari minimal 7 menjadi cukup 5 kabupaten/kota.
Dalam kenyataannya, wawasan terbentuknya provinsi/kabupaten yang baru bukan lagi pada kesempatan daerah "mengurus rumuh tangganya sendiri", tetapi setiap daerah mencari identitas daerahnya masing-masing. Seharusnya identitas daerah itu adalah "Indonesia Kecil" dalam rangka "Indonesia Raya". Boleh saja identitas daerah ditonjolkan, tetapi bukan berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan (SARA), melainkan identitas budaya, alam, atau lingkungan. Seharusnya identitas Manokwari itu bukan "syariat" Kristen dan Bali bukan dengan "syariat" Hindu, atau daerah lain bukan dengan "syariat" Islam.
Seharusnya Minahasa itu identitasnya "kitorang samua basodara" bukan menonjolkan etnis Manado. Identitas Papua adalah "buminya burung surga/cendrawasih", Bali "a place in paradise", Sumut "semua urusan tuntas" atau "bumi damai", ka­rena setiap orang memanggil suku lain dengan sebutan "orang kita Batak, orang kita Jawa, orang kita Melayu".
Akhir-akhir ini kita menyak­sikan pencarian identitas itu berdasarkan SARA. Kalau hal ini diteruskan akan mengarah pada disintegrasi NKRI. Peristiwa de­mo anarkis di Sumut baru-baru ini adalah akibat dari pencarian identitas yang memunculkan kecurigaan, yang kemudian mengarah pada konflik-konflik dan perpecahan-perpecahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama un­tuk pemilu yang akan datang.
Seruan Mendagri untuk sementara menghentikan peme­karan wilayah sampai selesai pemilu sebaiknya dimanfaatkan untuk mengevaluaai semua konsep dan pelaksanaan otda yang sudah kebablasan itu. Pemerintah dan DPR diharapkan me-nunjukkan sikap kenegarawan-an untuk menyempurnakan otoda ini.


Oleh TB SilalahiMenteri PAN tahun 1993-1998
Sumber : Harian KOMPAS

Tidak ada komentar: